(IslamToday ID) – LBH Jakarta menilai pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) mempersempit definisi dan membatasi kritik.
Pengacara publik LBH Jakarta Citra Referandum mengatakan hal itu dikarenakan dalam penjelasan Pasal 218 RKUHP memuat definisi kritik yang harus konstruktif dan sedapat mungkin memberikan solusi.
“Menurut kami seharusnya kritik itu tidak boleh didefinisikan secara sempit seperti itu,” katanya seperti dikutip dari CNN Indonesia, Jumat (8/7/2022).
Citra menjelaskan, kritik terhadap kinerja atau kebijakan pemerintah seharusnya tidak dibatasi. Sebab hal itu dijamin oleh Pasal 28E Ayat (3) UUD 1945. Selain itu, ia menilai pasal tersebut cenderung diskriminatif sebab tidak semua warga memahami regulasi.
“Kritik itu seharusnya dimaknai bukan hanya bagi orang-orang yang punya privilese memahami isi regulasi, struktur sistematika regulasi, orang-orang yang kemudian bisa membuat kertas kebijakan,” jelasnya.
Terlebih, permasalahan atau keluhan banyak terjadi pada lingkup masyarakat dengan ekonomi rendah. Dengan begitu, menurutnya, normal jika banyak dari mereka yang melontarkan kritik.
“Harusnya ketika menyampaikan kritik itu mereka didengar, lalu kemudian dipertimbangkan pendapatnya. Lalu diberikan penjelasan atas pertimbangan pendapat itu,” tuturnya.
Citra pun berpandangan bahwa pasal tersebut bisa menimbulkan kriminalisasi berlebihan kepada masyarakat. Menurutnya, tidak seharusnya orang yang melontarkan kritik dipidana.
Apalagi, menurut Citra, pasal ini sudah tidak relevan. Ia menjelaskan pasal penghinaan tersebut merupakan peninggalan kolonial Belanda.
Dalam konteks itu, pasal penghinaan ditujukan kepada raja atau ratu, bukan presiden. Sebab, sistem pemerintahan Belanda adalah monarki. “Sistem kita republik demokratis bukan monarkis,” kata Citra.
“Over kriminalisasi dan juga pasal kolonial itu dibuat untuk melindungi ratu Belanda sebetulnya, konteksnya monarki,” imbuhnya.
Pengacara LBH Jakarta Alif Fauzi Nurwidiastomo menambahkan, pihaknya curiga pasal tersebut dibuat memang hanya untuk membatasi kritik warga. Ia mengatakan pemerintah sengaja menciptakan ketakutan.
“Secara tidak langsung masyarakat mengalami kekhawatiran akan terjerat, karena ada produksi ketakutan dari pemerintah,” katanya.
Berdasarkan draf RKUHP terbaru yang beredar, Pasal 218 Ayat (1) mengatur setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri presiden atau wakil presiden dipidana penjara paling lama 3,5 tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV.
Kemudian Pasal 218 Ayat (2) menyatakan, “Tidak merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.”
Dalam penjelasan Pasal 218 Ayat (2) disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “dilakukan untuk kepentingan umum” adalah melindungi kepentingan masyarakat yang diungkapkan melalui hak berekspresi dan hak berdemokrasi, misalnya melalui kritik atau pendapat yang berbeda dengan kebijakan presiden dan wakil presiden.
Kritik adalah menyampaikan pendapat terhadap kebijakan presiden dan wakil presiden yang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk. Kritik bersifat konstruktif dan sedapat mungkin memberikan suatu alternatif maupun solusi dan/atau dilakukan dengan cara yang objektif. [wip]