(IslamToday ID) – Pasal 4 UU NO 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH) berbunyi bahwa produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal. Pemberlakuan ketentuan ini efektif lima tahun setelah UU diundangkan sejak 17 Oktober 2014 atau berlaku 17 Oktober 2019.
Kenapa harus ada kewajiban sertifikat halal bagi produk yang beredar di Indonesia? UU JPH yang digagas sejak 2006 merupakan inisiatif DPR, beberapa pertimbangan UU ini adalah antara lain “Menjamin setiap pemeluk agama untuk beribadah dan menjalankan ajaran agamanya, negara berkewajiban memberikan pelindungan dan jaminan tentang kehalalan produk yang dikonsumsi dan digunakan masyarakat.”
Pertimbangan lainnya adalah produk yang beredar di masyarakat belum semua terjamin kehalalannya. “Bahwa pengaturan mengenai kehalalan suatu produk pada saat ini belum menjamin kepastian hukum dan perlu diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan.”
Dalam penjelasan UU, disebutkan negara berkewajiban memberikan pelindungan dan jaminan tentang kehalalan produk yang dikonsumsi dan digunakan masyarakat. Jaminan mengenai produk halal hendaknya dilakukan sesuai dengan asas pelindungan, keadilan, kepastian hukum, akuntabilitas dan transparansi, efektivitas dan efisiensi, serta profesionalitas.
“Oleh karena itu, jaminan penyelenggaraan produk halal bertujuan untuk memberikan kenyamanan, keamanan, keselamatan, dan kepastian ketersediaan produk halal bagi masyarakat dalam mengonsumsi dan menggunakan produk, serta meningkatkan nilai tambah bagi pelaku usaha untuk memproduksi dan menjual produk halal.”
Dalam UU ditegaskan bahwa produk adalah barang dan/atau jasa yang terkait dengan makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, produk rekayasa genetik, serta barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh masyarakat.
“Produk halal adalah produk yang telah dinyatakan halal sesuai dengan syariat Islam,” penjelasan UU JPH.
Bagaimana cara mendapatkan sertifikat halal? Pemohon sertifikat halal diawali mengajukan permohonan sertifikat halal oleh pelaku usaha kepada Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH).
Selanjutnya, BPJPH melakukan pemeriksaan kelengkapan dokumen. Pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan produk dilakukan oleh Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) yang bisa dibentuk oleh masyarakat maupun pemerintah.
LPH harus lebih dahulu memperoleh akreditasi dari BPJH yang bekerja sama dengan MUI. Penetapan kehalalan produk dilakukan oleh MUI melalui sidang fatwa halal MUI dalam bentuk keputusan penetapan halal produk yang ditandatangani oleh MUI. “BPJPH menerbitkan sertifikat halal berdasarkan keputusan penetapan halal produk dari MUI tersebut.”
Ketentuan UU No 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH) diatur rinci dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 31 Ttahun 2019, yang mengatur lebih detil antara lain pada pasal 2, ayat:
(2) Produk yang berasal dari bahan yang diharamkan dikecualikan dari kewajiban bersertifikat halal
(3) Produk yang sebagaimana dimaksud ayat (2) wajib diberikan keterangan tidak halal
(4) Pelaku usaha wajib mencantumkan keterangan tidak halal pada produk sebagaimana dimaksud pada ayat 3 [wip]