(IslamToday.id) — Cobalah sedikit kita bertanya kepada murid-murid di sekolah, kapan dan kerena apa Majapahit runtuh? Mereka akan menjawab, Majapahit runtuh tahun 1400 saka akibat serangan Demak yang dipimpin oleh Raden Patah.
Pemahaman yang salah ini telah menjadi pemahaman mayoritas masyarakat di Indoneisa selama ratusan tahun. Raden Patah telah diasosiasikan sebagai sosok anak durhaka, dimana sebagai seorang anak dari Brawijaya V dengan sengaja menyerang dan memporak porandakan kerjaan Majapahit karena haus kekuasaan dan ayahnya bukan pemeluk agama Islam. Dari pemahaman inilah kebencian terus dipupuk oleh kalangan orientalis Barat hingga puncaknya mereka menjadikan Islam sebagai tertuduh atas kemunduran peradaban di Tanah Jawa.
Lalu darimana pemahaman tersebut diperoleh? Anak-anak disekolah tentu dengan sangat sederhana akan menjawab memperoleh pengetahuan ini dari pengajaran bapak/ibu guru mata pelajaran sejarah. Namun secara umum penyusun kurikulum pendidikan sejarah tersebut menggunakan sumber serat ‘Darmogandul’ dengan tema ‘Sabdha Palon’. Didalam serat ini dikisahkan bagaimana kelakuan buruk para Wali sebagai simbol pendakwah Islam yang paling penting. Menurutnya penyerangan Majapahit oleh Demak juga merupakan bujukan Wali kepada Raden Patah untuk merebut tahta ayahnya yang masih kafir. Tentu hal ini sangat bertolak belakang dengan fakta-fakta sejarah yang terus diteliti dan semakin jelas membuktikan bahwa runtuhnya Majapahit sama sekali bukan akibat serangan Demak.
Argumen yang paling masuk akal digunakan untuk mengungkap penyebab Majapahit adalah perang suksesi yang terjadi berlarut-larut. Agus Sunyoto dalam bukunya Atlas Walisongo menyebutkan, bahwa awal kemunduran Majapahit bermula dari terjadinya Perang Paregreg selama hampir 4 tahun (1401-1405). Perang tersebut terjadi antara Prabu Wikramawarddana sebagai penguasa Majapahit berhadapan dengan saudara iparnya Bhre Wirabhumi di Blambangan. Peristiwa ini selain membuat kekacauan daripolitik, juga membawa dampak buruk bagi keuangan negara. Pasalnya selama pertempuran terjadi, pasukan Majapahit sempat membunuh 170 tentara China dibawah pimpinan Laksamana Cheng Ho yang sebenarnya tidak terlibat dalam konflik. Akibatnya, Majapahit terpaksa harus membayar ganti rugi kepada Kaisar China sebanyak 60.000 tail emas. Dari beberapa sumber, ternyata Prabu Wikramawarddana hanya mampu membayar 10.000 tail emas.
Setelah meninggalnya Prabu Wikramawarddana, ternyata konflik internal di tubuh Kerajaan Majapahit tidak berhenti. Setelah naiknya Rani Suhita sebagai Raja, pemberontakan terus terjadi, diantaranya pemberontakan Pasunggiri, Bali dan Bhre Daha, Putra Bhre Wirabumi. Konon pemberontaan tersebut sempat berhasil menguasai istana Majapahit, namun bisa digagalkan oleh Arya Damar. Selain pemberontakan, pelemahan Majapahit juga diakibatkan digantinya orang-orang kuat dan cerdas oleh para penjilat yang tidak memiliki kelayakan. Sebagai contoh adalah penggantian Mahapatih Kanaka, dihukum matinya Bhre Narapati yang berperan dalam penumpasan pemberontakan Wirabhumi serta disingkirnannya Arya Damar keluar pusat pemerintahan dengan menempatkannya sebagai Adipati Palembang.
Kekuasaan Rani Suhita berakhir pada tahun 1447, kemudian digantikan oleh Adiknya Dyah Kertawijaya yang naik tahta kerajaan Majapahit dengan sebutan Sri Prabu Kertawijaya Parakramawarddhana. Dalam Babad Tanah Jawi, Kertawijaya disebut dengan nama Raden Alit dan setelah menjadi Raja bergelar Brawijaya V. Penyebutan Brawijaya V ini didasarkan pada urutan raja laki-laki yang sah di Majapahit dimulai dari Sri Prabu Kertarajasa, Sri Prabu Jayanegara, Sri Prabu Rajasanegara, Sri Prabu Wikramawardhhana, dan Sri Prabu Kertawijaya.
Di bawah kekuasaan Prabu Kertawijaya, Islam mulai mendapatkan tempat strategis di kehidupan elit Majapait. Selain karena ia memiliki beberapa pengikut, kawan dan penasehat yang telah memluk Islam, diketahui Kertawijaya juga memiliki dua istri yang beragama Islam. Alhasil Brawijaya V ini memilii beberapa anak yang beragama Islam dan ditempatkan sebagai penguasa di wilayah kekuasaannya. Salah satu anaknya adalah Raden Patah yang menjadi Adipati Demak.
Pasca kematian Prabu Kertawijaya, konflik politik kembali meletus. Pasalnya Dyah Wijayakumara Bhre Pamotan sebagai raja pengganti (naik tahta tahun 1373 S/1451 M) bukanlah anak raja sebelumnya, melainkan hanya menantu Prabu Kertawijaya. Hal ini menimbulkan ketidakpuasan dari anak-anak ‘sah’ Kertawijaya sehingga mereka terus melakukan perlawanan politik. Akibat dari tekanan yang ada pada tahun kedua pemerintahannya, Bhre Pamotan diketahui hilang ingatan kemudian melakukan bunuh diri dengan terjun ke laut. Dengan kematian Bhre Pamotan tersebut, selama 3 tahun Majapahit mengalami kekosongan kekuasaan, hingga pada tahun 1378 S/1456 M Bhre Wengker yang merupakan salah satu anak dari Prabu Kertawijaya naik tahta. Bhre Wengker berkuasa selama 10 tahun kemudian sepeninggalannya digantikan oleh anaknya Bhre Pandansalas Dyah Suraprabhawa yang setelah naik tahta pada taun 1466 M bergelar Sri Prabu Singhawikramawarddhana.
Dua tahun setelah ia berkuasa, terjadi pemberontakan besar dilakukan oleh Bhre Kertabumi putra Bhre Pamotan pada tahun 1390 S/1468 M. Dari pemberontakan tersebut, Bhre Pandansalas terusir dari kraton Majapahit dan memindahkan kekuasaanya di Daha (Kediri) hingga ia meninggal tahun 1474 M. Setelah Bhre Pandansalas meninggal, Bhre Kertabhumi mengangkat diri sebagai Raja Majaphit. Namun hal ini ditentang oleh para keturunan Sri Prabu Kertawijaya yang kemudian mengangkat Dyah Ranawijaya (putra Bhre Pandansalas) sebagai raja dengan gelar Abhiseka Girindrawardhana. Jadi selama periode tersebut, Majapahit memiliki dua Raja.
Puncak perseteruan dua raja ini terjadi pada tahun 1400 Saka/ 1478 Masehi, dimana Girindrawardhana membawa pasukan besar untuk menyerang Bhre Kertabhumi. Bhre Kertabhumipun mengalami kekalahan dan berhasil dibunuh. Peritiwa penyerangan tersebut disebutkan dalam Pararaton dan juga sejalan dengan apa yang di tulis dalam Serat Kandha yang menyebut peristiwa kehancuran ibukota Majapahit akibat serbuan Girindrawardhana itu terjadi pada taun Saka 1400 yang ditulis dalam candrasengkala “sirna-ilang-kertaning-bhumi”.
Setelah peristiwa besar keruntuhan kekuasaan Bhre Kertabumi, maka Dyah Girindrawardhana mulai berusaha mempersatukan wilayah-wilayah yang telah terpecah-pecah akibat keberpihakan meraka saat perang, namun usaha tersebut nampaknya tidak bisa membuat semua daerah mau bersatu, terhitung beberapa daerah mulai berdaulat karena lebih makmur dan mampu menghidupi daerahnya secara mandiri dan tidak bergantung dengan Majapahit. Selain hal tersebut, Agus Sunyoto juga menyebutkan, sejak ibukota kerajaan dipindah ke Daha-Kadhiri, Majapahit berangsur-angsur terucil menjadi negara agraris yang terkunci didaratan (land-locked) dan tidak mampu berkembang.
Dari uraian singkat perebutan kekuasaan di era akhir kejayaan Majapahit tersebut, sekaligus membantah teori tentang runtuhnya Majapahit yang diakibatkan oleh serangan pasukan Demak. Pasalnya selama ini ketika disebutkan bahwa Raden Patah menyerang Majapahit yang dipimpin oleh Ayahnya Brawijaya V pada tahun 1400 Saka adalah tidak tepat, karena telah terungkap dalam dua kitab Paraparton dan Serat Kandha bahwa yang menyerang ibukota Majapahit tahun 1400 Saka adalah Girindrawardhana.
Dalam catatan lain juga diperoleh informasi, bahwa berdasar kesaksian Tome Pires yang pada tahun 1513 M datang ke Jawa ia mendapati Kerajaan Demak dipimpin Pate Rodin Jr (Sultan Trenggana). Di tempat berbeda, Tome Pires juga mencatat bahwa di pedalaman Jawa masih terdapat kerajaan yang bukan Islam (Majapahit) masih berkuasa dan memiliki prajurit bersenjata senapan sebanyak 100.000 orang. Selain itu ada pula catatan orang Italia Antonio Pigafetta yang datang ke Jawa tahun 1522 M, menegaskan bahwa Kerajaan Meghepahert yang bukan Islam masih berkuasa di pedalaman dengan pasukan yang kuat.
Berdasarkan kesaksian dua orang Eropa dan rangkaian suksesi kepemimpinan Majapahit yang telah disampaikan, maka tidak dapat ditafsirkan lain bahwa legenda atau dongeng yang diambil dari historiografi seperti Babad Kadhiri, Serat Darmagandhul, Babad Tanah Jawi versi Olthof, Kronik Cina Klenteng Sampokong, terutama dongeng mengenai serangan Raden Patah ke Majapahit yang berakibat berakhirnya kerajaan tua itu, tidak lagi dapat dipertahankan karena sangat jelas jauh dari fakta sejarah.
Penulis: Muh Sidiq HM
Editor: Tori Nuariza