(IslamToday ID) – Sutradara film “Dirty Vote” Dandhy Dwi Laksono mengungkapkan latar belakang film yang mengangkat soal kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh para paslon capres-cawapres dalam Pemilu 2024.
Ia mengatakan film yang dibintangi pakar hukum tata negara yakni Bavitri Susanti, Feri Amsari, dan Zainal Arifin Mochtar itu bermula dari keresahan melihat banyaknya kecurangan yang terjadi dalam pemilu kali ini.
“Sehari-hari kita melihat menteri yang gak malu-malu saat memberi bantuan dan bilang bantuan ini dari presiden. Standar normalnya jadi hancur, konflik kepentingan dan apa yang terjadi hari ini sebetulnya tidak normal,” kata Dandhy dikutip dari YouTube Indonesia Baru, Selasa (13/2/2024).
“Tapi karena dibikin setiap hari lama-lama kita (merasa) ini (kesalahan) normal. Kecurangan, aparat tidak netral, bahkan presiden bikin gestur-gestur gak netral bahkan Ibu Negara mengeluarkan dua jari dari mobil kepresidenan sampai puncaknya kasus di MK,” lanjutnya.
Padahal, katanya, sebelumnya untuk dapat menjadi seorang presiden tidak mudah karena banyaknya syarat yang harus dipenuhi, seperti syarat usia dan diusung oleh partai yang memiliki minimal 20 persen suara di parlemen.
“Syarat berati tadi dengan mudah (berubah hanya demi Gibran Rakabuming Raka) seperti umur. Tak hanya itu semua perubahan tadi berubah dalam seketika, termasuk syarat berpengalaman menjadi kepala daerah,” ucapnya.
Dari semua potongan soal adanya kecurangan tersebut yang akhirnya memicu Dandhy untuk yakin membuat Dirty Vote adalah Feri Amsari.
“Yang mentrigger adalah podcastnya Bang Feri Amsari. Dia cerita tentang kecurangan pemilu dan segala macam dan saya merasa ini hal yang saya tidak terlalu peduli,” akunya.
Karena selama ini ia beranggapan bahwa sistem pemilu yang ada memang sudah tidak fair, tapi dengan kondisi saat ini bertambah tidak fair lagi.
“(Pemilu) Gak dicurangi pun sudah bias. Gak dicurangi pun sistem pemilu kita sudah tidak fair, sistem yang sudah tidak fair ini malah dicurangi. Jadi bertubi-tubi banget daya hancurnya pada demokrasi,” tuturnya.
Dandhy juga mengatakan kenapa memilih tiga orang pakar hukum tata negara, karena mereka memiliki pengalaman menjadi ahli atau berurusan dengan MK.
“Ini mungkin yang tidak dimiliki oleh pakar yang lain di banyak kampus meski mungkin kampusnya terkenal. Intinya tiga orang ini sering muncul di media dan akrab dengan isu-isu konstitusi,” jelasnya.
Dandhy juga membantah apabila filmnya kali ini sudah direncanakan sejak jauh-jauh hari.
“Jadi sebulan lalu kami putuskan, gak kami rancang. Lima tahun lalu gak kebayang kalau cawapresnya Gibran, dua tahun lalu, bahkan setahun lalu gak kepikiran. Jadi sekali lagi gak masuk akal kalau film kayak Dirty Vote ini didesain dengan rapi dan kalaupun direncanakan dengan rapi pasti filmya lebih keren,” pungkasnya. [wip]