(IslamToday ID) – Wakil Ketua DPR Koordinator Politik dan Keamanan (Korpolkam) Azis Syamsuddin menyambut baik rencana pemerintah yang ingin merevisi UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Pasalnya, banyak pasal karet yang menjadikannya multitafsir.
“DPR menyambut baik rencana revisi tersebut, masyarakat diharapkan juga dapat menggunakan media sosial dengan bijak. Diharapkan revisi ini juga tidak melepas niat baik awal hadirnya UU ITE,” kata Azis, Selasa (16/2/2021), seperti dikutip dari INEWS.
Azis melihat saat ini UU ITE sudah banyak dijadikan alat untuk saling lapor terhadap pihak yang berseberangan, bahkan hanya karena masalah sepele yang terjadi di media sosial (medsos).
“Saat ini UU ITE selalu dijadikan untuk saling lapor melapor terhadap pihak yang saling berseberangan karena permasalahan kecil di media sosial,” ujarnya.
Wakil Ketua Umum Golkar itu mengharapkan agar UU ITE seharusnya dapat lebih mempertimbangkan prinsip keadilan, sehingga tidak ada lagi pasal karet yang mudah ditafsirkan dan saling melaporkan.
Hal itu untuk menjaga demokrasi yang tetap berjalan sesuai harapan dalam menyampaikan kebebasan berpendapat. Mantan Ketua Komisi III DPR ini pun mengaku sudah jenuh dengan pasal-pasal yang digunakan dalam UU ITE untuk saling melapor.
“Kita sudah jenuh dengan pasal pencemaran nama baik dan penghinaan, itu saja yang kerap kita dengar jika terjadi pelaporan mengatasnamakan UU ITE ribut di media sosial, itu saja yang dipakai seseorang untuk melaporkan ke pihak kepolisian,” tutur legislator Dapil Lampung itu.
Sementara, pandangan berbeda dilontarkan oleh anggota Komisi I DPR dari Fraksi PDIP Tubagus (TB) Hasanuddin. Ia mengakui dalam UU ITE tersebut memang ada dua pasal krusial yang sempat menjadi perdebatan.
“Sebenarnya UU ITE ini merupakan hasil revisi dengan memperhatikan masukan dari berbagai kalangan, dan memang ada dua pasal yang krusial, yaitu Pasal 27 ayat 3 dan Pasal 28 ayat 2,” katanya.
Hasanuddin menjelaskan, Pasal 27 ayat 3 memuat tentang penghinaan dan pencemaran nama baik. Ia pun mengakui pasal ini sempat menjadi perdebatan. Meski begitu, Pasal 27 ini sudah mengacu dan sesuai dengan Pasal 310 dan 311 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pada saat pembahasan kala itu.
Begitu juga dengan Pasal 28 ayat 2 tentang menyiarkan kebencian pada orang atau kelompok orang cenderung SARA.
“Kedua pasal ini, Pasal 27 dan Pasal 28 harus dipahami oleh para penegak hukum agar tak salah dalam penerapannya. Apalagi pasal 27 itu sifatnya delik aduan, mereka yang merasa dirugikan dapat melapor dan pelapornya harus yang bersangkutan bukan orang lain,” ujarnya.
Lebih jauh, legislator asal Jawa Barat ini menjelaskan, dalam menerapkan Pasal 27 ayat 2 itu harus dibedakan antara kritik terhadap siapapun dengan ujaran kebencian dan penghinaan. Penegak hukum juga harus memahami betul secara sungguh-sungguh.
“Kalau dicampuradukkan antara kritik dan ujaran kebencian, maka saya rasa hukum di negara ini sudah tak sehat lagi,” tutur Hasanuddin.
Hasanuddin pun menggarisbawahi penerapan Pasal 28 ayat 3 UU ITE ini juga harus berhati-hati dan selektif, karena sangat penting untuk menjaga keutuhan NKRI yang berkarakter Bhineka Tunggal Ika alias pluralisme.
“Multitafsir atau penafsiran berbeda dapat diminimalisir dengan membuat pedoman tentang penafsiran hukum kedua pasal ini secara komprehensif,” katanya.
Oleh karena itu, politikus PDIP membantah adanya anggapan pasal karet pada dua pasal kontroversial itu. Menurutnya, tak ada pasal karet tapi bagaimana para penegak hukum memahaminya ditambah dengan menggunakan hati nurani.
Dapat dibayangkan bagaimana negeri ini akan kacau bila rakyatnya dibebaskan saling menghujat, membuka aib, dan saling mengungkapkan kebencian secara bebas dan vulgar. “Termasuk menyebarkan kebencian karena SARA, padahal negeri ini kan negeri yang berkarakter pluralisme yang berdasarkan pada Pancasila dan UUD 1945,” ujarnya. [wip]