(IslamToday ID) – Hakim konstitusi yang juga adik ipar Presiden Jokowi, Anwar Usman kembali divonis melanggar kode etik oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK). Karena sudah berulang kali terbukti melanggar etik, MKMK menjatuhkan sanksi teguran kepada Paman Usman tersebut.
“Hakim terlapor terbukti melanggar prinsip kepantasan dan kesopanan, butir penerapan angka satu dan angka dua Sapta Karsa Hutama. Menjatuhkan sanksi berupa teguran tertulis kepada hakim terlapor (Anwar Usman),” kata Ketua sekaligus anggota Majelis MKMK, I Dewa Gede Palguna dalam sidang putusan di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (28/3/2024).
Sebelumnya, Anwar Usman meminta pengangkatan Suhartoyo sebagai ketua MK dibatalkan. Ia ingin jabatannya sebagai ketua MK dipulihkan kembali.
Hal itu tertuang dalam isi gugatan yang dilayangkan Anwar terhadap Ketua MK Suhartoyo ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta pada 24 November 2023, yang terdaftar dengan Nomor Perkara 604/G/2023/PTUN.JKT.
Anwar ingin PTUN mengabulkan permohonan penundaan pelaksanaan Keputusan MK No 17 Tahun 2023, tanggal 9 November 2023 tentang Pengangkatan Ketua MK Masa Jabatan 2023-2028. Tindakan Anwar itu membuat pengacara Zico Leonard Djagardo Simanjuntak melaporkannya ke MKMK.
Leonard menduga Anwar melakukan pelanggaran etik hakim MK. Palguna saat membacakan putusan mengatakan, Anwar harusnya bisa menerima putusan sanksi pencopotan terhadap dirinya.
Dalam putusan MKMK No 2/MKMK/L/2023, Anwar dinyatakan melanggar kode etik dalam memutus perkara nomor 90 tentang syarat minimal usia capres-cawapres karena terdapat konflik kepentingan. Gara-gara putusan yang dipimpin Anwar, keponakannya Gibran Rakabuming Raka bisa maju sebagai cawapres.
Palguna menyebut, MKMK memandang perlu untuk memberikan teguran tertulis kepada hakim terlapor untuk menunjukkan sikap patuhnya yang tulus terhadap putusan Majelis Kehormatan. Dalam pertimbangannya, ia menjelaskan, hakim konstitusi harus menghindari perilaku dan citra yang tidak pantas dalam segala kegiatan.
Palguna menyebut, hakim konstitusi juga harus menerima pembatasan-pembatasan pribadi yang mungkin dianggap membebani dan harus menerimanya dengan rela hati. “Bertingkah laku sejalan dengan martabat Mahkamah,” pungkasnya dikutip dari Republika. [wip]