(IslamToday ID) – Anggota Komisi V DPR RI Fraksi Demokrat, Irwan Fecho menilai membengkaknya utang negara kepada China dalam pembangunan Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) disebabkan karena pemerintah terlalu terburu-buru alias grasa-grusu dalam merancang program dan infrastruktur.
Seperti diketahui, biaya pembangunan KCJB membengkak senilai 1,2 miliar dolar, belum lagi pihak China mematok bunga utang 3,4 persen suku bunga pinjaman proyek tersebut. Untuk menutupi itu, pemerintah Indonesia berencana meminjam kepada pemerintah China melalui China Development Bank (CDB) sebesar 550 juta dolar atau sekitar Rp 8,3 triliun.
“Bengkak utang kereta cepat Jokowi bukti program infrastruktur dan transportasi pemerintah grasa-grusu. Sudah jelas ini kegagalan rezim yang berujung pada kerugian bagi rakyat dan negara,” kata Irwan dikutip dari RMOL, Sabtu (15/4/2023).
Menurutnya, pemerintah Indonesia masuk dalam perangkap utang China, lantaran tidak mampu merancang kerja sama infrastruktur dengan baik.
“Beban utang atau jebakan utang ini terjadi akibat proses perencanaan yang salah di awal atau feasibility study (FS) dilakukan pemerintah. Di mana dulu pemerintah terhipnotis dengan bunga rendah yakni 2 persen,” katanya.
Irwan mengatakan perencanaan proyek KCJB akibat kreditur (China) yang awalnya menawarkan bunga murah. Kemudian pemerintah Indonesia tergoda untuk bekerja sama hingga akhirnya justru membebani APBN.
“Rayuan itu bak gayung bersambut saat rasa optimis pemerintah ingin membangun mega proyek tersebut tanpa adanya perjanjian yang jelas, sehingga kreditur seenaknya sendiri memberikan opsi skema pembayaran,” pungkas Irwan.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Oversight of Indonesia’s Democratic Policy, Satyo Purwanto menilai jika sebuah proyek penyelesaiannya terus mundur dan terjadi pembengkakan biaya, maka si pembuat rencana ketika melakukan perencanaan sangat sembrono.
“Jika itu terjadi di Korea Utara (Korut) pimpronya (pimpinan proyek) sudah dieksekusi mati,” kata Satyo, Jumat (14/4/2023).
Di sisi lain, ia menilai proyek kereta dari Jakarta dengan tujuan Padalarang, Bandung ini tidak cepat dalam pengerjaan, namun tetap dipaksakan dalam pembangunannya. “Entah itu ambisi ngawur siapa yang memaksa proyek tidak feasible seperti itu, tapi tetap ngotot dilaksanakan,” ujarnya.
Padahal, ungkap Satyo, pembengkakan biaya alias cost overrun dan beban bunga utang proyek tersebut tidaklah sedikit yaitu sebesar 3,4 persen. Hal ini, menurutnya, akan berdampak kepada nilai keekonomisan yaitu harga tiket yang akan dijual kepada masyarakat akan mahal.
“Persoalan lain adalah panjangnya hak konsesi yang diberikan, sehingga risikonya adalah rakyat Indonesia akan terus-terusan menanggung utang dan bunga utang berikut biaya operasional dan perawatan sepanjang konsesi tersebut berjalan. Hal ini dapat dikategorikan kejahatan oleh para pembuat kebijakan terhadap rakyat dan negara Indonesia,” tegas Satyo.
Kalaupun, lanjutnya, ada pengajuan utang baru atau penyertaan modal pemerintah melalui APBN untuk menutup cost overrun hanya akan menguntungkan pihak penerima manfaat.
“Siapa? Mereka yang menerima hak konsesi, karena pembengkakan biaya dimulai dari kesalahan proses perencanaan di awal yang ngawur, dengan menyampaikan info yang mungkin sesat dengan ‘angin surga’, perencanaan yang bombastis tanpa data yang akurat dan janji manis, bunga ringan tanpa APBN. Entah siapa yang menipu dan tertipu,” pungkas Satyo. [wip]