(IslamToday ID) – Kabid Humas Polda Jawa Tengah (Jateng) Kombes Pol Iqbal Alqudussy menyatakan tersangka kasus percaloan dan suap pada seleksi Bintara Polda Jateng diduga mematok tarif hingga ratusan juta rupiah per peserta.
Dari pemeriksaan dan sidang kode etik dan profesi yang dilakukan Propam Polda Jateng, pelaku yang beberapa di antaranya masuk dalam kepanitiaan tes menggunakan modus “tembak di atas kuda”.
“Modusnya dengan inisiatif pribadi ‘menembak di atas kuda’. Jadi memang ada yang masuk jadi panitia, terus mencari sasaran korban yang ingin lolos seleksi. Padahal, calon korban ini sebenarnya sudah lolos murni atas usaha sendiri,” kata Iqbal dikutip dari CNN Indonesia, Sabtu (11/3/2023).
Barang bukti uang yang diamankan dari pelaku bervariasi, mulai dari Rp 500 juta hingga Rp 2,5 miliar, tergantung jumlah orang korban yang “dibawa” pelaku. “Jadi bervariasi, ada Rp 500 juta, Rp 750 juta, bahkan ada yang sampai Rp 2,5 miliar,” ujar Iqbal.
Dari penelusuran, salah satu pelaku yang merupakan Aparatur Sipil Negara (ASN) berhasil mengumpulkan uang sebanyak Rp 2,4 miliar dari tujuh orang korbannya. Bila dihitung rata-rata, per korban dimintai uang Rp 342,86 juta.
Sebelumnya, Bidang Propam Polri menggelar operasi tangkap tangan (OTT) pada proses seleksi Bintara Polda Jateng 2022. Hasilnya, tujuh orang diangkut dengan lima di antaranya adalah personel Polda Jateng dan dua ASN.
Kelima anggota Polda Jateng itu antara lain Kompol AR, Kompol KN, AKP CS, Bripka Z, dan Brigadir EW. “Ada lima personel Polri melanggar Kode Etik Profesi Polri dan semua sudah diproses sidang. Sanksi etika, dinyatakan sebagai perbuatan tercela dan permintaan maaf kepada institusi Polri,” ujar Iqbal, Kamis (9/3/2023).
Sayangnya, hasil sidang kode etik dan profesi terhadap para pelaku, tidak ada satu pun yang sampai dipecat. Mereka hanya kena demosi dan sanksi administrasi. Bahkan, untuk tindak pidana korupsi suap atau gratifikasinya tidak dilakukan.
Anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Poengky Indarti mendorong agar kelima anggota Polda Jateng ini juga turut diproses pidana. “Suap itu tindak pidana. Seharusnya diproses pidana agar ada efek jera dan fairness,” ujarnya, Jumat (10/3/2023).
Jika tidak, Poengky khawatir akan menimbulkan kesan diskriminasi dan menguntungkan pada pelaku. Menurutnya, sekadar sanksi etik tanpa sanksi Pemecatan Tidak Dengan Hormat (PTDH) tidak akan menimbulkan efek jera.
“Jangan sampai suap ini dianggap hal biasa, sehingga hanya dihukum Patsus dan demosi. Hukuman ringan tidak akan menimbulkan efek jera dan menyuburkan tindakan serupa,” pungkas Poenky. [wip]