(IslamToday ID) – Pilihan mantan pegawai KPK Novel Baswedan dan puluhan lainnya untuk bergabung menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) Polri dipertanyakan.
Ketua Indonesian Police Watch (IPW) Sugeng Teguh Santoso mengaku pesimistis dengan kontribusi eks pegawai KPK di kepolisian. Menurutnya, para pecatan KPK itu mestinya bisa lebih leluasa di luar melakukan kerja-kerja pemberantasan korupsi secara independen.
“Mereka bisa di luar membentuk kelompok independen, yang mengawasi. Bahkan mereka lebih leluasa menjalin jaringan dengan siapapun,” kata Sugeng seperti dikutip dari CNNIndonesia, Rabu (8/12/2021).
Ia terutama meragukan kultur independensi para mantan pegawai KPK dengan budaya di kepolisian. Sebagai ASN, apalagi di kepolisian, menurut Sugeng, budaya tegak lurus adalah harga yang tidak bisa ditawar.
Meski secara normatif bawahan berhak menolak perintah atasan yang salah, ia menyebut pada praktiknya itu hanya pepesan kosong di lingkungan Bhayangkara. Perintah atasan, katanya, adalah hal mutlak yang harus dilakukan para ASN di kepolisian.
“Tidak ada cerita itu membantah, mungkin memberikan masukan boleh, tapi tidak ada cerita membantah. Semua harus siap. Bahkan siap salah,” cetusnya.
Budaya “siap salah” di Korps Bhayangkara ini, menurut Sugeng, sangat bertolak belakang dengan kultur Novel dkk selama di KPK. Kerja-kerja pemberantasan korupsi di lembaga antirasuah, lanjutnya, adalah kerja-kerja tim kecil yang tidak bisa diintervensi oleh siapapun, bahkan oleh atasan sekalipun.
Budaya tersebut terbentuk selama puluhan tahun di antara para pegawai KPK. Oleh karena itu, ia meragukan hal itu bisa seketika berubah usai para pegawai kelak menjadi bagian dari Korps Bhayangkara.
Sugeng pun menyebut tawaran Kapolri kepada para mantan pegawai KPK itu hanya pemanis. Ia justru menduga Presiden Jokowi hanya menggunakan Kapolri sebagai alat pasang badan atas tuntutan publik yang menguat dalam kasus pemecatan Novel Cs.
“Jadi ini sebetulnya sudah tidak ada manfaatnya. Kecuali Novel Cs ini ya dia membutuhkan sumber penghasilan, untuk membiayai keluarga anak istri segala macam,” ucapnya.
Sementara, Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman memperkirakan para mantan pegawai KPK tersebut bakal diserang sejumlah tudingan, misalnya sebutan sebagai pencari kerja.
“Mereka barangkali juga tetap membesarkan hati meskipun ada cemoohan dari pihak-pihak tertentu bahwa mereka pencari kerja, padahal mereka bukan pencari kerja, saya tahu itu,” katanya.
Padahal, lanjut Boyamin, mereka sudah berkorban banyak dengan menerima tawaran tersebut. Di antaranya berbesar hati menerima tugas di luar keahlian mereka di bidang penindakan serta nominal gaji.
“Mereka biasa di KPK di bidang penindakan sekarang pencegahan, mungkin juga dari salary atau gaji pasti ada hal berbeda,” katanya.
Sedangkan pengamat politik dari Universitas Padjajaran, Bandung, Kunto Adi Wibowo tak mempermasalahkan indikasi strategi politik di balik tawaran Kapolri kepada Novel dkk itu.
Namun, katanya, keputusan tersebut harus memperlihatkan hasil berupa kerja pemberantasan korupsi, bukan malah menjadi antiklimaks kinerja kepolisian.
“Ini sah-sah saja dilakukan sebagai strategi politik. Problemnya, harus jelas ada hasil kinerja dan jangan sampai ini jadi antiklimaks lagi, misalnya pembatasan wewenang, bahkan korupsi tidak segera ada kasus,” katanya. [wip]