(IslamToday ID) – Utang luar negeri (ULN) BUMN tercatat masih tumbuh dobel digit ketika ULN swasta non-BUMN cenderung terkontraksi dibanding tahun lalu. Utang BUMN yang menggunung menjadi kekhawatiran banyak pihak.
Bank Indonesia (BI) kembali merilis statistik ULN Indonesia hari ini, Jumat (21/5/2021). Per Maret 2021 total ULN BUMN mencapai 59,65 miliar dolar AS atau setara dengan 28 persen dari total ULN swasta nasional. Pangsanya naik 1 poin persentase dibanding periode yang sama tahun lalu ketika masih di angka 26,4 persen.
Apabila menggunakan asumsi kurs Rp 14.300/dolar AS maka total ULN BUMN mencapai Rp 852,99 triliun. Apabila total aset BUMN saat ini mencapai Rp 9.295 triliun maka rasio ULN terhadap total aset mencapai 9,2 persen.
Secara bulanan ULN Maret 2021 mengalami kenaikan 0,6 persen (mom). Namun secara tahunan ULN meningkat 10,6 persen. Di saat yang sama ULN swasta non-BUMN turun masing-masing 0,6 persen (mom) dan 0,9 persen (yoy).
Secara total ULN sektor swasta nasional tercatat turun 0,5 persen (mom) dan naik 2,3 persen (yoy). Dengan begitu peningkatan ULN BUMN masih jauh melampaui total kenaikan ULN swasta.
Di masa kepresidenan Jokowi, utang BUMN non lembaga keuangan tercatat naik 100 persen. Saat awal menjabat utang yang tercatat mencapai Rp 500 triliun. Akhir tahun lalu utang sudah tembus Rp 1.000 triliun.
Kemudian untuk utang institusi keuangan plat merah yang tidak memasukkan tabungan dan deposito juga meningkat secara tajam. Dengan laju yang hampir mirip utang BUMN keuangan naik dari Rp 560 triliun lima tahun lalu dan tembus Rp 1.000 triliun per akhir Desember 2020.
Hingga akhir tahun lalu tumpukan utang BUMN sudah mencapai Rp 2.000 triliun atau setara dengan 12,99 persen dari produk domestik bruto (PDB) nominal Indonesia tahun lalu.
Kalau dilihat-lihat penumpukan utang BUMN ini diakibatkan oleh penugasan yang dibebankan oleh pemerintah pusat mulai dari memberikan subsidi hingga pembangunan infrastruktur. Hanya saja penugasan tersebut bisa dibilang lumayan kebablasan karena kebanyakan di luar kapasitas perusahaan.
Pemerintah punya rencana menggenjot pertumbuhan ekonomi melalui proyek-proyek infrastruktur. Ambisinya besar karena membutuhkan dana lebih dari Rp 6.400 triliun. Sementara anggaran dari APBN harus dibagi-bagi dan terbatas.
Untuk menambal sebagian lagi kekurangan dana tersebut, BUMN harus turun tangan mencari pendanaan. Apalagi kalau bukan lewat instrumen utang.
Penumpukan utang dalam waktu kondisi ekonomi yang sehat tak terlalu terlihat. Namun saat terpuruk seperti ketika pandemi Covid-19 merebak, bau busuk utang yang menyengat mulai tercium.
Setelah pemerintah tahun lalu fokus untuk belanja perlindungan sosial sebesar Rp 215,65 triliun, tahun ini pos anggaran tersebut dipangkas 27 persen menjadi Rp 157,41 triliun.
Anggaran yang ditingkatkan adalah untuk pos program prioritas. Pos ini tahun lalu mendapat anggaran sebesar Rp 65,22 triliun tahun ini meningkat hampir dua kali lipat menjadi Rp 122,44 triliun. Anggaran untuk infrastruktur pun ditingkatkan hingga dobel digit.
Pemerintah berupaya untuk membangkitkan ekonomi lewat proyek infrastruktur. BUMN kemungkinan besar masih akan dlibatkan untuk menggarap berbagai proyek strategis. Apabila pembiayaannya menggunakan utang lagi, ini malah akan semakin meningkatkan risiko utang yang sudah menggunung.
Kalaupun menggunakan alternatif Souvereign Wealth Fund (INA) sebagai pembiayaan non-utang tetap saja belum mampu mengkover banyak. Terwujudnya pembiayaan non-utang lewat INA masih membutuhkan waktu yang panjang.
Apalagi modal INA sendiri masih relatif kecil dibandingkan dengan utang BUMN Karya. Berdasarkan laporan Fitch, total utang perusahaan konstruksi BUMN lebih dari Rp 170 triliun per akhir September 2020 dan utang PT Pertamina (Persero) sekitar Rp 300 triliun per akhir Juni 2020.
Hal yang harus diwaspadai untuk tahun ini adalah risiko ketidakpastian kebijakan moneter The Fed. Tren pengangguran di AS terus menurun. Namun belum pulih ke level sebelum pandemi.
Hanya saja inflasi secara konsisten terus meningkat sepanjang tahun ini. Inflasi AS di bulan April tercatat mencapai 4,2 persen (yoy). Ini merupakan peningkatan tahunan tertinggi sejak satu dekade terakhir.
Dalam risalah rapat komite pengambil kebijakan The Fed yang dirilis belum lama ini, anggota komite berencana akan membahas tentang pengaturan laju pembelian aset oleh The Fed yang selama ini dikenal dengan quantitative easing (QE).
Ini seolah menandakan bahwa The Fed bakal bersiap untuk mengambil langkah menyedot likuiditas yang berlimpah dari pasar (tapering) lebih awal dari yang diperkirakan. Sinyal ini jika semakin terlihat dikhawatirkan bakal menyebabkan fenomena enam tahun silam terjadi.
Ada pembalikan modal dari negara-negara berkembang termasuk Indonesia yang bakal menekan nilai tukar rupiah. Depresiasi rupiah terhadap greenback tentu saja memberikan dampak negatif bagi perusahaan BUMN yang memiliki eksposur ULN tinggi, apalagi kalau kapasitas hedging-nya tidak mampu mencakup besarnya utang.
Jelas ini adalah risiko yang harus diwaspadai benar oleh pemerintah. Walaupun BUMN statusnya korporasi, tetapi jika untuk hidup saja mengandalkan suntikan dari APBN maka sangat disayangkan. Karena anggaran terbatas yang harusnya dialokasikan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat justru digunakan untuk menghidupi BUMN yang seharusnya menjadi motor penggerak roda perekonomian.
Utang Tak Berbanding Lurus dengan Kinerja
Ekonom Intitute of Development for Economics and Finance (INDEF) Deniey A Purwanto melihat tren utang BUMN meningkat drastis sejak 2016.
Berdasarkan data Statistik Utang Sektor Publik Indonesia (SUSPI) Bank Indonesia yang diolahnya, utang BUMN Indonesia per kuartal III/2020 mencapai Rp 2.140 triliun.
Dilihat dari jatuh temponya, sejak 2018 utang BUMN lembaga non-keuangan meningkat lebih pesat dari lembaga keuangan, mencapai Rp 996,49 triliun per kuartal III/2020. BUMN keuangan lebih didominasi oleh utang jangka pendek. Namun untuk BUMN non-keuangan didominasi utang jangka panjang.
Namun, menurut Deniey, utang yang dimiliki tidak berbanding lurus dengan kinerja BUMN. “Argumennya, bahwa utang bisa mendukung kinerja yang lebih baik, maka sebenarnya utang punya dampak yang positif tidak hanya negatif terkait risiko dan segala macam,” katanya dalam diskusi publik bertajuk “Kinerja BUMN dan Tumpukan Utang”, Rabu (24/3/2021).
Dari 2016-2019, untuk kelompok BUMN dengan laba rata-rata di atas Rp 5 triliun, empat BUMN mengalami tren penurunan seperti pengadaan listrik dan gas, pertambangan dan penggalian, konstruksi dan perumahan, serta industri pengolahan. Sedangkan untuk laba rata-rata di bawah Rp 5 triliun, pertanian dan perdagangan besar-eceran mengalami tren penurunan.
Deniey lalu menyebut beberapa BUMN memang menunjukkan indikator terkena dampak pandemi Covid-19, terutama sektor transportasi seperti KAI dan Garuda. Namun, ia tak menampik bahwa sebelum pandemi melanda, banyak dari BUMN yang memiliki rapor merah terutama di sisi tingkat pengembalian terhadap modal atau ekuitas.
“Kita bisa lihat di return on equity ya, tingkat pengembalian terhadap modal, sebagian besar tingkat pengembaliannya sangat kecil bahkan beberapa negatif,” jelas Deniey.
Jika dilihat dari sisi tingkat kinerja pengembalian terhadap aset, Deniey menyebut hanya beberapa yang digolongkan cukup baik atau di atas 5 persen, namun sisanya minus atau di bawah 5 persen.
Menurutnya, sebelum pandemi Covid-19, beberapa BUMN sudah mengalami kerugian jika merujuk pada profit margin yang negatif. Terutama, pada bidang pertanian, perdagangan besar, dan akomodasi makanan-minuman.
Terkait tingkat solvabilitas atas pembayaran utang, menurutnya, sebagian besar persentase debt to asset perusahaan BUMN sudah mendekati batas wajar atau aman untuk menambah utang. Beberapa BUMN di 2019 tercatat sudah mencapai di atas 60 persen. Seperti industri pengolahan, konstruksi, perdagangan besar, transportasi dan pergudangan, dan perbankan.
“Secara rata-rata bisa dilihat memang sudah mencapai batas wajar atau aman untuk menambah utang. Jadi harusnya kebijakan yang diupayakan bagaimana untuk meminimalisasi utang ke depan,” pungkasnya. [wip]