(IslamToday ID) – Penembakan gas air mata yang menyebabkan terjadinya tragedi di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur diketahui diperintahkan oleh Komandan Kompi (Danki) Brimob dan Kasat Sabhara. Hal itu sesuai dengan laporan Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) yang dihimpun dari Polres Malang.
Menurut TGIPF, gas air mata ditembak untuk memecah massa. Diskresi penggunaan gas air mata diberikan oleh dua pejabat kepolisian itu.
“Berdasarkan hasil investigasi yang dilakukan oleh jajaran Polres Malang, diperoleh penjelasan bahwa terdapat perintah dari Danki (Brimob) dan Kasat Sabhara yang memberikan perintah, serta terdapat diskresi anggota untuk memecah suporter,” dikutip dari dokumen hasil temuan TGIPF Tragedi Stadion Kanjuruhan.
Berdasarkan temuan itu, Kapolres Malang, Wakapolres Malang, dan Kabag Ops tidak pernah memerintahkan untuk menembakkan gas air mata.
Laporan itu juga menyebut gas air mata terlihat paling banyak di tribun selatan. Beberapa titik yang paling banyak diselimuti gas air mata adalah area pintu 10, 11, 12, 13, dan 14.
Pada laporan itu, ada pula hasil pengusutan TGIPF terhadap Polda Jatim. Polda Jatim mengaku tak tahu mengenai larangan penggunaan gas air mata dalam pengamanan pertandingan.
“Jajaran Polda Jatim menyatakan bahwa PSSI tidak pernah mengadakan sosialisasi terkait regulasi FIFA, khususnya yang berkaitan dengan larangan penggunaan gas air mata, sehingga banyak anggota polisi yang tidak tahu terkait regulasi FIFA dan bertindak berdasarkan diskresi kepolisian,” bunyi laporan TGIPF.
Sementara, berdasarkan keterangan Komnas HAM, kericuhan di Stadion Kanjuruhan bermula dari tembakan gas air mata. Kejadian itu berlangsung sekitar pukul 22.10 WIB. “Pemicu utama kericuhan adalah tembakan gas air mata ke shuttle ban (lintasan lari atletik) dan tribun suporter,” bunyi laporan TGIPF atas keterangan Komnas HAM.
Keterangan itu serupa dengan pengakuan dirigen Aremania Yones. Ia berkata suporter kecewa dengan hasil pertandingan, tetapi dirigen mengingatkan agar menjaga suasana kondusif dan tidak turun ke lapangan.
“Tiba-tiba terdengar tembakan ke arah tribun 11, 12, 13 yang awalnya menduga kembang api, yang ternyata gas air mata, tembakan pertama ke arah tribun 12,” tulis TGIPF berdasarkan pengusutan tim Persatuan Purnawirawan TNI Angkatan Darat (PPAD).
Jika merujuk keterangan Kodam V/Brawijaya, kondisi memanas setelah pertandingan Arema FC melawan Persebaya Surabaya berakhir. Kejadian itu berlangsung sekitar pukul 21.57 WIB. “Beberapa suporter Arema (Aremania) sejumlah kurang lebih 200 orang mulai turun ke lapangan ingin mendekat ke posisi pemain dan official Arema FC, sehingga mereka bergegas menuju kamar ganti pemain,” dikutip dari dokumen hasil temuan TGIPF.
Kodam V/Brawijaya menyatakan kepolisian menembak gas air mata karena kondisi tak terkontrol. Tembakan diarahkan ke tribun selatan dan tribun timur. Tembakan itu membuat suporter turun ke lapangan dan menyerang aparat pada 22.20 WIB. Sejumlah anggota TNI menjadi sasaran amuk massa.
Pukul 22.30 WIB, menurut Kodam V/Brawijaya, kepolisian terus menembakkan gas air mata ke tribun selatan dan tribun timur. 5 Menit setelahnya, suporter panik berusaha keluar stadion karena efek gas air mata.
“Pukul 22.50 WIB, massa melakukan aksi kepada personel polisi dan material milik polisi yang ada di sekitar stadion, adapun terdapat 13 kendaraan polisi yang dirusak dan dibakar,” bunyi laporan TGIPF atas keterangan Kodam V/Brawijaya.
Menjelang pergantian hari, ketegangan di stadion perlahan mereda. Kodam V/Brawijaya memerintahkan anggotanya untuk menyisir stadion dan membantu penanganan korban. Penanganan rampung sekitar 04.00 WIB pada 2 Oktober 2022.
Kesaksian Kodam V/Brawijaya serupa dengan keterangan Polda Jawa Timur. Dua institusi itu menyebut tragedi Kanjuruhan dimulai dengan kericuhan yang dipicu suporter. [wip]