(IslamToday ID) – Ketua MUI Bidang Fatwa, KH Asrorun Niam Sholeh melarang adanya praktik subsidi biaya haji dari dana milik jamaah yang belum berangkat. Dalam penyelenggaraan ibadah haji tahun 2023, Kementerian Agama (Kemenag) mengusulkan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) sebesar Rp 98.893.909,11 disubsidi 30 persen menggunakan nilai manfaat dana jamaah yang masuk daftar tunggu dan 70 persen dari dana milik jamaah yang berangkat.
Menurut Niam, jika hal tersebut dilakukan maka bisa masuk kategori malpraktik dalam penyelenggaraan ibadah haji. “Kalau digunakan untuk menutup BPIH bagi jamaah lain maka itu bisa masuk malpraktik penyelenggaraan ibadah haji,” katanya dikutip dari Tempo, Selasa (31/1/2023).
Niam mengatakan nilai manfaat bukan hanya untuk calon jamaah haji yang akan berangkat pada tahun ini, namun juga untuk calon jamaah haji yang akan berangkat pada tahun mendatang.
Ia mengingatkan nilai manfaat calon jamaah haji yang sedang mengantre/jamaah tunggu tidak boleh digunakan untuk menutup biaya jamaah haji yang akan berangkat.
“Dana BPIH milik calon haji yang masuk daftar tunggu, tidak boleh digunakan untuk keperluan apapun kecuali untuk membiayai keperluan yang bersangkutan. Kepemilikan dananya bersifat personal, meski dikembangkan secara kolektif, manfaatnya dikembalikan secara personal,” kata Niam.
Sebelumnya, Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas mengusulkan untuk menaikkan Biaya Perjalanan Ibadah Haji (Bipih) 1444 H/2023 M sebesar Rp 69.193.733,60. Jumlah ini adalah 70 persen dari usulan rata-rata BPIH yang mencapai Rp 98.893.909,11.
Dari jumlah tersebut, biaya yang perlu ditanggung jamaah mencapai 70 persen atau Rp 69,19 juta per orang. Sementara 30 persen atau Rp 29,7 juta sisanya dibayarkan dari nilai manfaat pengelolaan dana haji. “Usulan ini atas pertimbangan untuk memenuhi prinsip keadilan dan keberlangsungan dana haji. Formulasi ini juga telah melalui proses kajian,” ujar Yaqut.
Kepala Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) Fadlul Imansyah menyebut kenaikan biaya haji 2023 melalui perubahan persentase subsidi perlu dilakukan agar nilai manfaat para jamaah tunggu tidak tergerus. Menurutnya, jika skema subsidi lama diteruskan pada kloter jamaah haji tahun ini, dikhawatirkan seluruh nilai manfaat jamaah akan tergerus habis sebelum 2027.
Pada tahun lalu, pemerintah menggunakan skema 41:59 untuk Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH), yakni 41 persen biaya ditanggung jamaah sebagai Biaya Perjalanan Ibadah Haji (Bipih) dan 59 persen BPIH disubsidi menggunakan nilai manfaat. Pada tahun 2023, proporsionalnya diusulkan berubah menjadi 70:30.
“Kalau kami hitung di bawah 70:30 itu kekhawatirannya akan menggerus nilai manfaat jamaah haji yang akan berangkat di tahun berikutnya,” ujar Fadlul di Hotel Borobudur, Jakarta Pusat, Selasa (24/1/2023).
Ia menjelaskan, BPKH hanya bisa memberikan subsidi maksimal Rp 30 juta per jamaah haji. Jika menggunakan skema persentase subsidi tahun 2022, Fadlul menyebut nilai subsidi yang diberikan akan membengkak hingga dua kali lipat.
Hal itu dapat mengakibatkan nilai manfaat milik jamaah tunggu ikut terpakai. Konsekuensinya, jamaah tunggu bisa menunggu waktu keberangkatan lebih lama karena dananya telah dipakai jamaah yang berangkat.
Oleh karena itu, Fadlul menyebut usulan skema subsidi Kementerian Agama soal biaya haji sebesar 70:30 dirasa BPKH sudah pas.
“Jadi keuangan BPKH baik-baik saja. Tapi kalau itu (persentase subsidi) kita buat sama dengan tahun lalu, itu kitanya yang jadi salah. Kita akan bertemu satu titik haji setahun berangkat dua kali di tahun 2027. Betul ada nilai manfaat Rp 20 triliun yang terkumpul, tapi itu akan tergerus dan tidak akan sampai 2027,” kata Fadlul. [wip]