(IslamToday ID) – Ahli hukum tata negara Refly Harun mengaku sudah lama mengkritik Presiden Jokowi sebagai pemimpin bermasalah. Namun, ia heran tidak ada yang berani bersuara dengan membawa narasi memakzulkan Jokowi saat mantan Gubernur DKI Jakarta itu punya banyak catatan negatif mewujudkan demokrasi yang sehat.
“Saya sudah mengkritik pemerintahan ini dan berkali-kali dianggap sakit hati dan sebagainya. Alhamdulillah hari ini menemukan pembenarannya, bahwa pemimpin kita ini pemimpin yang bermasalah, tetapi 275 juta rakyat Indonesia enggak berani mengatakan, ini saatnya meng-impeachment Presiden Jokowi. Enggak ada yang berani juga ngomong ya,” kata Refly saat menjadi pembicara diskusi bertema ‘Menyelamatkan Demokrasi Dari Cengkeraman Oligarki dan Dinasti Politik’ di Hotel Borobudur, Jakarta, Selasa (14/11/2023).
Ia mengatakan masih ada cara bagi masyarakat untuk menyelamatkan demokrasi menjadi lebih sehat jauh dari cengkeraman oligarki dan dinasti politik.
“Jawabannya menurut saya kalau dalam jangka pendek ialah, satu kalau kita mau menyelamatkan diri, pastikan pemilu itu berjalan jujur dan adil, tetapi untuk memastikan itu tidak gampang. Anasir curang sudah dari hulu. Mulai dari presidential threshold sampai rekrutmen penyelenggara pemilu yang disetir Istana dengan mayoritas anggota pro kekuasaan,” kata alumnus Universitas Gadjah Mada (UGM) itu.
Selanjutnya, kata Refly, cara memastikan demokrasi menjadi sehat dan terbebas dari cengkeraman oligarki ialah tidak memilih sosok titipan yang mewakili dinasti politik.
“Ya, saatnya kita tidak memilih orang yang titipan dari dinasti tersebut. Saya tidak ngomong tentang orang. Kalau kata Usman Hamid sama Bivitri saya tidak ngomong tentang orang, saya juga tidak ngomong tentang orang, tetapi kalau ada satu kebenaran yang pasti, mutlak, ya kita kritik di sana dan yang mutlak itu proses di MK tidak benar,” jelasnya dikutip dari Law-Justice.
Menurut Refly, tidak mudah mewujudkan demokrasi yang sehat menyambut Pemilu 2024 dengan potensi kecurangan yang besar. Namun, katanya, masyarakat punya tanggung jawab untuk mengawal proses pemilu jauh bisa terlaksana dengan adil.
“Saya mengatakan pemilu kita ini pemilu yamg becek, pemilu yang comberan, pemilu yang akan banyak money politic-nya, banyak kecurangan, banyak kekurangannya, banyak keterlibatan aparat, financial resources-nya, state aparat terlibat semua. Yakin saya dan itu sudah dimulai. Maka, walaupun demikian, karena kita menjadi bagian masyarakat yang bertanggung jawab, sedapat mungkin kita tetap mengawalnya menjadi pemilu yang jujur dan adil,” katanya.
“Kita harus menjadi relawan-relawan untuk memastikan pemilu itu tidak curang, hasilnya adalah apa yang diputuskan oleh rakyat di bilik suara,” lanjutnya.
Terakhir, Refly saat menjadi pembicara mengingatkan pimpinan kampus bisa netral dan jika pun berpihak tidak berdasarkan tekanan kekuasaan.
“Sekarang hati-hati, kampus akan diombang-ambingkan dengan kekuatan politik. Kalau bapak yakin netral, netral benar. Kalau berpihak, ya sudah. Berpihak secara sehat. Berpihaklah dengan hati nurani dan akal sehat, bukan berpihak kekuasaan dan uang serta tekanan dan takut kehilangan jabatan sebagai rektor,” tandas Refly.
Adapun tokoh-tokoh yang hadir dalam diskusi ialah para pakar hukum tata negara seperti Bivitri Susanti, Zainal Arifin Mochtar, dan Refly Harun. Diskusi yang sama juga dihadiri peneliti LIPI Ikrar Nusa Bakti, Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Usman Hamid, hingga budayawan Romo Magnis Suseno. [wip]