(IslamToday ID) – Sosiolog Universitas Airlangga (Unair) Hotman Siahaan mengatakan sikap tidak konsisten yang ditunjukkan Jokowi akan berpengaruh terhadap pandangan masyarakat terhadap pribadi presiden dan integritas bangsa. Hal ini membuat Indonesia mengalami krisis keteladanan.
“Ini yang dilihat oleh masyarakat Indonesia, walaupun dikatakan presiden dengan tegas tidak akan berkampanye. Berkampanye itu kan tidak hanya kehadiran berpidato di depan publik, tapi berhubungan tingkah laku mendekati paslon misal itu dipamerkan, ditunjukkan, pemaknaannya kan berbeda,” kata Hotman dikutip dari YouTube METRO TV, Jumat (9/2/2024).
Kalau memang presiden menyatakan tidak akan ikut berkampanye, seharusnya Jokowi tidak melakukan apa-apa hingga 14 Febuari mendatang.
“Tidak menghubungi orang, tidak berbicara, atau bagi-bagi bansos, walapun dikatakan bansos sudah dihentikan sementara,” ujarnya.
Saat ini, kata Hotman, masyarakat Indonesia membutuhkan sebuah keteladanan yang dilakukan oleh seorang pemimpin, karena masyarakat sudah terlalu banyak menyaksikan krisis keteladanan.
“Orang menemukan jejak digital. Beberapa tahun lalu orang itu mengatakan memaki-maki bahkan menghujat tapi sekarang memuji-muji, mendukung. Ini bukan masalah rakyat biasa tapi (dilakukan oleh) tokoh-tokoh (negarawan). Ini adalah contoh keteladanan yang tidak punya integritas. Kita memiliki krisis di bidang itu (keteladanan).”
Ketidakkonsistenan sikap yang ditunjukkan Jokowi, tutur Hotman, akan membuat bingung masyarakat di tingkat bawah, sementara para akademisi mungkin akan sinis bahkan menertawakan.
“Di bawah ini akan ada keterperanjatan. Orang yang seharusnya menjadi tokoh panutan ternyata tidak bisa dijadikan panutan dari bahasa-bahasa tubuh, bahasa-bahasa simbolik menunjukkan itu,” jelas Hotman.
Carut-marut kondisi saat ini terlebih banyak gelombang dari guru besar dan mahasiswa yang turut bersuara, tidak dipungkiri akan mengulang kembali insiden 1998.
“Kalau dibilang kemungkinan bisa saja terjadi, tapi tergantung beberapa faktor. Kampus sudah menyuarakan suara mereka dan itu seruan yang sangat keras sebenarnya kalau dipahami. Akademisi bersuara karena moralitas, kalau guru besar sudah bersuara berarti itu semacam dukungan bagi mahasiswa. Pada masa Orde Baru tidak ada politisi, tidak tentara tapi kampus,” tuturnya. [ran]