(IslamToday ID) – Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan mengabulkan permohonan sepasang kekasih berinisial DRS yang beragama Kristen dan JN yang beragama Islam untuk didaftarkan perkawinannya.
Hakim tunggal Arlandi Triyogo memerintahkan Kantor Suku Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Jakarta Selatan menerbitkan akta perkawinan sepasang kekasih beda agama tersebut.
“Memerintahkan agar Kantor Suku Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Administrasi Jakarta Selatan untuk mencatatkan Perkawinan Beda Agama Para Pemohon ke Register Pencatatan Perkawinan yang digunakan untuk itu dan segera menerbitkan Akta Perkawinan tersebut,” tulis amar putusan pengadilan dikutip dari laman Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) PN Jakarta Selatan, Kamis (15/9/2022).
Amar putusan yang dibacakan pada Senin (8/8/2022) itu menyebutkan bahwa permohonan pasangan itu hanya dikabulkan sebagian.
Pasangan beda agama ini diberikan izin untuk mendaftarkan perkawinannya dan dibebankan biaya perkara sebesar Rp 210.000. Adapun gugatan dengan No 508/Pdt.P/2022/PN JKT.SEL itu didaftarkan pada 27 Juni 2022.
Dalam petitumnya, kedua pemohon meminta hakim memerintahkan kepada Kantor Dukcapil Jakarta Selatan untuk menerbitkan akta perkawinan yang dilaksanakan pada 31 Mei 2022. Perkawinan beda agama sepasang kekasih itu telah dilaksanakan di Gereja Kristen Nusantara, beralamat di Jalan Cempaka Putih Barat XXI No 34, Jakarta Pusat.
“Memberikan izin kepada para pemohon untuk mendaftarkan perkawinannya di Kantor Suku Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Administrasi Jakarta Selatan,” demikian bunyi petitum pemohon dikutip dari Kompas.
Mengenal Aturan Nikah Beda Agama
UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK). UU tersebut digugat oleh seorang warga bernama E Ramos Petege. Ramos yang beragama Katolik mengajukan gugatan tersebut usai gagal menikah dengan kekasihnya yang beragama Islam.
Dalam gugatannya, Ramos menyatakan bahwa jalinan asmaranya kandas karena dirinya dan kekasih memeluk agama dan keyakinan yang berbeda, sehingga tidak bisa melangsungkan perkawinan.
Menurutnya, UU Perkawinan tidak memuat aturan jelas mengenai perkawinan beda agama. Ketidakpastian itu, kata Ramos, telah melanggar hak-hak konstitusionalnya.
“Hal ini tentunya menyebabkan pemohon kehilangan kemerdekaannya dalam memeluk agama dan kepercayaannya, karena apabila hendak melakukan perkawinan adanya paksaan salah satunya untuk menundukkan keyakinan, serta juga kemerdekaan untuk dapat melanjutkan keturunan melalui membentuk keluarga yang didasarkan pada kehendak bebas yang mulia,” bunyi petikan permohonan yang dilansir dari lama resmi MK.
Aturan dalam UU Perkawinan yang dimaksud Ramos dimuat dalam Pasal 2 Ayat (1) dan (2) serta Pasal 8 huruf f. Lantas, bagaimanakah bunyi aturan tersebut?
Pasal 1 UU Perkawinan menyebutkan bahwa perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Mengacu Pasal 2 Ayat (1), perkawinan dinyatakan sah jika dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan. Kemudian, pada Ayat (2) pasal yang sama dikatakan, tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Adapun Pasal 8 mengatur tentang perkawinan yang dilarang. Pada huruf f disebutkan, “Perkawinan dilarang antara dua orang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin”. Ketentuan tersebut dinilai tidak memberi pengaturan khusus mengenai perkawinan beda agama. Namun, kerap kali ditafsirkan bahwa hukum kawin beda agama merujuk pada hukum agama.
Meski demikian, Mahkamah Agung (MA) melalui Putusan No 1400K/PDT/1986 pernah mengabulkan perkawinan beda agama oleh dua pihak yang mengajukan kasasi. Putusan itu lantas kerap menjadi rujukan dalam pengajuan izin perkawinan beda agama. Dilansir dari laman resmi Direktori Putusan MA, terdapat ratusan dokumen penetapan status perkawinan beda agama. [wip]