(IslamToday ID) – Indonesia mengambil posisi paling depan dalam aksi penanganan perubahan iklim dunia. Namun sayangnya biaya yang dibutuhkan tidaklah murah. Dalam kalkulasi sementara, diperkirakan biayanya mencapai Rp 3.779,6 triliun.
“Kita ingin mencapai net zero. Pembiayaannya masih dihitung dengan cermat, namun untuk ilustrasi sementara pembiayaan yang dibutuhkan Rp 3.779,6 triliun,” kata Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Febrio Kacaribu seperti dikutip dari CNBC Indonesia, Senin (29/11/2021)
Biaya tersebut merupakan mitigasi akumulatif dari 2020 sampai 2030 dengan rata-rata per tahunnya Rp 343,6 triliun. Meliputi beberapa sektor, di mana energi dan transportasi memiliki porsi terbesar dengan Rp 3.500 triliun dan selanjutnya kehutanan dan limbah. “Sektor demi sektor sangat berbeda pembiayaannya,” ujar Febrio.
Pembiayaan tersebut disesuaikan dengan agenda Indonesia dalam mitigasi perubahan iklim. Kehutanan, energi, dan transportasi merupakan penyumbang emisi terbesar.
Febrio menambahkan, pembiayaan ini akan dipenuhi melalui APBN dan non APBN baik dalam maupun luar negeri.
Dari APBN, pemerintah telah menjalankan beberapa instrumen, seperti fasilitas perpajakan dan cukai untuk pengembangan energi terbarukan dan kendaraan listrik, transfer ke daerah dan dana desa (TKDD) yang banyak digunakan untuk pengelolaan sampah, energi rendah emisi dan lainnya. Pemerintah juga sudah memiliki instrumen pembiayaan melalui green bond.
Selain itu, Febrio kini tengah menyusun pelaksanaan penerapan pajak karbon. Dasar hukum dari aturan tersebut telah ada pada UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Kini aturan lebih teknis disiapkan.
Penerapan pajak karbon dipastikan tidak akan mengganggu dunia usaha. Pajak akan dikenakan atas emisi yang dikeluarkan berdasarkan cap yang nantinya ditentukan. Sehingga PLTU yang tahap awal akan dikenakan, tidak berlaku secara keseluruhan.
“Tujuan pajak karbon adalah mengubah perilaku, mendukung penurunan emisi, dan mendorong inovasi dan investasi dengan memegang prinsip adil terjangkau dan bertahap,” paparnya.
Pada tahun depan, pemerintah akan fokus pada sinkronisasi cap & trade dan cap & tax sub sektor ketenagalistrikan. Penetapan cap untuk sektor pembangkit listrik batubara oleh Kementerian ESDM. Kemudian penerapan pajak karbon dengan tarif Rp 30.000/tCO2e, penyiapan sistem MRV pendukung perdagangan karbon, dan penyiapan regulasi teknis perdagangan karbon. [wip]