(IslamToday ID) – Analis Political Economy and Policy Studies (PEPS) Anthony Budiawan mengatakan politik uang (money politics) dalam pemilu merupakan bentuk kecurangan.
“Politik uang dalam bentuk bantuan sosial. Ada bantuan beras, bantuan langsung tunai, termasuk program Program Keluarga Harapan (PKH) itu. Kedua yang dilakukan presiden yaitu menaikkan gaji dan tunjangan. Saya mengkategorikan sebagai suap kebijakan,” kata Anthony dikutip YouTube Refly Harun, Sabtu (24/2/2024).
Menurutnya, kenaikan gaji tersebut harus dipertanyakan karena nanti dalam hak angket yang saat ini sedang diwacanakan, apakah sesuai atau tidak.
“Siapakah yang menentukan kenaikan gaji itu? Apakah presiden? Kemudian alat kecurangan lainnya adalah intimidasi. Kita tahu intimidasi dilakukan oleh aparat hukum dan pemegang kekuasaan,” sebutnya.
Media kecurangan lainnya, sebut Anthony, adalah lembaga survei dan quick count yang digunakan untuk menggiring opini masyarakat agar percaya hanya ada satu putaran.
“Ini adalah opini, alat kecurangan. Opini yang awalnya di sekitar Agustus 2023 elektabilitas Prabowo hanya 30 persen. Begitu Gibran dicalonkan menjadi cawapres elektabilitasnya naik menjadi 40 persen lebih. Mendekati pemilu, elektabilitasnya satu putaran 50 persen lebih,” paparnya.
Sementara, real count KPU yakni aplikasi Sirekap dibuat sesuai dengan yang sudah dipersiapkan sebelumnya. “Bahkan IT ini diset sebelum pemilu. Dikondisikan kemudian dengan simulasi random menjadi sesuai dengan desain. Maka dari itu quick count sama dengan real count,” jelasnya.
Disinggung mengenai pelaku kecurangan, ekonom senior ini menjawab presiden dan jajaran para menteri. Mulai dari presiden yang cawe-cawe berkampanye untuk putranya, lolosnya batas usia capres-cawapres di MK, hingga putusan MKMK mengenai pelanggaran etika namun keputusan batas usia tidak dibatalkan.
“Presiden yang membagikan bansos, menteri, pejabat di daerah, dan intimidator serta pemberdayaan anggota pelaksana pemilu, yakni KPU dan yang menguasai IT,” bebernya.
Lebih parahnya, kata Anthony, Ketua MK saat itu yakni Anwar Usman hanya diberhentikan sebagai ketua tetapi tidak dipecat. [ran]