(IslamToday ID) – Mantan anggota DPR RI Helmy Faishal Zaini mengatakan pembangunan Indonesia selama ini belum bertumpu pada ekonomi yang melahirkan pemerataan dan kesejahteraan. Pembangunan yang berjalan masih terus melahirkan ketimpangan.
Hal itu diungkapkan Helmy saat menghadiri Seminar Peringatan dan Refleksi 24 Tahun Reformasi yang diselenggarakan oleh Institut Harkat Negeri (IHN) dengan judul “Reformasi dan Jalan Keluar Dari Krisis” seperti dikutip dari siaran Bravos Radio, Jumat (3/6/2022).
Menurut Helmy, saat ini kekayaan 4 orang terkaya di Indonesia sama dengan kekayaan 100 juta penduduk. Kemudian ada riset yang menyebut 1 persen orang terkaya di Indonesia ini menguasai hampir 50 persen aset nasional.
“Maka jelas saya katakan pembangunan kita tidak bertumpu pada ekonomi yang melahirkan pemerataan dan kesejahteraan, tapi melahirkan ketimpangan,” ujarnya mantan Sekjen PBNU ini.
Helmy kemudian berbicara soal budaya birokrasi pemerintah yang tidak pernah berubah sejak zaman dulu. Ia juga menyinggung soal disparitas luar biasa yang terjadi antara di Jawa dan luar Jawa.
“Misalnya, kalau kita bicara disparitas ini terjadi luar biasa. Di Jawa ini konsepnya sudah ada by pass dibuat jalan tol, sudah ada jalan tol dibuat MRT dan LRT, di semua titik dikasih bandara. Setelah itu ada dobel track kereta api, ada jalan layang, dan ini terus nggak ada habis-habisnya. Sementara kita nggak punya konsep pengembangan ekonomi kita ke luar (daerah),” ungkap Helmy.
Ia juga menyebut pembangunan Ibukota Negara (IKN) yang digagas Presiden Jokowi terlalu gegabah atau terburu-buru. Harusnya, menurutnya, pembangunan IKN didiskusikan dengan sejumlah pihak seperti misalnya tokoh agama atau masyarakat adat.
“Misalnya sowan kiai dulu, minta di-istiqarahi ini (IKN) mantap atau nggak mantap kira-kira. Kemudian tokoh-tokoh adat yang menguasai tanah ulayat itu juga harus diajak diskusi,” ujar Helmy.
Helmy kemudian berbicara soal arah reformasi yang kini sudah berjalan selama 24 tahun. Ia memulai dari perspektif politik, terutama politik yang memihak pada pro poor budget.
“Kalau kita membaca politik anggaran kita, tidak sepenuhnya memiliki satu madzab yang disebut sebagai pro poor budget, misalnya subsidi BBM, itu sebetulnya hanya mensubsidi orang kaya. Kemudian kalau kita membedah berapa persen sih anggaran untuk membangun ekonomi kerakyatan, saya kira jumlahnya masih sangat sedikit sekali,” ungkapnya.
Ia menyebut kondisi itu bertolak belakang dengan kekayaan alam Indonesia yang sangat melimpah. Namun kekayaan alam itu belum mampu mengejar pertumbuhan ekonomi sehingga menyejahterakan rakyat.
“Kita sebenarnya punya sumber daya alam yang melimpah. Ada teori klasik yang menyebutkan bahwa sigma sumber daya alam kita kalau dibagi sigma jumlah penduduk, harusnya di Indonesia tidak boleh ada satu orang pun miskin, karena sigma sumber daya alam kita ini luas,” jelas Helmy.
Ia kemudian bertanya sebenarnya Indonesia itu miskin karena bodoh, apa bodoh karena miskin? Kalau pertanyaan itu berangkat dari kenyataan bahwa sumber daya alam kita ini melimpah maka jawabannya adalah kita miskin karena bodoh.
“Untuk itu perlu kita bedah APBN kita, apakah sudah betul-betul pro terhadap upaya kita untuk meningkatkan sumber daya alam? Betul anggaran pendidikan kita sudah 20 persen, tapi angka itu lebih besar untuk proyek pengadaan buku daripada untuk pengembangan sumber daya manusianya,” pungkas Helmy. [wip]