(IslamToday ID) – Ketua Umum Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Soemitro Samadikun mengeluhkan gula hasil produksi petani tebu tidak terserap optimal di pasar pada kuartal III/2021.
Penyebabnya lantaran adanya persetujuan impor sebesar 3,1 juta ton gula kristal rafinasi (GKR) atau gula rafinasi untuk industri makanan, minuman, dan farmasi pada tahun ini.
“Ini sudah bulan kesembilan, harusnya gula produksi (petani) kita ini diminati oleh pedagang, tetapi ternyata gula ini banyak yang tidak terserap,” kata Soemitro saat ‘Webinar Modernisasi Gula Negara’ seperti dikutip dari Bisnis.com, Rabu (29/9/2021).
Laporan dari pabrik gula BUMN, swasta, dan Perum Bulog memperlihatkan bahwa stok gula per 17 September berada di angka 1,19 juta ton. Dengan kebutuhan rata-rata bulanan sebesar 234.000 ton, stok tersebut diproyeksi bisa memenuhi kebutuhan selama 5,1 bulan ke depan.
Dari jumlah stok tersebut, 1,12 juta ton diantaranya merupakan gula kristal putih (GKP) dari tebu produksi dalam negeri, sementara GKP asal gula mentah impor sebanyak 37.127 ton. Adapun stok gula yang dikelola Perum Bulog berjumlah 9.649 ton.
“Kalau gula konsumsi yang kita produksi dan impor ini tidak bisa terserap pasar, dugaan kami pasti ada gula lain yang masuk karena impor untuk raw sugar, gula rafinasi tetap 3,2 juta ton ini izinnya yang sudah diterbitkan akhir tahun lalu,” kata Soemitro.
Konsekuensinya, katanya, petani tebu di sejumlah daerah mengalami kerugian berturut-turut sejak 2019. Gula dari petani sempat disetujui untuk dibeli oleh sejumlah importir senilai Rp 11.500 pada tahun lalu, tetapi rencana itu tidak kunjung terealisasi.
Belakangan, petani juga berupaya menjual gula dengan harga di kisaran Rp 10.500 kepada Holding Perkebunan Nusantara PTPN III (Persero) dan PT Rajawali Nusantara Indonesia (Persero). Ia mengatakan penawaran petani itu juga tidak terwujud.
“Tidak laku juga, jadi kita ini turun hasil gula kita tahun ini, tidak ada petani hari ini yang menjual gula di atas Rp 11.000, di atas Rp 10.500 saja sudah jagoan itu,” katanya.
Berdasarkan catatan APTRI, rata-rata produksi gula dari petani sebesar 5,14 ton per hektare di atas lahan seluas 418.000 hektare setiap tahunnya. Setelah melalui bagi hasil dengan pabrik gula terkait, produksi gula dari petani berada di kisaran 3,39 ton per hektare.
“Ini menunjukkan biaya tebang, angkut, termasuk biaya produksi gula setelah digiling di pabrik gula dipotong bagi hasil atau upah, maka biaya pokok kita sangat tinggi,” katanya.
Sebelumnya, Kementerian Perindustrian menyebut sesuai hasil Rapat Koordinasi Terbatas (Rakortas) tingkat menteri yang dilaksanakan pada 14 Desember tahun lalu, disepakati alokasi kebutuhan GKR untuk industri makanan, minuman, dan farmasi (maminfar) di dalam negeri pada 2021 sebesar 3,1 juta ton GKR.
Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian Abdul Rochim mengatakan angka itu setara dengan 3,3 juta ton raw sugar. Menurutnya, pada akhir Desember 2020 telah diterbitkan persetujuan impornya sebesar 1,9 juta ton untuk kebutuhan semester I/2021.
“Sementara berdasarkan hasil Rakortas pada 26 Januari 2021 telah disepakati bahwa kebutuhan GKR untuk kebutuhan industri maminfar pada semester II sebesar 1,3 juta ton akan segera diterbitkan dalam waktu dekat ini,” katanya, Senin (8/2/2021).
Lampaui China dan AS
Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bustanul Arifin mengatakan indeks biaya produksi gula dalam negeri terbilang tinggi jika dibandingkan dengan negara lain. Ia berpendapat indeks itu ditenggarai karena minimnya kebijakan pemerintah yang berfokus pada peningkatan produksi gula dalam negeri.
Berdasarkan laporan International Trade Center, indeks biaya produksi gula Indonesia sebesar 192 atau hampir dua kali lipat dari milik Brazil dengan angka 100.
“Jika dilihat dari sini saling bertentangan, di satu sisi Indonesia ingin mengejar swasembada gula di saat yang sama mengembangkan gula rafinasi, ini analoginya agak sulit,” kata Bustanul.
Konsekuensinya, ia menambahkan, impor gula Indonesia relatif tinggi jika dibandingkan dengan negara lain. Indonesia, seperti dilaporkan International Trade Center, memilki indeks 4,1 untuk impor gula melampui China dengan angka 3,4 dan Amerika Serikat dengan indeks 2,9.
“Industri makanan dan minuman dalam negeri berkembang pesat belakangan ini, akibatnya kita jadi importir terus,” katanya.
Sebelumnya, Holding BUMN perkebunan, PT Perkebunan Nusantara III membidik swasembada gula kristal putih (GKP) konsumsi melalui penguatan kemitraan dengan petani. Target ini dipatok seiring dengan terbentuknya holding pabrik gula di bawah naungan PT Sinergi Gula Nusantara atau SugarCo.
Direktur Utama PTPN III Mohammad Abdul Ghani menjelaskan peningkatan produksi gula tidak bisa dicapai tanpa memperkuat kemitraan dengan petani. Dalam situasi saat ini, ia mencatat bahwa sisa hasil usaha (SHU) petani tebu hanya berkisar Rp 3,7 juta per hektare (ha) per tahun, jauh lebih rendah dibandingkan dengan SHU petani padi yang mencapai Rp 11 juta per ha per tahun.
“Kalau petani tidak disentuh, sia-sia upaya menaikkan produksi nasional karena makin banyak yang beralih ke tanaman lain yang lebih menguntungkan. Dalam lima tahun terakhir areal petani turun terus karena memang pendapatannya tidak menarik,” kata Abdul dalam rapat dengar pendapat (RDP) bersama Komisi VI DPR RI, Senin (20/9/2021).
Dalam target perusahaan, pada 2024 petani mitra setidaknya bisa mencapai SHU sebesar Rp 21,2 juta per ha per tahun. Nilai tersebut diharapkan bisa menyentuh Rp 36,5 juta pada 2030.
“Selama perkebunan PTPN tidak bisa menaikkan pendapatan petani di atas Rp 11 juta (SHU pertanian padi), jangan harap petani mau menanam tebu, jadi patokan kami harus di atas Rp 11 juta,” tambahnya. [wip]