(IslamToday ID) – Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memutuskan mantan Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri Irjen Napoleon Bonaparte tetap harus menjalani vonis hukuman 4 tahun penjara dalam perkara penerimaan suap dari terpidana kasus korupsi cessie Bank Bali Djoko Tjandra.
Napoleon tak bernasib sama dengan jaksa Pinangki Sirna Malasari dan Djoko Tjandra yang sebelumnya mendapatkan korting hukuman.
“Menguatkan Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tanggal 10 Maret 2021 No 46/Pid.Sus-TPK/2020/PM.Jkt.Pst yang dimintakan banding tersebut,” kata ketua majelis hakim Muhammad Yusuf seperti dalam salinan putusan yang diakses dari laman Mahkamah Agung (MA) di Jakarta, Kamis (29/7/2021).
Putusan tersebut diambil oleh Muhammad Yusuf selaku ketua majelis dan Haryono, Singgih Budi Prakoso, Rusdi serta Reny Halida Ilham Malik, masing-masing sebagai hakim anggota dalam rapat permusyawaratan majelis hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta pada 8 Juli 2021.
Pada 10 Maret 2021, Pengadilan Tipikor Jakarta yang berlokasi di Pengadilan Negeri Jakarta menjatuhkan vonis 4 tahun penjara terhadap Napoleon ditambah denda Rp 100 juta subsider 6 bulan kurungan karena menerima suap 370.000 dolar AS dan 200.000 dolar Singapura (sekitar Rp 7,23 miliar) dari Djoko Tjandra.
“Menimbang bahwa lamanya pidana penjara dan denda yang telah dijatuhkan terhadap terdakwa oleh majelis hakim tingkat pertama dipandang adil dan sepadan atau setimpal dengan kesalahan terdakwa. Oleh karenanya majelis hakim tingkat banding dapat menyetujui pemidanaan terhadap terdakwa tersebut,” ungkap hakim Muhammad Yusuf.
Artinya, Napoleon dinyatakan tetap terbukti sesuai dakwaan pasal 5 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Dalam perkara ini Napoleon terbukti menerima suap 370.000 dolar AS (sekitar Rp 5,137 miliar) dan 200.000 dolar Singapura (sekitar Rp 2,1 miliar) dari terpidana kasus korupsi cessie Bank Bali Djoko Tjandra melalui Tommy Sumardi agar ia membantu proses penghapusan nama Djoko Tjandra dari daftar pencarian orang (DPO) yang dicatatkan di Direktorat Jenderal Imigrasi.
Atas pemberian uang tersebut, Napoleon pun menghapus nama Djoko Tjandra dari Enhanced Cekal System (ECS) pada sistem informasi keimigrasian (SIMKIM). Napoleon memerintahkan anak buahnya membuat Surat Divisi Hubungan Internasional Polri Nomor: B/1030/V/2020/NCB-Div HI pada 4 Mei 2020 perihal Pembaharuan Data Interpol Notices yang atas nama Kadivhubinter Polri Sekretaris NCB Interpol Indonesia Brigjen Nugroho Slamet Wibowo yang ditujukan kepada Ditjen Imigrasi.
Isi surat pada pokoknya menyampaikan penghapusan Interpol red notice. Selanjutnya, pada 5 Mei 2020 Napoleon kembali memerintahkan anak buahnya membuat Surat Divisi Hubungan Internasional Polri No: B/1036/V/2020/NCB-Div HI tanggal 5 Mei 2020 perihal Penyampaian Penghapusan Interpol Red Notices yang ditujukan kepada Ditjen Imigrasi atas nama Kadivhubinter Polri Sekretaris NCB Interpol Indonesia Brigjen Nugroho Slamet Wibowo yang menyampaikan bahwa Interpol Red Notice atas nama Djoko Soegiarto Tjandra Control No: A-1897/7-2009 telah terhapus dari sistem basis data Interpol sejak tahun 2014 atau setelah 5 tahun.
Terkait perkara ini, sejumlah pihak telah dijatuhi vonis. Yaitu mantan Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan (Kakorwas) Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Bareskrim Polri Brigjen Prasetijo Utomo divonis 3,5 tahun penjara; Djoko Tjandra divonis 3,5 tahun penjara berdasarkan putusan banding Pengadilan Tinggi Jakarta dari tadinya 4,5 tahun penjara; jaksa Pinangki Sirna Malasari divonis 4 tahun penjara berdasarkan putusan banding Pengadilan Tinggi Jakarta dari tadinya 10 tahun penjara, dan Andi Irfan Jaya yang merupakan rekan Pinangki dijatuhi vonis 6 tahun penjara.
Negara Hukuman Diskon
Pengurangan masa hukuman penjara untuk Pinangki dan Djoko Tjandra menuai kritik dari kalangan praktisi hukum dan masyarakat sipil. Ketua Asosiasi Ilmuwan Praktisi Hukum Indonesia (Alpha) Azmi Syahputra menilai hukum di Indonesia bisa dikurangi dan tidak dihukum sesuai perbuatannya.
“Terkait putusan Majelis Hakim PT DKI Jakarta atas kasus Djoko Tjandra dan Pinangki ini menunjukkan kalau makna negara hukum bisa bergeser menjadi negara hukuman diskon. Hakim dalam perkara ini sudah hilang kepekaan hati nuraninya dan integritas kepribadian,” katanya dalam keterangan tertulis seperti dikutip dari Republika, Kamis (29/7).
Kemudian, ia melanjutkan, majelis hakim bersembunyi di balik kewenangan bahwa putusan penilaian hakim menjadi independensi kehakiman dan mengaburkan asas kepatutan serta rasa keadilan masyarakat. Majelis hakim yang sepakat untuk mendiskon putusan patut dipertanyakan kepekaan nuraninya.
Majelis hakim Pengadilan Tipikor melihat atas perbuatan pelaku merupakan sebab hal yang memberatkan sehingga dijatuhi hukuman yang maksimal. Namun, anehnya di tingkat banding, fakta perbuatan pelaku yang menjadi hal-hal yang memberatkan oleh majelis Pengadilan Tinggi malah di diskon putusannya dan argumentasi putusan berlawanan dan terlihat seolah menjadi pertarungan kewenangan.
Menurut Azmi, bila pertimbangan hukum diabaikan oleh hakim, maka wibawa hukum semakin sangat direndahkan dan merusak lembaga peradilan. Majelis hakim dinilai sudah kehilangan motivasi untuk menegakkan keadilan, kebenaran, dan kehormatan hukum.
“Pertimbangan hukum menjadi wajib karena hakim harus memberikan penjelasan tentang fakta yang terbukti dan penafsiran hukum yang diberlakukan atas kasus ini terkesan majelis hakim mengabaikan hal ini. Karenanya patut diduga ada muatan lain yang nempel pada putusan hakim yang menggeser pertimbangan maupun hal-hal yang memberatkan menjadi hal yang meringankan, sehingga menjadikan putusan ini didiskon,” katanya.
Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman menilai majelis hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta tersandera dengan putusan inkrah jaksa Pinangki Sirna Malasari. Karena, katanya, Pinangki selaku penerima suap telah divonis 4 tahun penjara di tingkat banding. Hal itulah yang membuat hukuman Djoko Tjandra sebagai pemberi suap lebih ringan daripada Pinangki.
“Tampaknya hakim tersandera dengan putusan Pinangki karena sudah terlanjur divonis 4 tahun. Maka, (hukuman) penyuapnya (Djoko Tjandra) adalah di bawah yang disuap. Rumus hukum di Indonesia memang begitu,” kata Boyamin, Kamis (29/7/2021).
Ia menilai penanganan perkara korupsi yang melibatkan sejumlah aparat penegak hukum ini pelik. Boyamin lantas menyoroti komposisi hakim yang mengadili perkara Djoko Tjandra dan Pinangki.
“Tampaknya yang bermasalah justru hakim tingkat banding yang memvonis Pinangki turun dari 10 jadi 4 (tahun penjara). Kemudian, hakimnya ada yang sama. Kita sulit berharap kasus Djoko Tjandra tidak diturunkan,” tuturnya.
“Ini sudah nabrak tembok betul dengan putusan Pinangki, kemudian jaksa tidak kasasi, putusan jadi inkrah,” tambahnya.
Menanggapi putusan banding, kuasa hukum Djoko Tjandra, Soesilo Aribowo menilai putusan Pengadilan Tinggi DKI masih terlalu berat bagi kliennya. Ia menilai tak ada bukti kliennya menyuap Pinangki, Irjen Napoleon Bonaparte, dan Brigjen Prasetijo.
“Saya berpendapat, itu pun masih berat karena tidak ada bukti yang terang benderang bahwa Pak Djoko Tjandra itu menyuap jaksa Pinangki dan para jenderal itu,” katanya.
Profil Para Hakim
Pengadilan Tinggi DKI Jakarta kembali mendapat sorotan publik usai menyunat vonis Djoko Tjandra dari 4,5 tahun menjadi 3,5 tahun penjara.
Keriuhan publik semakin menjadi pasca mengetahui bahwa hakim yang memotong hukuman Djoko Tjandra, sama dengan yang meringankan vonis Pinangki Sirna Malasari.
Adapun majelis hakim yang sama adalah Muhammad Yusuf sebagai hakim ketua, dan Haryono, Singgih Budi Prakoso, Rusydi, Reny Halida Ilham Malik sebagai hakim anggota.
Berikut profil hakim tersebut:
1. Haryono
Haryono merupakan hakim tinggi dengan golongan Pembina Utama IV/e. Dalam jejak kariernya, ia tercatat kerap menyunat vonis para koruptor. Misalnya, mantan Direktur Utama PT Asuransi Jiwasraya Hendrisman Rahim yang semula dihukum penjara seumur hidup tetapi menjadi 20 tahun penjara.
Selain itu, berdasarkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN), Haryono memiliki harta kekayaan senilai sekitar Rp 2 miliar.
2. Singgih Budi Prakoso
Sama seperti Haryono, Singgih juga merupakan hakim tinggi dengan golongan Pembina Utama IV/e. Berdasarkan LHKPN, ia memiliki harta lebih dari Rp 1,7 miliar.
3. Reny Halida Ilham Malik
Berbeda dengan Singgih dan Haryono, Reny merupakan hakim Ad Hoc Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Ia pernah menangani kasus dugaan korupsi jual beli jabatan di Kementerian Agama dengan terpidana eks Ketua Umum PPP Romahurmuziy alias Romi. Kala itu, hukuman Romi dipotong menjadi satu tahun dari dua tahun penjara. Sementara untuk LHKPN-nya, Reny memiliki harta Rp 8,3 miliar. [wip]