(IslamToday ID) – Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo menyoroti munculnya politik dinasti pada perhelatan Pilkada. Menurutnya, situasi ini bisa mengancam konsolidasi demokrasi di tingkat lokal.
Selain itu, politik dinasti juga dinilai bisa melemahkan institusionalisasi partai politik. Ini disebabkan karena mengemukanya pendekatan personal ketimbang kelembagaan.
“Akibatnya rekrutmen politik hanya dikuasai oleh sekelompok orang melalui oligarki,” kata Agus dalam keterangan tertulis usai diskusi terbatas di Jakarta, Kamis (11/2/2021) seperti dikutip dari Tempo.
Diskusi ini digelar oleh Lemhanas untuk menganalisis warna politik dan kekuatan partai politik di daerah. Terutama setelah berlangsungnya Pilkada serentak di 270 daerah pada 9 Desember 2020.
Agus juga mengatakan perolehan hasil Pilkada 2020 juga menunjukkan menguatnya dinasti politik. Hal tersebut dapat dilihat dari rekapitulasi KPU yang menunjukkan bahwa 55 kandidat dari 124 kandidat (44 persen) terafiliasi dengan dinasti politik pejabat dan mantan pejabat.
Akibat fenomena ini, Agus menilai rekrutmen politik hanya dikuasai oleh sekelompok atau segelintir orang melalui oligarki. Padahal, ia melihat Indonesia merupakan negara demokrasi, yang dalam memilih pemimpin, rakyat mempunyai kesempatan untuk berpartisipasi langsung di dalam pemilu. Baik dalam hal memilih eksekutif maupun legislatif, baik tingkat nasional maupun daerah.
Selain itu, Agus melihat praktik politik uang masih kuat. Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menangani 104 dugaan politik uang pada Pilkada Desember 2020 yang tersebar di 19 Provinsi, yaitu, Lampung, Jawa Barat, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, NTB, Sumatera Barat, Jambi, Bengkulu, Banten, NTT, Babel, Kalimantan Tengah, dan Riau.
“Politik uang yang dilakukan terus menerus akan merusak budaya demokrasi di Indonesia, karena akan mempengaruhi masyarakat untuk memilih berdasarkan transaksional dengan manfaat subjektif untuk kepentingan sesaat jangka pendek, tidak melihat kepada visi misinya pembangunan jangka panjang,” jelas Agus.
Agus melihat Pilkada serentak diwarnai dengan terindikasinya 21 kasus pelanggaran netralitas ASN. Dampak dari ketidaknetralan ASN ini juga bersifat jangka panjang, dimana akan mempengaruhi pola manajemen PNS yang tidak lagi didasarkan pada profesionalisme, tetapi lebih kepada kedekatan personal terhadap pejabat, yang berarti politisasi ASN atau PNS.
Terkait kondisi demokrasi fenomena Pilkada yang akan terus terulang, Agus mengatakan perlu dilakukan pengkajian lebih lanjut. Bagaimana peran kekuatan politik yang ada dalam Pilkada untuk dapat terus menerus memperkuat peran demokrasi di Indonesia guna mencapai tujuannya.
“Apakah kekuatan partai politik saat ini tidak lagi mempunyai kekuatan ideologis sehingga masyarakat tidak lagi teridentifikasi kepada warna partai politik tertentu dikaitkan dengan aspirasinya, dan lebih kepada pertimbangan pragmatis jangka pendek dengan melakukan politik uang dan mengedepankan figur serta politik oligarki,” jelas Agus.
Sepanjang perhelatan Pilkada serentak tahun lalu, politik dinasti menjadi salah satu isu yang mencuat. Salah satunya di Kota Tangerang Selatan, Banten, yang dimenangi oleh pasangan Benyamin Davnie-Pilar Saga Ichsan.
Pilar memiliki relasi dengan kedinastian politik mantan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah. Pilar merupakan putra pertama dari Bupati Serang, Ratu Tatu Chasanah. Ratu Tatu adalah adik kandung dari mantan Gubernur Banten, Ratu Atut Chosiyah. Ia juga masih ipar dengan Walikota Tangerang Selatan saat ini, Airin Rachmi Diany. [wip]