(IslamToday ID) – Pakar hukum tata negara Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar Fahri Bachmid menilai dasar pemakzulan presiden adalah alasan hukum, bukan berdasarkan sangkaan politis belaka.
Hal itu disampaikan untuk merespons surat Denny Indrayana kepada DPR terkait permintaan dilakukan impeachment atau pemakzulan terhadap Presiden Jokowi karena dinilai bakal tidak netral di Pemilu 2024.
“Permintaan Denny Indrayana sederhananya dapat dilihat sebagai sebuah aspirasi politik yang disampaikan kepada lembaga DPR yang tentunya mempunyai kewenangan konstitusional untuk melakukan atau tidak melakukan sebuah proses pemakzulan atau impeachment kepada seorang kepala negara,” kata Fahri, Kamis (8/6/2023).
Hal ini sesuai dengan amanat yang diatur dalam Pasal 7A UUD 1945 yang mengatur bahwa:
“Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.”
“Tentunya DPR jika berkehendak untuk melakukan pemakzulan kepada presiden dan/atau wakil presiden, pastinya dengan mendasari serta berpijak pada kewenangan konstitusional berupa melakukan pengawasan dengan menggunakan beberapa instrumen haknya, di antaranya adalah hak angket atau hak menyatakan pendapat untuk menyelidiki potensi pelanggaran konstitusi tersebut,” jelas Fahri dikutip dari DetikCom.
Jika memang terbukti ada fakta-fakta yuridis terkait dugaan pelanggaran hukum, maka tentu dapat dilakukan proses impeachment dengan mekanisme yang diatur dalam ketentuan Pasal 7B UUD 1945. Namun, impeachment kepada presiden dan/atau wakil presiden pada hakikatnya tidak mudah serta very complicated. Langkah konstitusional memakzulkan presiden atau wakil presiden pada dasarnya sengaja dibuat berat dan rumit dengan melibatkan tiga lembaga negara, yaitu DPR, Mahkamah Konstitusi (MK), serta MPR.
“Sehingga secara akademik dapat dikatakan bahwa pemakzulan atau impeachment adalah extraordinary political event di dalam sistem presidensil,” tegas Fahri.
Hampir semua konstitusi negara mengatur permasalahan pemakzulan atau impeachment sebagai sebuah mekanisme yang legal dan efektif untuk mengawasi tindakan-tindakan pemerintah di dalam menjalankan konstitusi, agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang (abuse of power/detournement de pouvoir) dan tetap berada pada koridor peraturan perundang-undangan yang berlaku sesuai dengan prinsip-prinsip rule of law olehnya itu konstitusi mengatur mekanisme tersebut.
“Hal ini sejalan dengan prinsip serta kaidah pemerintahan sistem presidensialisme, yang mana tekanannya agar seorang kepala negara hanya boleh diberhentikan dengan alasan hukum, dan tidak boleh dengan sangkaan secara politis,” kata Fahri.
“Apalagi jika melihat konfigurasi politik yang ada di parlemen saat ini, kelihatannya tidak mudah, apalagi secara hukum desain kelembagaan impeachment sengaja dibuat agar tidak mudah seorang kepala negara dijatuhkan,” sambungnya.
Fahri mengatakan hal tersebut dapat dicermati dari mekanisme pengambilan keputusan secara kelembagaan yang sengaja didesain sedemikian rupa agar tidak dengan mudah article of impeachment itu didorong oleh anggota parlemen, baik ke MK ataupun ke MPR untuk digelar sidang istimewa. Hal ini dapat dipahami dari rumusan norma konstitusional yang mengatur bahwa:
“Pengajuan permintaan Dewan Perwakilan Rakyat kepada Mahkamah Konstitusi hanya dapat dilakukan dengan dukungan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat.”
Ketika proses itu harus berakhir di MPR, maka mekanisme pengambilan keputusan secara kelembagaan di MPR yang teramat berat sesuai rumusan serta konstruksi normanya, yakni:
“Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden harus diambil dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir, setelah Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi kesempatan menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat.”
“Dengan demikian saya berpendapat biarlah wacana yang dilontarkan oleh Prof Denny Indrayana secara akademik dapat dimaknai sebagai academic discourse dan secara politik agar anggota DPR RI menyikapinya sesuai kewenangan konstitusional yang ada, tetapi secara politis saya berpendapat not easy and complicated (tidak mudah dan rumit),” pungkas Fahri. [wip]