(IslamToday ID) – Kenaikan harga kedelai global langsung memukul para pengrajin tahu dan tempe dalam negeri. Namun para pengrajin belum berencana untuk menaikkan harga produk kedelai yakni tahu dan tempe sebagai dampak penyesuaian harga.
“Ya, (produsen) sudah merasakan sekarang (harga kedelai naik),” kata Wakil Ketua Umum Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI) Ngadiran seperti dikutip dari Merdeka, Jumat (21/5/2021).
Menurutnya, untuk menyiasati lonjakan harga kedelai impor para pengrajin lebih memilih untuk mengurangi ukuran atau volume produk. “Sementara ukuran yang digeser-geser. Ini agar harga masih bisa masuk,” terang Ngadiran.
Oleh karena itu, ia memastikan saat ini ini harga jual tahu dan tempe di pasaran masih terpantau normal. Meski diakuinya dari segi ukuran menjadi lebih kecil dibandingkan sebelumnya.
“Jadi, tempe masih Rp 5.000 per potong, yang besar itu Rp 10.000. Untuk tahu ada yang Rp 1.000, ada yang Rp 1.500-an atau tergantung ukuran,” ucapnya.
Sebelumnya, Kementerian Perdagangan (Kemendag) memprediksi harga jual tahu dan tempe akan mengalami penyesuaian dalam beberapa waktu ke depan. Menyusul berlanjutnya tren kenaikan harga komoditas kedelai global.
Berdasarkan tren harga yang dikutip dari Chicago Board of Trade (CBOT), harga kedelai dunia masih mengalami kenaikan. Pada pertengahan Mei 2021, harga kedelai dunia berada di kisaran 15,86 dolar AS/bushels (Rp 10.084/kg harga akhir), naik sekitar 11,2 persen dibanding April 2021 yang tercatat sebesar 14,26 dolar AS/bushels (Rp 9.203/kg harga akhir).
“Akan terjadi penyesuaian harga kedelai impor di tingkat pengrajin tahu dan tempe dikarenakan komoditas kedelai asal Amerika Serikat (AS) ini belum memasuki masa panen. Selain itu juga ditengarai permintaan kedelai dari negara lain seperti China sebesar 7,5 juta ton pada April 2021 yang berdampak pada tingginya harga kedelai dunia sampai dengan saat ini,” jelas Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kemendag Oke Nurwan, Kamis (20/5/2021).
Memperhatikan harga kedelai dunia yang terus alami kenaikan tersebut, ia memaklumi harga kedelai di tingkat pengrajin tahu dan tempe akan mulai bergerak naik pada kisaran Rp 10.500/kg. Sehingga, berpotensi mengerek harga tahu dan tempe di tingkat pengrajin.
“Meskipun demikian, kami menjamin stok kedelai saat ini masih mencukupi untuk kebutuhan industri pengrajin tahu dan tempe nasional,” tegasnya.
Kemendag, lanjut Oke, secara periodik terus memantau dan mengevaluasi pergerakan harga kedelai dunia, baik ketika terjadi penurunan ataupun kenaikan. Hal ini bertujuan untuk memastikan harga kedelai di tingkat pengrajin dan di tingkat pasar tahu dan tempe berada di tingkat wajar.
Produktivitas Petani Kedelai Lokal Rendah
Mahalnya harga kedelai terjadi karena pasokan kedelai lokal tidak bisa memenuhi kebutuhan pasar, dan hal ini telah terjadi bertahun-tahun. Indonesia pun telah mengimpor kedelai sejak izin impor dikeluarkan setelah krisis keuangan 1998 atau lebih dari 20 tahun lalu.
Menurut pemerintah rata-rata kebutuhan kedelai dalam negeri berkisar antara 2-3 juta ton per tahun. Karena produksi dalam negeri hanya mampu menyediakan 300.000 ton, impor yang kebanyakan berasal dari AS memenuhi 90 persen kebutuhan ini.
Menurut Prima Gandhi, peneliti dari Institut Pertanian Bogor (IPB), produktivitas petani kedelai lokal rendah karena berbagai macam faktor yang membuatnya cukup rumit untuk dibenahi.
Luas lahan tanam kedelai terus berkurang akibat alih fungsi lahan. Menurut data terbaru tahun 2018, hanya ada lahan sekitar 680.000 hektare yang menanam kedelai, sedangkan yang dibutuhkan untuk memenuhi permintaan dalam negeri setidaknya 2,5 juta hectare.
Selain itu petani pun menghadapi harga kedelai lokal yang mereka anggap rendah saat panen. Ini karena biaya untuk menanam kedelai cukup tinggi sehingga keuntungan petani semakin menipis.
Pemerintah telah mematok harga jual kedelai Rp 8.500 per kg di tingkat petani, padahal untuk biaya produksi mencapai Rp 6.500 per kg.
“Hal ini membuat para petani malas dan tidak mau menanam kedelai lokal. Para petani lebih memilih menanam palawija,” ujar Prima.
Sementara itu, menurut Kepala Riset Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Felippa Ann Amanta, produktivitas kedelai lokal yang rendah juga dipengaruhi oleh iklim di Indonesia.
Kedelai adalah tanaman yang sebenarnya merupakan tanaman sub tropis. Tanaman ini mendapatkan suhu harian dan musiman yang lebih beragam dari daerah tropis, sehingga pertumbuhan di daerah tropis yang hanya memiliki dua musim seperti Indonesia menjadi tidak maksimal. Iklim adalah salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat produktivitas.
Usaha produksi kedelai di Indonesia juga harus menyesuaikan dengan pola dan rotasi tanam. Hal ini karena petani belum menilai kedelai sebagai tanaman utama. Kedelai masih diposisikan sebagai tanaman penyelang atau selingan setelah tanaman utama padi, jagung, tebu, tembakau, bawang merah, atau tanaman lainnya.
Selain itu, kedelai adalah jenis tanaman yang membutuhkan kelembapan tanah yang cukup dan suhu yang relatif tinggi untuk pertumbuhan yang optimal. Sementara itu di Indonesia, curah hujan yang tinggi pada musim hujan sering berakibat tanah menjadi jenuh dan penuh air.
Selain itu, drainase atau pembuangan air yang buruk juga menyebabkan tanah juga menjadi kurang ideal untuk pertumbuhan kedelai. Permasalahan lahan yang terbatas juga perlu diperhatikan.
Menurut Felippa, lahan yang cocok untuk ditanami kedelai harus memiliki kadar keasaman yang netral dengan kedalaman minimal 20 sentimeter. Jenis lahan seperti ini tidak tersedia di semua wilayah Indonesia.
Prioritas Pemerintah
Menurut Felippa, pemerintah sebaiknya fokus pada upaya untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas kedelai nasional.
“Impor sebenarnya dibutuhkan karena ada kesenjangan antara kebutuhan dan ketersediaan. Selain itu, kedelai nasional juga sulit terserap karena tidak mampu bersaing dengan kedelai impor yang lebih berkualitas baik dengan harga lebih murah,” ujar Felippa.
Petani kedelai nasional dihadapkan pada berbagai persoalan yang membuat kedelai produksi mereka tidak bisa terserap oleh pasar secara maksimal. Persoalan itu seperti kualitas dan harga yang tidak bisa bersaing dengan kedelai impor.
Maka dari itu pemerintah harus bisa meningkatkan produktivitas para petani.
“Tentu saja meningkatkan produktivitas bukan hal mudah. Karena itu, pemerintah perlu membina dan mendampingi petani kedelai, serta investasi dalam bentuk modal. Dengan pembinaan yang intensif maka produktivitas yang bisa lebih meningkat,” kata Felippa.
Pembinaan dapat dilakukan antara lain dengan penggunaan benih, pupuk, dan sarana produksi lain yang tepat. Pembinaan juga dapat dilakukan melalui kerja sama dengan pihak swasta.
Peningkatan produktivitas kedelai sangat penting karena Indonesia adalah negara dengan konsumsi kedelai terbesar di dunia setelah China.
Baru-baru ini, Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo berencana untuk mengejar produksi kedelai lokal dalam waktu 200 hari atau dua kali musim tanam. Menurut Prima, swasembada atau pemenuhan kebutuhan kedelai dari produsen lokal hanya akan terjadi jika permasalahan di atas mampu diselesaikan pemerintah.
“Swasembada kedelai bisa tercapai asalkan ada political will dari pemerintah untuk menambah luas lahan tanaman kedelai, menemukan varietas baru, serta meregulasi tata niaga meliputi regulasi harga dan pengendalian impor, karena selama ini bebas impor dan bahkan bebas bea masuk,” ujar Prima. [wip]