(IslamToday ID) – Direktur Eksekutif Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), Damar Juniarto mempertanyakan penentuan kategori hoaks oleh tim Virtual Police.
Hal tersebut menyusul penangkapan terhadap seorang warga Slawi berinisial AM oleh tim Virtual Police Polresta Surakarta lantaran dianggap menulis komentar bermuatan hoaks terkait Walikota Solo, Gibran Rakabuming Raka.
Padahal, menurut Damar, komentar AM tidak termasuk hoaks atau berita bohong, melainkan olok-olok. Karena itu ia mempersoalkan dasar penilaian tim Virtual Police.
“Yang susah dari Virtual Police itu kan dasar penilaiannya. Kalau dalam kebanyakan kasus, 89 tentang ujaran kebencian. Kalau yang di Slawi ini kan tentang hoaks. Ini dasarnya apa?” kata Damar seperti dikutip dari CNN Indonesia, Selasa (16/3/2021).
“Kalau dilihat dari postingannya ini lebih ke olok-olok atau sinisme tentang kapasitas Gibran sebagai Walikota Solo dalam mengurusi sepak bola. Karena AM ini kan lebih banyak menyoroti permintaan Gibran agar semifinal dan final digelar di Solo,” lanjutnya.
Tak hanya itu, Damar juga menyinggung pelibatan ahli bahasa dalam menentukan kategori hoaks idealnya harus dari kedua belah pihak. Dengan begitu, pihak tertuduh memiliki kesempatan yang setara untuk membela diri dan menjelaskan maksud unggahan.
“Kalau Virtual Police sudah pakai ahli bahasa, masalahnya ahli bahasa juga kan ada kapasitas dan penilaian yang berbeda. Kalau ada kesempatan misalnya, bagi orang yang melakukan postingan menghadirkan ahli bahasa lain yang bisa mengatakan bahwa tidak ada unsur hoaks,” tambahnya.
Damar mengatakan, penindakan di Slawi menunjukkan kekhawatiran akan keberadaan Virtual Police benar adanya. “Kalau kemarin saja kita sudah mengkritik sudah membuat orang banyak ketakutan baru, apalagi seperti ini dengan penangkapan,” katanya.
Alih-alih berfungsi sebagai mediator, Damar menilai berdasarkan kasus AM, tindakan tim Virtual Police justru memberikan tekanan ke warga.
“Restorative justice itu kan mengedepankan mediasi. Berarti antara dia dengan Gibran atau pihak-pihak yang disebutkan polisi, KPU, Bawaslu, masyarakat Solo. Kalau polisi kan menjadi mediator harusnya dalam posisi netral, jadi mendamaikan dua pihak,” terangnya.
“Kalau di sini kan polisi justru dalam posisi penekan dan penekanannya upaya untuk menghapus dan mengoreksi untuk minta maaf,” tandasnya lagi.
Ia pun mengkritik ketiadaan unsur mediasi dalam perkara tersebut. Padahal alur kerja Virtual Police seharusnya mengedepankan upaya mediasi.
“Restorative justice kan itu ketika pidana dilakukan sebagai upaya akhir. Kalau di sini agak membingungkan, karena justru yang kelihatan ada upaya pemidanaan meskipun enggak masuk persidangan,” tuturnya.
Kasus penangkapan AM, menurut Damar, jadi salah satu contoh buruknya kerja Virtual Police dan kekeliruan penegakan restorative justice. “Kalau dari kacamata SAFEnet melihat ini kan bukan proses mediasi namanya, bahkan ini bisa dikatakan proses sensor. Sesuatu yang memang sudah dikhawatirkan dengan Virtual Police ini,” pungkasnya. [wip]