(IslamToday ID) – Bagi-bagi jabatan masih mewarnai perjalanan tujuh tahun pemerintahan Jokowi. Pembagian jabatan terutama diberikan kepada politisi dan anggota relawan pendukungnya semasa Pilpres di perusahaan plat merah.
Selain memicu skeptisisme, fenomena ini dipandang merusak profesionalisme birokrasi dan harapan soal masyarakat madani.
Berdasarkan data yang dihimpun, lima bulan setelah dirinya dilantik menjadi presiden pada 20 Oktober 2014 bersama Jusuf Kalla (JK) sebagai wakil presiden, sedikitnya ada 14 politisi dan relawan yang menduduki kursi komisaris di BUMN.
Diaz Hendropriyono, misalnya. Saat Pilpres 2014, ia menjadi ketua umum tim sukses Kawan Jokowi dan Situs Gerak Cepat Jokowi-JK. Anak dari mantan Kepala BIN, AM Hendropriyono itu kemudian diangkat sebagai Komisaris PT Telkomsel pada 2015.
Pada tahun yang sama, Diaz juga ditunjuk sebagai anggota Tim Transisi PSSI oleh Menpora saat itu, Imam Nahrawi. Kemudian pada November 2019, Diaz diangkat sebagai anggota Staf Khusus Presiden.
Nama lainnya, Cahaya Dwi Rembulan Sinaga, relawan Jokowi-JK dan mantan calon anggota legislatif dari PDIP, diganjar jabatan Komisaris Independen Bank Mandiri.
Ada pula nama Fadjroel Rachman, relawan pemenangan Jokowi 2014, yang diangkat menjadi Komisaris Utama PT Adhi Karya dan kemudian menjadi juru bicara presiden di periode kedua Jokowi.
Selain nama-nama di atas, setidaknya ada 11 nama relawan dan tim sukses lain yang turut mendapat jabatan di BUMN, di antaranya Imam Sugema, Paiman Rahardjo, dan Pataniari Siahaan.
Lalu ada Darmin Nasution, Sonny Keraf, Refly Harun, Roy E Maningkas, Hilmar Farid, Hendri Saparini, Hironimus Hilapok, dan Dolfie Othniel Fredric Palit.
Pada periode keduanya, sejak terpilih kembali pada Pilpres 2019 sampai saat ini, deretan nama relawan di pemerintahan dan BUMN kian bertambah. Di BUMN saja, sedikitnya ada 19 orang relawan yang mendapat jabatan.
Terbaru, Abdi Negara Nurdin atau yang lebih dikenal dengan Abdee Slank diangkat oleh Menteri BUMN Erick Thohir sebagai Komisaris Independen di PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk (TLKM).
Abdee dan grup musiknya, Slank, memang getol mempromosikan dukungan terhadap Jokowi sejak 2014.
Selanjutnya, ada aktivis buruh Andi Gani Nena Wea. Saat Pilpres Andi menjadi Ketua Umum Relawan Buruh Sahabat Jokowi. Ia aktif dalam penggalangan massa buruh pada beberapa acara kampanye Pilpres.
Saat Jokowi kembali terpilih, Andi ditunjuk menjadi Presiden Komisaris PT Pembangunan Perumahan (Persero) Tbk atau PT PP.
Pengamat politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Adi Prayitno mengatakan politik balas budi dilakukan hampir oleh setiap presiden. Namun, kata Adi, yang menjadi masalah adalah memaksakan pemberian jabatan kepada orang yang tidak mempunyai jejak yang sesuai dengan jabatan yang diembannya.
“Jadi sumir penempatan relawan tidak sesuai dengan portofolio politiknya. Misalnya nih ahli nyanyi tiba-tiba ngurusin Telkom. Kan enggak nyambung. Itu namanya right man in wrong flight,” kata Adi seperti dikutip dari CNN Indonesia, Kamis (21/10/2021).
“Sekalipun ada politik balas budi kepada para relawan, tapi para relawan punya kapasitas sesuai dengan kemampuannya. Bukan hanya sebatas menempatkan orang-orang untuk bagi-bagi kekuasaan, tanpa harus memikirkan tanggung jawabnya sebagai pejabat publik. Kan begitu yang parah,” imbuhnya.
Pengamat politik Ubedilah Badrun memandang praktik bagi-bagi jatah jabatan itu lebih banyak pertimbangan politis balas jasa daripada pertimbangan profesionalitas. Mengingat, orang-orang yang ditempatkan banyak yang tidak menguasai bidangnya. “Cara politis bagi-bagi kursi untuk relawan itu paling parah era Jokowi,” katanya, Selasa (19/10/2021).
Peneliti dari Pusat Studi Politik (Puskapol) LP2SP FISIP Universitas Indonesia (UI) Hurriyah dalam penelitiannya bertajuk “The Myth of Civil Society’s Democratic Role: Volunteerism and Indonesian Democracy” menunjukkan bahwa dukungan relawan Jokowi di pemilu memang tak gratis.
Salah satu penyebab fenomena ini, katanya, adalah karena beberapa kelompok relawan diciptakan hanya untuk mendukung kampanye Jokowi, menggalang massa, dan membantunya memenangkan pemilu, bukan murni berbasis agenda reformasi.
Meskipun memang, ia mengakui pada awalnya kelompok relawan ini memberi harapan soal pemberian peran baru bagi masyarakat sipil dalam politik Indonesia.
Sayangnya, Hurriyah menyebut sistem politik saat ini tak memberi peluang bagi mereka untuk berkembang pasca-pemilu dan menentang oligarki lebih jauh.
“Relawan sangat penting sebagai juru kampanye dan sebagai pengganti fungsi partai politik, tetapi tidak relevan setelah pemilihan,” ucapnya.
Setelah pemilu, sebagian besar kelompok ini, kecuali Projo dan Pospera, berubah menjadi organisasi massa “pencari karier” dan oportunis.
“Setelah pemilu, para relawan yang diduga demokratis ternyata tidak mewujudkan harapan menjadi juara demokrasi, dan sebaliknya, menjadi ‘bajingan’ yang menunjukkan perilaku politik oportunistik. Pada akhirnya, sifat sukarelawan yang kompleks menghambat kapasitas mereka untuk memajukan agenda demokrasi di bawah pemerintahan Jokowi,” urainya.
Menurutnya, penunjukan anggota relawan sebagai komisaris misalnya, telah mengakibatkan skeptisisme dan prasangka mengenai motif sebenarnya di balik pembentukan kelompok relawan dan alasan dukungan mereka terhadap Jokowi.
Selain itu, katanya, posisi relawan di dalam pemerintahan ini pada akhirnya akan menghambat peran mereka sebagai masyarakat sipil yang mandiri.
“Masih terlalu dini untuk mengaitkan perwujudan masyarakat madani yang progresif sejalan dengan fungsi pembangunan demokrasi menuju sifat kerelawanan,” urai Hurriyah.
Lawan Politik
Permasalahan lainnya, lanjut Adi, pada periode kedua ini, Jokowi tidak hanya menerapkan politik balas budi kepada relawan, melainkan juga politik akomodasi kepada lawan politik.
Misalnya, pemberian posisi Menteri Pertahanan kepada Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto, lawan politik Jokowi di Pilpres 2019.
Menurut Adi Prayitno, penarikan oposisi ke dalam lingkup kekuasaan Jokowi berbahaya bagi demokrasi. Dengan begitu, kelompok-kelompok kritis di parlemen bisa dijinakkan sedemikian rupa.
“Kelompok parlemen dirangkul semua, itu kan mematikan kelompok-kelompok oposisi yang hanya menyisakan PKS dan Demokrat. Mereka jumlahnya cuman 18 persen kok. Karena politik check and balance kita bukan based on quality, tapi based on quantity. Bukan kualitas lagi yang bicara, tapi kan ini soal jumlah siapa yang paling kuat menyokong kekuatan politik,” jelasnya.
“Makanya kemudian ketika ada UU Omnibus Law, revisi UU KPK, sekuat apapun protes dari rakyat, dan kebetulan sama dengan suara PKS dan Demokrat itu nggak ada gunanya. Karena kekuatan politik parlemen dikendalikan oleh pro pemerintah. Emang ini timpang secara demokrasi,” imbuhnya. [wip]