(IslamToday ID) – Politisi PKB Luqman Hakim mengkritik pernyataan Presiden Jokowi yang menyebut tak mempermasalahkan pihak-pihak yang getol mengusulkan masa jabatan presiden tiga periode. Menurutnya, meski mengatasnamakan demokrasi dalam berpendapat, tetap harus dibatasi oleh konstitusi.
“Demokrasi itu ada batasnya, yakni konstitusi. Kebebasan tanpa batas itu bukan demokrasi, tapi anarki,” kata Luqman, Rabu (31/8/2022).
Menurutnya, Indonesia bisa rusak jika Jokowi membiarkan usulan tiga periode yang jelas-jelas dilarang dalam konstitusi. Dalam hal ini terkait pembatasan masa jabatan presiden sebagaimana termaktub dalam Pasal 7 UUD 1945.
Jika dibiarkan, lanjut anggota Komisi IX DPR RI Fraksi PKB ini, usulan-usulan atas nama demokrasi seperti mengkampanyekan khilafah, komunisme, dan wacana mengganti Pancasila bisa semakin subur.
“Wah rusak negeri ini kalau cara berdemokrasi seperti itu. Nanti atas nama demokrasi bebas kampanye khilafah, komunisme, negara Islam, mengganti Pancasila dengan Quran-Hadis, dan lain-lain,” pungkasnya.
Saat menghadiri acara relawan Jokowi di Bandung, Jokowi mengatakan dirinya tak mempermasalahkan jika ada yang mengampanyekan presiden tiga periode. Menurut Jokowi, hal itu bagian dari demokrasi.
“Ini katanya negara demokrasi? Itu kan tataran wacana, enggak apa-apa, yang penting saya ingatkan dalam menyampaikan aspirasi jangan anarkis,” ujarnya.
Selain itu, menurut Jokowi, aspirasi apapun sah dibahas di dalam Musra. Sehingga ia menilai aspirasi mengenai masa jabatan tiga periode pun tak masalah muncul dalam acara tersebut.
“Ini forumnya rakyat, boleh rakyat bersuara kan? Jangan sampai ada yang baru ngomong tiga periode sudah ramai,” katanya, Ahad (28/8/2022).
Kritik juga datang dari aktivis pro demokrasi era 90-an, Raharja Waluya Jati. Sekjen di Sekretariat Kolaborasi Indonesia (SKI) itu mempertanyakan komitmen kalangan aktivis politik maupun kelompok masyarakat sipil terhadap reformasi 98.
Salah satu tuntutan inti dari gerakan reformasi adalah pembatasan kekuasaan yang berpotensi eksesif. Khususnya yang berkaitan dengan masa jabatan presiden.
“Saya ingin bertanya kepada teman-teman yang ada di partai politik, kelompok relawan politik, maupun kelompok masyarakat sipil. Apakah kita masih ingin meneruskan cita-cita reformasi, ataukah kita ingin mereformasi reformasi?” ujar Jati dikutip dari RMOL.
Salah satu korban penghilangan paksa oleh negara pada pertengahan 90-an itu berpendapat, kelenturan dalam pengaturan masa jabatan presiden justru bertentangan dengan keinginan publik untuk meningkatkan kualitas demokrasi dan memperbaiki tata kelola negara.
Selama ini, kata Jati, praktik demokrasi yang berkualitas diyakini lebih memberikan dampak positif pada kehidupan masyarakat dan pencapaian kesejahteraan umum.
“Menko Polhukam Mahfud MD baru-baru ini menyatakan bahwa demokrasi Indonesia mengalami kemunduran. Apakah kalangan aktivis politik dan kelompok masyarakat sipil membiarkan bahkan ikut mendorong praktik demokrasi kita semakin mundur?” sambungnya.
Disamping mengkritik wacana ‘Jokowi 3 periode’ yang dianggap bertentangan dengan cita-cita reformasi, Jati juga menolak penyetaraan wacana penambahan masa jabatan presiden dengan wacana ‘ganti presiden’. Sebab, dua wacana itu dianggap memiliki kedudukan yang berbeda di mata konstitusi.
“Usulan ‘Jokowi 3 periode’ tidak konstitusional. Sementara usulan ‘ganti presiden’ itu konstitusional. Karena penggantian presiden diatur konstitusi. Namun, meskipun konstitusional, pengusung wacana beberapa tahun lalu tetap mendapatkan intimidasi dan represi,” kata Jati. [wip]