ISLAMTODAY ID — Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof Didin S Damanhuri menilai ketimpangan sosial di Indonesia semakin tajam. Bahkan dia menyebutkan ketimpangan sosial itu terjadi sejak pandemi belum menyerang Indonesia awal tahun 2020 lalu.
Prof Didin kemudian memaparkan data yang diinput organisasi anti kemiskinan OXFAM di Davos, Swiss sangat jelas menunjukan angka ketimpangan ekonomi yang tajam tersebut.
Lebih lanjut, ia mengatakan dimana data orang yang memiliki kecukupan ekonomi bila dilihat dari akun di perbankan sangat banyak dibanding dengan orang yang kehidupan ekonominya pas-pasan.
“Misalnya data tentang apa namanya di perbankan. Bahwa orang yang memiliki akun milyaran begitu ya (uang dengan nominal milyaran), itu sangat besar begitu ya. Kalau disederhanakan adalah bahwa ada 67% penduduk menguasai apa namanya perbankan tersebut. 67% menguasai apa miliaran triliunan dan itu meningkat sejak pandemi. Mereka yang memiliki akun milyaran tersebut.” ujar Prof Didin dalam wawancara melalui kanal youtube Bravos Radio Indonesia, Senin (3/5/21).
“Sementara 50% paling bawah itu justru tabungannya pun bukan hanya habis tapi mereka yang tergantung kepada bansos kemudian bulan ini mereka akan dihentikan.” Jelasnya.
Tak hanya itu, Prof Didin juga menyinggung maraknya terjadi gelombang PHK serta pengurangan penghasilan bagi yang tidak terkena PHK.
“Kemudian apa namanya orang yang di PHK itu saya kira besar sekali. Karena menurut penelitian dari 55 juta orang bekerja di sektor swasta itu 50% nya itu umumnya adalah pekerja kontrak atau outsourcing, yang gampang sekali di-phk. Kemudian di sektor informal itu lebih dari 50% dari 70 juta pelaku usaha” tandasnya.
Dampak Liberalisasi Politik
Lanjutnya, Prof. Didin menilai di Indonesia ini juga masih terjadi adanya liberalisasi politik. Dimana para pengusaha menjadi investor untuk membiayai seluruh event pemilu dari mulai Pilkades, Pilkada, hingga event besar seperti Pilgub dan Pilpres.
Ia menegaskan hal ini seolah memberikan penglihatan bahwa investor memiliki ‘power’ kekuatan untuk mengatur pemimpin di Indonesia.
“Sekitar 9 triliun ya, sumbangan dari taipan (orang kaya/ pengusaha) terhadap pilpres itu” tukasnya.
Bahkan menurutnya keterlibatan para taipan itu menurut Didin sudah ada sejak tahun 2004.
Ia pun mengatakan bahwa parahnya keterlibatan para taipan itu dapat menimbulkan APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) dan APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) dijadikan ajang atau alat untuk ‘balas budi’ yang telah meloloskan menjadi pemimpin.
“Jadi apa namanya keterlibatan investor, kemudian itu sudah sejak reformasi sejak 2004 ya sampai hari ini telah menimbulkan dampak dimana APBN dan APBD menjadi ajang orang-orang terpilih untuk dijadikan sebagai ajang untuk balas budi, dengan meloloskan mereka-mereka untuk memenangkan setiap proyek-proyek di tingkat daerah maupun ditingkat pusat. Kentara atau tidak kentara. “ jelasnya.
Penulis: Kanzun