(IslamToday ID) – Wakil Presiden (Wapres) KH Ma’ruf Amin menanggapi laporan Bank Dunia yang menyebut beras di Indonesia paling mahal dalam 10 tahun terakhir jika dibanding dengan negara-negara di ASEAN. Ia mengatakan harga beras di Indonesia terbilang fluktuatif dan kenaikannya masih dalam batas yang wajar.
“Harga beras itu kalau dilihat pada saat seperti ini memang itu agak naik ya. Tetapi kalau nanti sebentar lagi panen turun, jadi ada masa turun ada masa naik, tapi dalam batas-batas yang wajar,” kata Wapres dalam keterangan pers di Bali, Kamis (22/12/2022).
Ia juga mengatakan, harga beras di Indonesia memang cenderung naik mendekati hari-hari besar seperti Natal dan tahun baru maupun Idul Fitri. “Jadi kalau mau menilai harga beras itu harus dirata-rata, jadi ketika murah, ketika naik, kemudian dirata-rata menjadi berapa,” ujar Wapres dikutip dari Kompas.
Lebih lanjut, ia mengungkapkan bahwa pengelolaan beras sudah dijalankan dengan baik, dibuktikan dengan swasembada beras pada dua tahun terakhir. Ia mengatakan, impor beras yang dilakukan pemerintah akhir-akhir ini pun hanya untuk memenuhi stok cadangan beras.
Oleh sebab itu, Wapres menilai Indonesia semestinya tidak menjadi negara dengan harga beras termahal. “Kalau indikasi secara keseluruhan tidak yang termahal, tidak. Mungkin juga bukan yang termurah juga mungkin, tapi agak murah lah, di atas termurah mungkin, antara itu, tapi bukan yang termahal,” ujarnya.
Diberitakan sebelumnya, Bank Dunia melaporkan harga beras di Indonesia lebih tinggi dari negara-negara ASEAN lain selama satu dekade terakhir. Berdasarkan laporan Indonesia Econic Prospect (IEP) Bank Dunia edisi Desember 2022, harga beras di Indonesia 28 persen lebih tinggi dari harga di Filipina. Bahkan, harga beras Indonesia dua kali lipat harga beras di Vietnam, Kamboja, Myanmar, dan Thailand.
“Konsumen Indonesia membayar harga beras dan makanan pokok lainnya lebih tinggi daripada negara tetangga,” tulis Bank Dunia dalam laporannya, Selasa (20/19/2022).
Mahalnya harga beras di Indonesia, tulis Bank Dunia, disebabkan karena adanya kebijakan pemerintah untuk mendukung harga pasar bagi produsen di sektor pertanian. Kebijakan yang dimaksud meliputi kebijakan pembatasan perdagangan seperti tarif impor, monopoli impor BUMN untuk komoditas utama, serta kebijakan harga pembelian minimum di tingkat petani.
Selain itu, kurangnya investasi jangka panjang dalam riset dan pengembangan pertanian, layanan penyuluhan, dan pengembangan sumber daya manusia pertanian telah menghambat peningkatan produktivitas yang dapat menurunkan harga pangan dalam jangka panjang.
“Rantai pasokan yang panjang dan biaya distribusi yang tinggi, sebagian karena geografi negara yang kompleks, juga menaikkan harga pangan bagi konsumen di negara tersebut,” tulis Bank Dunia. [wip]