(IslamToday ID) – Pemerintah melalui Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD resmi memasukkan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) Papua dalam daftar teroris.
Keputusan itu pun mendapat tanggapan dari Gubernur Papua Lukas Enembe yang meminta pemerintah Indonesia terlebih dulu berkonsultasi ke Dewan Keamanan PBB sebelum melabeli teroris itu.
Pemprov Papua, kata Lukas, menilai pelabelan KKB sebagai kelompok teroris berbahaya bagi warga sipil maupun masyarakat umum yang tinggal di Papua.
“Pemerintah Provinsi Papua berpendapat bahwa pemerintah pusat sebaiknya melakukan komunikasi dan konsultasi bersama Dewan Keamanan PBB terkait pemberian status teroris terhadap KKB,” kata Lukas seperti dikutip dari Republika, Sabtu (1/5/2021).
Lukas menyampaikan tujuh sikap menanggapi keputusan Menko Polhukam Mahfud MD yang memasukkan KKB ke dalam daftar kelompok terorisme di dalam negeri.
Pemprov Papua, Lukas mengatakan, meminta Presiden Jokowi agar mengkaji ulang pelabelan teroris terhadap kelompok bersenjata Papua merdeka tersebut.
Pelabelan teroris tersebut, menurutnya, berbahaya dan diyakini bakal berdampak negatif bagi warga asli Papua yang berada di perantauan. Sebab pelabelan teroris tersebut bakal memunculkan stigmatisasi warga asli Papua di perantauan.
Pun dikhawatirkan bakal berdampak minus bagi kondisi sosial, serta psikologis warga umum yang berada di Papua.
“Kami (Pemprov Papua) berpendapat bahwa pengkajian kembali tersebut harus bersifat komprehensif dengan memperhatikan dampak sosial, dampak ekonomi, dan dampak hukum terhadap warga Papua secara umum,” kata Lukas.
Pemprov Papua, kata Lukas, juga mendorong agar TNI/Polri terlebih dahulu melakukan pemetaan kekuatan KKB sebagai organisasi, sebelum mencapnya sebagai kelompok teroris. Pemetaan tersebut, dikatakan Lukas, untuk mengetahui sebaran wilayah dan jumlah orang, maupun ciri-ciri yang menggambarkan KKB maupun afiliasinya.
Sebab Pemprov Papua, Lukas menegaskan, tak ingin pelabelan terorisme tersebut berujung pada aksi-aksi serampangan petugas keamanan dalam melakukan penegakan hukum terhadap warga di Papua.
“Hal ini (pemetaan KKB) sangat dibutuhkan, sebab Pemprov Papua tidak menginginkan adanya peristiwa salah tembak dan salah tangkap yang menyasar penduduk sipil Papua,” ujar Lukas.
Pelabelan teroris ke KKB Papua diyakini akan mengubah pola penanganan konflik di sana.
Menutup Pintu Dialog
Pengamat terorisme dari Universitas Indonesia (UI), Ridwan Habib menyebut hal yang pastinya berubah adalah berkurang hingga nihilnya upaya diplomasi dengan para mantan KKB. Label teroris yang kini mereka emban membuat pemerintah menutup pintu dialog.
“Kalau disebut teroris maka tidak ada ruang negosiasi karena Indonesia menganut tidak kompromi dengan teroris, termasuk dengan JAD, ISIS, siapapun yang terkait maka ditindak hukum,” kata Ridwan.
Ia menyampaikan dengan label teroris maka ujung tombak penanganannya ada di Densus 88 Polri. Unsur TNI bisa turut serta hanya sebagai perbantuan.
Oleh karena itu, ia mengusulkan regulasi penanganan teror oleh TNI dapat segera disahkan oleh presiden. Dengan demikian, ia optimis penanganan terorisme dapat lebih maksimal dilakukan.
“TNI masuk dalam konteks perbantuan dengan cara surat permintaan Kapolri ke Panglima TNI karena Perpres TNI tangani terorisme belum ditandatangani. Padahal mestinya ditandatangani presiden kalau mau cepat,” ujar Ridwan.
Pelabelan KKB Papua sebagai kelompok teroris adalah reaksi keras pemerintah Indonesia merespons eskalasi bersenjata yang terjadi di sejumlah wilayah di Bumi Cenderawasih.
Dalam sebulan terakhir, KKB atau Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) yang merupakan sayap bersenjata Organisasi Papua Merdeka (OPM) melakukan ragam pembunuhan, yang menyasar sipil, maupun anggota TNI/Polri.
Anggota Komisi I DPR RI, Yan Permenas Mandenas menilai penetapan KKB di Papua sebagai kelompok teroris bukanlah solusi. Pelabelan tersebut, menurutnya, tidak akan menyelesaikan persoalan.
“Itu justru menunjukkan kelemahan pemerintah dalam menyelesaikan persoalan Papua,” kata Yan di kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (29/4/2021).
Ia mengatakan solusi yang dibutuhkan dalam menangani persoalan Papua saat ini, yaitu menyelesaikan kompleksitas masalah Papua jangka panjang, salah satunya dengan merencanakan tindakan apa yang harus dilakukan untuk menghentikan aksi-aksi kekerasan oleh KKB dengan mengedepankan tindak pidana.
Selain itu, politikus Partai Gerindra juga mendorong adanya solusi jangka panjang yang dibangun oleh pendekatan teritorial, pendekatan komunikasi, pendekatan penggalangan, dan mendorong rekonsiliasi serta dialog.
“Dialog yang dimaksud saya adalah dialog dalam kerangka bingkai NKRI sesuai dengan format yang kita sepakati bersama antara pemerintah pusat dengan rakyat Papua melalui tim kerja yang nanti direkomendasikan oleh presiden atau dibentuk untuk kemudian bisa mengawal proses itu. Itu solusi jangka panjang, karena kita bisa mampu menyelesaikan persoalan-persoalan Papua,” jelasnya.
Yan menambahkan, persoalan di Papua bukan hanya menyangkut persoalan hukum satu kelompok saja. Ada sejarah panjang yang melatarbelakangi KKB selalu muncul dan terus melahirkan regenerasi.
“Papua ini kita bukan bicara soal proses hukum semata dengan aksi teror, tapi kita bicara soal politik yang cukup panjang yang mengantarkan integrasi Papua ke NKRI sesuai dengan deal-deal antara Pak Soekarno dengan Jhon F Kennedy. Jadi sejarahnya cukup panjang,” paparnya.
“Sehingga dengan emosionalnya pemerintah dalam menetapkan KKB sebagai kelompok teroris, saya pikir ini justru mendorong sebuah kemunduran, bukan langkah maju,” ungkap legislator asal Papua tersebut.
Ia juga mengusulkan agar pemerintah mempertimbangkan sejumlah langkah jangka pendek, yaitu mengevaluasi penanganan KKB di Papua. Perlu dicari tahu alasan kelompok tersebut aktif melakukan teror di Papua.
“Apakah kelemahan kita di dalam operasi itu masih terjadi? Ataukah kelemahan kita dalam mendorong pendekatan pembannguan itu belum maksimal? Nah dua ini coba kita kombinasikan dulu,” ucapnya.
Komnas HAM menilai penegakan hukum yang transparan, adil, dan dapat dipertanggungjawabkan jauh lebih penting daripada pelabelan teroris kepada kelompok KKB di Papua. “Itu jauh lebih penting diutamakan daripada mengubah-ubah soal label,” kata Wakil Ketua Eksternal Komnas HAM, Amiruddin.
Ia mengaku cukup mengetahui bagaimana label terhadap KKB di Papua mengalami banyak perubahan. Mulai dari kelompok separatis, Kelompok Kriminal Separatis Bersenjata (KKSB) hingga yang terbaru disebut sebagai teroris oleh Menko Polhukam Mahfud MD.
Lalu, lanjutnya, setelah adanya sejumlah perubahan label yang dialamatkan kepada KKB apakah ada perubahan. “Tidak ada perubahan, situasinya sama saja,” ujar dosen FISIP Universitas Indonesia.
Beberapa waktu lalu, Amiruddin mengatakan, telah meminta waktu agar bisa bertemu dengan Menko Polhukam Mahfud MD terkait konflik di Tanah Papua, namun hal itu tidak terwujud. Rencananya, ia ingin menyampaikan keprihatinan Komnas HAM atas cara berbangsa dalam menyelesaikan berbagai persoalan.
Pada satu sisi, apapun bentuk kekerasan apalagi sampai menghilangkan nyawa, memang tidak dapat ditoleransi dan harus diproses secara hukum. Karena itu, penegakan hukum yang transparan dinilai Komnas HAM jauh lebih penting diutamakan daripada sekadar pelabelan terhadap KKB.
Ia juga mengkhawatirkan adanya eskalasi kekerasan yang terjadi di lapangan pasca pelabelan teroris. Kemudian proses hukum yang akan dijalani seperti apa, dan terakhir bagaimana menjawab reaksi dari pihak-pihak di Papua atas label teroris kepada KKB.
“Saya katakan ini semua karena KKB itu sesuatu yang tidak jelas. Apa itu KKB. Di mana alamat KKB. KKB itu bukan organisasi,” ujarnya.
Terjunkan Densus 88
Asisten Kapolri Bidang Operasi (Asops) Irjen Pol Imam Sugianto menyatakan, pihaknya sedang mengkaji pelibatan Tim Densus 88 Antiteror Polri untuk memberantas KKB di Papua. Pengkajian itu dilakukan setelah pemerintah resmi melabeli KKB Papua sebagai daftar terduga teroris dan organisasi teroris (DTTOT).
“Jangan berspekulasi, nanti arahan Pak Kapolri bagaimana, terutama pelibatan Densus. Kalau sudah diputuskan Densus nanti harus kami ikutkan membantu, paling tidak memetakan, segala macam itu,” ujar Imam, Kamis (29/4/2021).
Oleh karena itu, ia meminta agar semua pihak menunggu hasil pembahasan dan pengkajian tersebut. Kemudian hasil daripada pengkajian tersebut akan diputuskan oleh Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo.
Menurutnya, Densus 88 Antiteror juga pernah membantu operasi yang dijalankan Satgas Madago Raya di Sulawesi Tengah (Sulteng) yang memburu Mujahidin Indonesia Timur (MIT) pimpinan Ali Kalora.
“Seperti Madago Raya di Sulawesi Tengah lah. Jadi satgas operasi kita bentuk. Tapi, Tim Densus 88 juga menyelenggarakan operasi yang link-up dengan satgas kami itu,” terang Imam.
Adapun, tim kajian Papua LIPI Cahyo Pamungkas mengkritisi pelabelan terhadap KKB dan organisasi yang berafiliasi di Papua sebagai DTTOT. Ia menduga dampak pelabelan ini akan menambah korban berjatuhan di Bumi Cendrawasih.
Cahyo meminta pemerintah mempertimbangkan lagi keputusan penetapan label teroris itu. Menurutnya, warga di Papua akan menerima dampak dari keputusan pemerintah tersebut.
“Pemerintah harus pikirkan konsekuensinya, dampak negatifnya. Bagaimana kalau pelabelan ini berpotensi menambah kekerasan dan jatuhnya korban sipil,” kata Cahyo.
Ia menilai cap teroris akan memperluas cakupan operasi penegakan hukum di Papua. Aparat penegak hukum, lanjut Cahyo, kini bisa menyasar kelompok bersenjata maupun kelompok warga sipil yang tidak bersenjata dengan asumsi keterlibatan terorisme. “Korban sipil akan banyak berjatuhan baik warga asli Papua atau non-Papua, ini yang harus diperhatikan,” pungkasnya. [wip]