(IslamToday ID)— Penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2005-2013, Abdullah Hehamahua memberikan sejumlah statemennya terkait konflik agraria di Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau. Ia mengaitkannya dengan perilaku korupsi, mendesak DPR bersikap tegas hingga penggunaan hak politik rakyat pada 2024.
“Kasus Rempang adalah korupsi politik, karena korupsi politik adalah korupsi yang terjadi karena peraturan, kebijakan, undang-undang, pemilu, pilpres, pilkada, pilkades itu korupsi politik,” ungkap Abdullah dalam pernyataanya lewat zoom di acara Temu Tokoh dan Aktivis Masyarakat Solo Raya menyikapi sikap pemerintah atas Rempang di Graha FKAM, Solo pada Selasa (26/9/2023).
Abdullah mengungkapkan dari 575 anggota DPR periode 2019-2024, sebagian besar berasal dari kalangan pengusaha, memiliki kepentingan mempertahankan eksistensi usaha. Hal ini ditandai dengan hadirnya sejumlah undang-undang seperti Undang-undang Covid-19, UU Cipta Kerja, UU KUHP, hingga UU KPK.
Ia menegaskan dalam kasus Rempang sangat erat kaitannya dengan political corruption atau korupsi politik dengan melahirkan kebijakan-kebijakan. Kebijakan seperti lahirnya sejumlah undang-undang yang diklaim sebagai ‘pro investasi’ meskipun bertentangan dengan konstitusi.
“Maka Persoalan Rempang berkaitan apa yang disebut dengan political corruption korupsi politik, kenapa karena ada prosesnya,” tegas Abdullah.
“(Padahal) kalau investasi kita punya pasal 33 UUD 1945 bahwa bumi air dan isinya digunakan semaksimal mungkin untuk kepentingan masyarakat,” tandasnya.
Panglima TNI Offside
Abdullah juga mengkritik pernyataan Panglima TNI, Laksamana TNI Yudo Margono terkait pernyataannya ‘piting’ warga Rempang yang menolak proyek ‘Rempang Eco City’. Panglima dinilai tidak memahami ilmu negara, bahwa negara dibentuk atas 3 unsur, wilayah, rakyat dan pemerintah.
“Panglima TNI mengatakan 1000 orang turun, kita piting 1000 orang. Itu panglima TNI tidak mengerti tentang ilmu negara, negara terdiri atas 3 unsur yang pertama wilayah, kedua pemerintah yang ketiga rakyat,” kata Abdullah.
“Jadi pemerintah hanya 1 bagian dari 3 unsur negara, harus ada wilayah, harus ada rakyat, harus ada pmerintah, jadi wilayah ini bukan punya pemerintah,” imbuhnya.
DPR Harus Turun Tangan
Selain Panglima TNI, DPR juga dimintai pertanggungjawaban. DPR dan Presiden diminta untuk memberikan peringatan keras terhadap Panglima TNI terkait ‘piting’ di tengah-tengah polemik Rempang.
“Panglima TNI harus dipanggil oleh DPR diminta pertanggungjawaban kenapa beliau ngomong seperti itu,” ucap Abdullah.
“Itu harus diberi peringatan keras oleh DPR bila perlu Presiden memecatnya karena itu melanggar konstitusi,” terangnya.
DPR dinilai perlu memanggil menteri-menteri terkait dalam polemik investasi China di Rempang. Selain pemanggilan sejumlah menteri, DPR pun didesak untuk menggunakan hak angketnya terhadap Presiden Jokowi.
“DPR harus memanggil menetri investasi, kemudian DPR memanggil menteri2 terkait , DPR memanggil presiden untuk menggunakan hak angketnya (hak tanya kepada presiden),” tutur Abdullah.
Ia meminta DPR tidak berperan sebagai humas presiden yang cenderung mendukung apapun kebijakan Istana. Jika DPR cenderung diam maka rakyat akan menentukan sikapnya pada Pemilu 2024 mendatang.
“Kalau DPR cuman menjadi humas dari presiden maka hak rakyat pada 2024 untuk menentukan. Hak rakyat pada peristiwa Februari 2024, jangan lagi memilih caleg-caleg dari partai-partai yang mengesahkan undang-undang investasi yang mengundang investor dari luar negeri,” tegas Abdullah. [khs]