ISLAMTODAY ID — Koalisi Guru Besar Antikorupsi Indonesia mengirimkan surat terbuka untuk Mahkamah Konstitusi. Mereka mendesak Mahkamah Konstitusi agar mengabulkan permohonan uji materi UU KPK hasil revisi.
Salah satu perwakilan koalisi, Emil Salim, mengatakan nasib pemberantasan korupsi sedang berada di ujung tanduk.
“Sebagaimana yang dapat kita lihat dalam Indeks Persepsi Korupsi (IPK) 2020 lalu, Bapak dan Ibu Yang Mulia Hakim Konstitusi. Jika ditarik sejak pembentuk undang-undang merevisi UU KPK, berturut-turut permasalahan datang menghampiri badan antikorupsi yang selama ini kita andalkan,” ujarnya melalui siaran pers, Jumat, (30/4/2021).
Sebagai informasi, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) berada di angka 37 pada skala 0-100 di 2020. Angka IPK 37 tersebut membuat posisi Indonesia melorot menjadi peringkat 102 dari 180 negara yang dinilai IPK-nya. Sebelumnya, Indonesia berada di posisi 85.
Emil Salim mengatakan, alih-alih memperkuat, eksistensi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 justru memperlemah pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK. Situasi ini sangat bertolak belakang dengan cita-cita pembentukan KPK yang menitikberatkan pada upaya pemberantasan korupsi secara profesional, intensif, dan berkesinambungan.
Menurut Emil Salim, substansi UU No 19 Tahun 2019, secara terang benderang telah melumpuhkan lembaga antirasuah itu, baik dari sisi profesionalitas maupun integritasnya.
“Kita dapat membentang masalah krusial dalam UU, mulai dari hilangnya independensi, pembentukan dan fungsi berlebih Dewan Pengawas, kewenangan penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3), sampai pada alih status kepegawaian KPK ke ASN,” jelasnya.
Akibat perubahan politik hukum pemerintah dan DPR itu, terdapat persoalan serius yang berimplikasi langung pada penanganan perkara tindak pidana korupsi.
Selain itu, KPK juga dinilai mengalami degradasi etika yang cukup serius. Pelanggaran kode etik, pencurian barang bukti, dan praktek penerimaan gratifikasi serta suap untuk menghentikan perkara korupsi yang ditangani.
“Pelan tapi pasti telah merusak reputasi KPK,” tandas Emil.
Emil mengatakan, bahkan proses pengesahan revisi UU KPK juga diwarnai dengan permasalahan serius, terutama ihwal proses pembentukan peraturan perundang-undangan.
“Berangkat dari permasalahan yang telah disampaikan, kami menaruh harapan besar pada Mahkamah Konsititusi untuk mengembalikan kondisi pemberantasan korupsi seperti sedia kala. Harapan itu hanya akan terealisasi jika Bapak dan Ibu Yang Mulia Hakim Konstitusi mengabulkan permohonan uji materi UU KPK hasil revisi,” ujar Emil.
Emil Salim berpandangan, jika itu dilakukan, ia yakin penegakan hukum, khususnya pemberantasan korupsi, akan kembali pada ke khittahnya.
Koalisi Guru Besar Antikorupsi ini diikuti 51 profesor dari berbagai perguruan tinggi. Selain Emil Salim, mereka di antaranya adalah Sulistyowati Irianto (Guru Besar FH UI), Azyumardi Azra (Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah), Sigit Riyanto (Guru Besar FH UGM), Ni’matul Huda (Guru Besar FH UII), dan Franz Magnis-Suseno (Guru Besar STF Driyarkara).
Meningkatnya Korupsi, Dampak Revisi UU KPK
Sebelumnya diketahui, pada bulan Februari lalu, Peneliti ICW, Dewi Anggraeni menyatakan tingkat korupsi di Indonesia selama dua tahun terakhir rezim Jokowi meningkat karena adanya UU KPK yang baru dan Omnibus Law.
Hal itu diungkapkan Dewi menanggapi hasil survei dari Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang menilai bahwa tingkat korupsi selama dua tahun terakhir semakin meningkat.
“Untuk dua tahun terakhir korupsi dikatakan meningkat juga bisa dilihat salah satunya dari revisi UU KPK dan Omnibus Law,” ujarnya seperti dikutip dari RMOL, Senin (8/2/2021).
Menurut Dewi, kedua UU tersebut bukan hanya berdampak bagi KPK, melainkan juga berdampak kepada masyarakat umum maupun pelaku usaha.
“Dampak dua UU ini sangat nyata dirasakan KPK, pelaku usaha, maupun publik,” katanya.
Apalagi, sambung Dewi, pengambilan sampel survei direntang waktu penangkapan dua menterinya Jokowi oleh KPK, yaitu Edhy Prabowo selaku Menteri Kelautan dan Perikanan dan Juliari Peter Batubara selaku Menteri Sosial.
“Wajar memang hasilnya begitu, baik dari pelaku usaha maupun opini publik, karena Covid-19 berdampak ke semua orang dan sektor, ditambah bantuan yang harusnya bisa meringankan malah dikorupsi,” pungkasnya.
Lemahkan Pemberantasan Korupsi
Sebelumnya dalam Refleksi Akhir Tahun KPK 2020, ICW dan Transparansi International Indonesia (TII) menilai perubahan revisi UU KPK justru ini bukan malah menguatkan, tetapi mereduksi kinerja KPK dalam pemberantasan korupsi. Apalagi selama satu tahun KPK era Firli justru kerap menunjukkan kontroversi, ketimbang menuai prestasi.
“Rentetan pelemahan yang dilakukan oleh Pemerintah dan DPR terhadap KPK juga bermuara pada menurunnya kepercayaan publik kepada lembaga anti rasuah tersebut. Terbukti, sepanjang tahun 2020, setidaknya lima lembaga survei (Alvara Research Center, Indo Barometer, Charta Politica, Lembaga Survei Indonesia, dan Litbang Kompas) mengonfirmasi hal tersebut. Hal ini baru, sebab, dalam sejarah berdirinya KPK, lembaga ini selalu mendapat kepercayaan tinggi dari publik,” kata peneliti ICW Kurnia Ramadhana.
Menurutnya, menurunnya kepercayaan publik sebenarnya sudah diprediksi sejak jauh-jauh hari. Pada tahun 2019, publik sudah mengingatkan Pemerintah dan DPR bahwa kebijakan pemberantasan korupsi yang dilakukan akan menciptakan situasi stagnasi bagi penegakan hukum.
Misalnya, Kurnia memaparkan dalam konteks Revisi UU KPK, legislasi itu telah mengikis pondasi utama lembaga pemberantasan korupsi, yakni independensi. Padahal amanat pasal 6 UNCAC yang telah diratifikasi melalui UU 7/2006 yang menyatakan lembaga antikorupsi bersifat independen dan terbebas dari kepentingan manapun, dilansir dari hukumonline.
Bukan hanya kooptasi kelembagaan pada rumpun eksekutif semata, bahkan, status kepegawaian turut terkena imbasnya sebab dalam waktu dekat, seluruh pegawai KPK akan segera bertransformasi menjadi aparatur sipil negara (ASN).[IZ]