(IslamToday ID) – Masyarakat Pecinta Sejarah Aceh (Mapesa) secara resmi menegaskan menolak proyek pembangunan IPAL di Gampong Pande.
“Kami tetap menolak kawasan itu sebagai lokasi dibangunnya IPAL. Akan tetapi kami juga ingin katakan bahwa kami tidak menolak pembangunan. Pembangunan adalah suatu yang dibutuhkan untuk kemaslahatan kita bersama di sini, tetapi tidak di lokasi yang hari ini dibangun,” ungkap Wakil Ketua Mapesa Masykur Syarifuddin saat menghadiri rapat audiensi dengan Ombudsman RI Perwakilan Aceh, Senin (19/4/2021).
Rapat tersebut juga dihadiri oleh puluhan peserta, termasuk instansi terkait seperti PUPR Banda Aceh, budayawan Nab Bahany AS, pegiat lingkungan TM Zulfikar, dan Kepala BPCB Nurmantias.
Kemudian Tim Cakra Donya dan Peusaba Aceh. Kedua lembaga ini sepakat dengan Mapesa serta BPCB Aceh untuk melindungi kawasan Gampong Pande dari proyek IPAL. Hadir pula Ketua MPU Banda Aceh dan beberapa pakar sejarah lainnya.
Masykur menyebut sikap Mapesa terkait penolakan IPAL sudah melalui proses penelitian panjang. Menurutnya, nisan-nisan yang ditemukan di lokasi proyek IPAL berasal dari abad 18 atau 19. Batu nisan yang menjadi penanda makam tersebut, merupakan cagar budaya yang wajib dilindungi dan dilestarikan menurut undang-undang yang berlaku di Indonesia.
“Sepanjang pengamatan Mapesa menyangkut penemuan makam-makam bersejarah di Aceh (bahkan di luar Aceh untuk kasus makam-makam berbatu nisan Aceh), tidak ada satupun kompleks makam bersejarah yang tidak memberikan petunjuk bahwa di sekitarnya akan ditemukan beberapa kompleks makam lainnya,” ungkap Masykur seperti dikutip dari Sumatera Post, Selasa (20/4/2021).
“Semua kompleks makam itu kemudian secara signifikan memberitakan akan adanya sebuah pemukiman kuno yang akan berasosiasi dengan pemukiman-pemukiman lain di sekitarnya, biasanya dihubungkan oleh aliran air, baik sungai maupun alur, atas oleh jalur-jalur yang akan tampak lewat pengamatan seksama terhadap topografi bentang lahan (lanskap),” tambahnya.
Mapesa menilai adanya kompleks makam di lokasi proyek IPAL tersebut merupakan sebuah temuan penting dari sisi arkeologis, geomorfologis, dan sejarah. Penemuan itu, menurut Mapesa, akan menjelaskan tentang perubahan-perubahan geomorlogis yang terjadi di kawasan muara Krueng Aceh dan pesisir Kota Banda Aceh secara umum, memberikan informasi-informasi tentang bagaimana benda-benda bersejarah tersebut terdeposisi di kedalaman tersebut, sehingga dapat diperkirakan apa yang mungkin akan ditemukan pada waktu mendatang.
Sementara, dari sisi sejarah, dokumen yang dimiliki sampai saat sebelum penemuan tersebut, tidak menunjukkan tentang adanya permukiman bersejarah dengan makam-makamnya di sebelah utara kanal Arosan (Arusan) sejak tidak kurang dari 100 tahun lalu. Namun, penemuan di lokasi proyek IPAL memberi keputusan yang konkret bahwa di bagian itu terdapat pemukiman dan makam-makam.
Mapesa menilai pemindahan batu-batu nisan dari kompleks makam tersebut ke tempat lain sebelum adanya penelitian dari pihak berwenang merupakan pelanggaran UU tentang Cagar Budaya. “Secara budaya, kompleks makam tersebut memiliki arti penting bagi masyarakat Aceh,” kata Masykur.
Lebih lanjut Mapesa turut menyoroti keberadaan TPA, IPTL, dan IPAL di kawasan tiga batang air situs Pande tersebut. Menurut Mapesa, tiga instalasi yang sekalipun memiliki manfaat besar bagi masyarakat secara umum, tetapi keberadaannya di lokasi itu akan memberikan berbagai dampak buruk.
Dampak-dampak tersebut seperti mengakibatkan rusaknya lanskap peninggalan sejarah di kawasan muara Krueng Aceh. Keberadaan tiga instalasi tinja, limbah, dan sampah itu bahkan akan menambah terbenamnya bukti-bukti pemukiman kuno dari zaman Aceh Darussalam.
“Dan dalam hal ini perlu dicatat bahwa kerusakan dan kehilangan peninggalan sejarah adalah sesuatu yang tidak akan pernah dapat digantikan untuk selamanya,” tegas Masykur.
Dampak lain yakni mengakibatkan kawasan serta gampong-gampong yang sejatinya memiliki potensi nilai-nilai sejarah dan alam, justru menjadi kawasan kumuh dan dicap sebagai lingkungan pinggiran atau kampung terbelakang di Banda Aceh.
Dampak keberadaan tiga instalasi sampah, limbah, dan tinja di kawasan tersebut juga memberi kesan buruk bagi Krueng Aceh dan kawasan muaranya, yang memiliki nilai sejarah penting dan sumber kebanggaan masyarakat Aceh.
Tak hanya itu, keberadaan TPA, IPTL, dan IPAL di kawasan itu juga merusak lingkungan muara sungai dan pantai yang diharamkan dalam syariat Islam. “Sekaligus memberikan contoh buruk dalam memperlakukan lingkungan, sungai, dan pantai pada masyarakat, terutama generasi muda.” [wip]