(IslamToday ID) – Pertemuan Komite Warisan Dunia (WHC) UNESCO di Fuzhou, China pada 16-31 Juli 2021, tak hanya menyentil proyek pemerintah Indonesia di Taman Nasional Komodo, tapi juga menyoroti perihal proyek jalan Trans Papua yang melewati Taman Nasional Lorentz.
Mengutip dokumen konvensi tentang perlindungan warisan budaya dan alam dunia, WHC/21/44.COM/7B yang diakses pekan ini, sorotan itu terutama atas kekhawatiran terkait habitat dan perlindungan alam TN Lorentz yang dilalui proyek rute Wamena-Habema-Kenyam dari jalur Trans Papua.
Ada 10 poin draf decision terkait TN Lorentz pada dokumen tersebut. Catatan WHC UNESCO khusus TN Lorentz tercantum pada halaman 256-258 dalam dokumen itu.
Dalam dokumen tersebut, WHC UNESCO menyatakan setidaknya 0,5 persen dari 190 kilometer Jalan Trans Papua, yang termasuk bagian dari Jalan Wamena-Habema-Kenyam, merupakan zona rehabilitasi yang saat ini sudah rusak akibat penebangan dan penanaman liar. Tumbuhan nothofagus di sepanjang jalan ini juga ditemukan mati pucuk atau kepunahan (dieback) karena terinfeksi.
Sementara, 35 persen dari wilayah Taman Nasional Lorentz merupakan zona inti yang sangat berdampak pada Nilai Universal Luar Biasa (Outstading Universal Value/OUV).
Untuk diketahui, OUV merupakan kriteria penilaian yang digunakan UNESCO untuk penetapan status sebagai warisan dunia.
Salah satu yang menjadi perhatian UNESCO di TN Lorentz adalah dieback pohon Nothofagus. Merespons keadaan tersebut, dilakukan pemantauan untuk mencari tahu sebab matinya tumbuhan itu pada 2019. Meskipun tidak ditemukan korelasi antara terjadinya jamur yang merusak tumbuhan dan jarak habitat tumbuhan dengan jalanan, analisa masih terus dilakukan untuk mengungkap penyebab dieback.
Dalam dokumen tersebut, WHC UNESCO menulis hasil penelitian yang menunjukkan ada kemungkinan serangan kumbang penggerek kayu menyebabkan nothofagus terinfeksi. Beberapa kasus kebakaran hutan selama musim kemarau juga menyebabkan sejumlah tumbuhan terbakar.
Oleh karena itu, pada poin 4 di dokumen tersebut mendesak pihak pemerintah, untuk “(a) Menyerahkan rincian tindakan mitigasi yang telah dilakukan dan yang direncanakan untuk jalan Habema-Kenyam ke Pusat Warisan Dunia (WHC). (b) Menutup jalan untuk kepentingan umum sampai tindakan mitigasi dilaksanakan sepenuhnya.”
Selain itu, pemerintah Indonesia pun diminta memberikan klarifikasi ke WHC tentang Jalan Trans Papua dan potensi dampaknya pada OUV yakni TN Lorentz.
“Termasuk peta rinci, salinan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) serta langkah-langkah mitigasi yang diperkirakan, sebagai prioritas dan sebelum pekerjaan lebih lanjut dilakukan,” dikutip dari dokumen tersebut.
WHC UNESCO juga menyatakan keprihatinan tentang laporan perihal rencana zonasi baru properti di OUV. Disebutkan beberapa di antaranya akan ada zona penggunaan khusus di mana berbagai kegiatan diizinkan, termasuk pembangunan bandara.
“Mengingatkan negara pihak bahwa kegiatan di salah satu zona-zona di dalam properti mungkin akan berdampak pada OUV-nya harus tunduk pada Amdal, yang dilakukan sesuai dengan Catatan Pesan Warisan Dunia IUCN tentang Penilaian Lingkungan,” demikian tegas WHC UNESCO dalam dokumen tersebut.
WHC UNESCO pun meminta laporan itu semua diserahkan kembali ke pihaknya guna ditinjau IUCN, sebelum keputusan apapun yang dibuat akan sulit untuk mengembalikannya seperti semula lagi.
Di satu sisi, WHC UNESCO menyesali bahwa misi pemantauan dari IUCN ke TN Lorentz belum dapat diundang kembali karena persoalan keamanan. Oleh karena itu, pihaknya meminta kepada pemerintah Indonesia untuk kembali membuka akses bagi misi IUCN meninjau secara langsung ke sana. Hal tersebut diharapkan bisa terlaksana sebelum pertemuan WHC UNESCO selanjutnya.
Pada 18 Desember 2018, Pusat Warisan Dunia mengirim surat kepada pemerintah Indonesia untuk meminta klarifikasi tentang proyek jalan Trans Papua yang berpotensi membahayakan OUV.
Namun, hingga pertemuan di Fuzhao pada bulan lalu, UNESCO menyatakan belum menerima klarifikasi yang memuaskan sampai saat ini. Konflik keamanan di Papua pun didapati mengganggu langkah-langkah mitigasi yang diupayakan di jalan Wamena-Habema-Kenyam.
“Sangat disesalkan bahwa negara pihak belum memberikan penjelasan lebih lanjut klarifikasi tentang proyek ini, seperti yang diminta Pusat Warisan Dunia pada Desember 2019. Dan sangat memprihatinkan bahwa 190 kilometer jalan melintasi properti telah selesai,” demikian ditulis dokumen yang bisa diakses di laman WHC UNESCO tersebut.
Untuk itu dalam dokumen tersebut, WHC UNESCO meminta pemerintah Indonesia segera menyerahkan rincian proyek Trans Papua dan mendorong upaya mitigasi di wilayah tersebut. WHC UNESCO mengatakan analisa potensi dampak pembangunan terhadap OUV juga harus diupayakan.
“Meminta negara pihak untuk menyerahkan kepada Pusat Warisan Dunia, selambat-lambatnya 1 Februari 2022, laporan terbaru tentang status konservasi properti dan pelaksanaannya di atas, untuk diperiksa oleh Komite Warisan Dunia pada sesi ke-45 di 2022,” demikian penutup untuk seksi khusus TN Lorentz di dokumen tersebut.
Merespons dokumen WHC UNESCO tersebut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menegaskan belum ada bukti yang menyatakan kematian tumbuhan nothofagus dikarenakan pembangunan jalan.
“Dikhawatirkan (dalam dokumen UNESCO) isu dieback dari nothofagus. Dan itu juga belum ada bukti-bukti itu dampak dari jalan,” kata Direktur Jenderal Konservasi dan Sumber Daya Alam dan Ekosistem KLHK Wiratno seperti dikutip dari CNN Indonesia, Rabu (4/8/2021).
Ia menyebut pembangunan jalan di Taman Nasional Lorentz juga tidak menyalahi aturan. Ia menjelaskan pembangunan di kawasan konservasi diperbolehkan melalui Peraturan Menteri Kehutanan No P.85/Menhut-II/2014 tentang Tata Cara Kerja Sama Penyelenggaraan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam.
Menurut Wiratno, pembangunan di kawasan konservasi baru mengkhawatirkan jika menyebabkan perambahan. Namun ia meyakini hal ini tidak terjadi di kasus Taman Nasional Lorentz. “Kalau pembangunan di sekitar kawasan konservasi atau jalan-jalan banyak sekali di kawasan konservasi,” tuturnya.
Sebelumnya, dalam dokumen yang sama, UNESCO juga menyinggung pembangunan proyek pariwisata di Taman Nasional Komodo, Nusa Tenggara Timur (NTT). Dalam rekomendasinya, UNESCO meminta pemerintah Indonesia menyetop proyek tersebut.
Namun KLHK mengatakan hal tersebut tidak mungkin dilakukan karena proyek sudah hampir rampung. KLHK juga meyakini pembangunan tidak mengganggu ekosistem komodo di Pulau Rinca.
Belum Jadi Keputusan
Sementara itu, Ketua Harian Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO, Arief Rachman saat dihubungi mengkonfirmasi mengenai dokumen terkait komodo yang diperbincangkan dalam pertemuan WHC UNESCO tersebut. Namun, katanya, itu masih berupa draf dan ia belum tahu lagi kelanjutan pasca pertemuan tersebut.
“Belum ada informasi (sudah diputuskan). Biasanya kalau sudah jadi keputusan mereka beri tahu saya,” kata Arief melalui sambungan telepon, Selasa (3/8/2021).
Sebagai catatan, TN Lorentz ini berada di 10 kabupaten di Provinsi Papua yaitu Kabupaten Mimika, Kabupaten Paniai, Kabupaten Intan Jaya, Kabupaten Puncak, Kabupaten Puncak Jaya, Kabupaten Lanny Jaya, Kabupaten Jaya Wijaya, Kabupaten Yahukimo, Kabupaten Ndua, dan Kabupaten Asmat.
Kawasan ini membentang pada gletser khatulistiwa di jajaran pegunungan tinggi di Asia Tenggara melalui spektrum lengkap ekosistem mulai dari ekosistem pesisir pantai sampai pada Pegunungan Alpin.
Kawasan ini merupakan keterwakilan gradasi ekosistem dengan ketinggian antara 0 hingga 4.884 mdpl dengan puncak tertinggi Cartenz dan salju abadinya. Pada sisi sebelah utara dari TN Lorentz terbentang jajaran pegunungan tinggi di Pulau Papua yang menjadikan kawasan ini merupakan kekayaan alam unik dan langka di dunia.
Letak dan keunikan bentangan alam inilah yang menjadikan TN Lorentz sebagai kawasan konservasi dengan ekosistem terlengkap di Indonesia, bahkan di Asia Tenggara dan dikenal sebagai benteng terakhir yang memiliki hutan belantara.
Mengutip dari situs KLHK, jalur Trans Papua khususnya ruas Wamena-Habema-Kenyam dengan total panjang sepanjang 284,3 km, dan yang melintasi kawasan TN Lorentz yang berstatus ‘Situs Alam Warisan Dunia’ sepanjang 178,327 km.
Dalam rilisnya pada akhir Juli lalu, Menteri PUPR Basuki Hadimuljono menyatakan proyek jalan Trans Papua dengan total panjang keseluruhan 3.462 km itu dilakukan demi peningkatan kesejahteraan masyarakat Papua, salah satunya dilakukan dengan membuka keterisolasian wilayah dan meningkatkan akses serta konektivitas dari darat maupun multimoda.
“Dari total panjang tersebut, saat ini jalan yang telah tembus sepanjang 3.446 km, dengan kondisi teraspal sepanjang 1.733 km, belum teraspal 1.712 km dan belum tembus 16 km. Pada tahun 2021 penanganan Jalan Trans Papua di Papua yakni sepanjang 139 km dan Papua Barat 120 km meliputi pembangunan baru, pembukaan jalan dan peningkatan struktur/perkerasan,” kata Basuki dalam rilis Kementerian PUPR akhir bulan lalu. [wip]