(IslamToday ID) — Sunan Gunung Jati bagi masyarakat Jawa terutama wilayah Jawa Barat, memanglah dikenal sebagai pribadi yang unggul. Selain faqih dalam bidang ilmu keIslaman, beliau dikenal juga sebagai sosok Sultan yang memiliki banyak jaringan kekeluargaan dengan tokoh-tokoh besar di pulau Jawa.
Melalui hubungan kekeluargaan yang dibina melalui pernikahan tersebut, maka selama masa hidup Sunan Gunung Jati dakwah Islam begitu masif tersebar di seluruh negeri Pasundan hingga Banten. Bahkan, kelak Sultan-Sultan Banten adalah merupakan keturunan dari Susuhunan Jati. Di sisi lain, sebagai penguasa politik, tentu saja Sunan Gunung Jati juga dikenal sebagai Sultan yang kharismatik, tangguh dalam menghadapi berbagai peperangan dan mampu menaklukan banyak wilayah yang sebelumnya belum mau menerima Islam.
Jaringan Dakwah Melalui Ikatan Keluarga
Dalam upaya memperkuat jaringan dakwahnya, Agus Sunyoto melalui bukunya Atlas Walisongo menyebut Sunan Gunung Jati mengawalinya dengan melakukan hubungan pernikahan serta membentuk ikatan keluarga. Setidaknya melalui penelusuran sumber-sumber tertulis yang relevan dengan sejarah Sunan Gunung Jati seperti Serat Purwaka Caruban Nagari, Sadjarah Banten, Babad Tjerbon dan lain-lain, tercatat ada beberapa istri Sunan Gunung Jati.
Pertama, adalah pernikahannya dengan Nyai babadan, putri Ki Gedeng Babadan. Namun sebelum pernikahan ini dikaruniai keturunan, atas takdir Allah Nyai Babadan terlebih dahulu wafat. Selanjutnya, Sunan Gunung Jati juga diketahui memperistri Nyai Kawunganten putri salah seorang tokoh besar di wilayah Banten.
Melalui Babad Tanah Sunda, pada subjudul Jeng Maulana Insan Kamil Sinerang Ki Kuwu Cirebon Tuminda ing Banten, Agus Sunyoto menjelaskan, bahwa setelah kedatangan Sunan Gunung Jati bersama pamannya Pangeran Cakrabuwana ke ibukota Pakuwan Padjajaran, beliau bertemu dan berhasil meng-Islamkan Prabu Siliwangi beserta Pangeran Raja Sengara. Selanjutnya, Sunan Gunung Jati tak lantas kembali ke Cirebon, melainkan melanjutkan perjalananya menuju Banten.
Setelah sampai Banten, Syarif Hidayat dan Sri Mangana (Pangeran Cakrabuana) berhasil mengislamkan Ki Gedeng Kawunganten beserta pengikut dan seluruh rakyatnya. Setelah masuk Islam, Ki Gedeng Kawunganten sangat mengagumi sosok Syarif Hidayat. Ia menilai sosok ini kelak akan membawa kebaikan yang besar bagi rakyatnya. Oleh karena itu, Syarif Hidayatullah kemudian dinikahkan dengan putrinya yang disebut dengan Nyai Kawunganten. Di Banten, Syarif Hidayatullah tidak tinggal begitu lama, hanya selama tiga bulan menetap, kemudian Sunan Gunung Jati bersama istri dan Sri Mangana kembali ke Cirebon. Lalu, Sunan Gunung Jati tinggal di pesantrennya di kawasan Sunung Sembung. Beliau disana menjadi imam besar sekaligus guru bagi ribuan santri yang menimba ilmu. Siang dan malam senantiasa memberikan pelajaran dan nasihat kepada murid-muridnya.
Dari pernikahannya dengan Nyai Kawunganten, lahir dua keturunan yaitu Ratu Winaon yang menikah dengan Pangeran Atas Angin atau Pangeran Raja laut. Putra kedua adalah Pangeran Sabakingin yang kelak akan menjadi Sultan Banten bergelar Sultan Hasanuddin.
Istri Sunan Gunung Jati yang lain adalah Nyai Tepasari, seorang putri dari ayah yang bernama Ki Gedeng Tepasan (Adipati Tepasana), seorang pejabat Majapahit yang berkuasa di Tepasana, Lumajang, Jawa Timur. Dari pernikahan ini, lahir dua orang anak yaitu Nyai Ratu Ayu yang menikah dengan Pangeran Sabrang Lor (Pati Unus) putra Raden Patah. Kemudian, anaknya yang kedua bernama Pangeran Muhammad Arifin yang bergelar Pangeran Pasarean. Sementara itu, pernikahan Syarif Hidayatullah dengan Nyi Mas Rarakerta putri Ki Gedeng Jatimerta, beliau hanya dikaruniai satu orang anak laki-laki yang dinamai Bung Cikal.
Selain memiliki istri dari kalangan tokoh-tokoh ternama di Jawa, Sunan Gunung jati juga diketahui mempunyai seorang istri yang berdarah China. Istrinya tersebut bernama Ong Tien yang menurut legenda adalah putri Kaisar cina dari Dinasti Ming yang bernama Hong Gie. Karena merupakan putri kaisar, maka Ong Tien diberikan nama Nyi Mas Rara Sumanding atau ada yang menyebutnya Putri Petis karena kegemarannya terhadap makanan petis. Hasil pernikahan dengan putri Ong Tien, Syarif Hidayatullah dikaruniai seorang putra, tetapi meninggal sewaktu masih bayi. Tidak lama setelah putranya meninggal, kemudian putri Ong Tien juga wafat. Setelah pernikahannya dengan Ong Tien, Sunan Gunung Jati diketahui juga menikah dengan seorang perempuan yang bernama Nyai Syarifah Baghdadi, adik Maulana Abdurrahman, yang dikenal sebagai Pangeran Panjunan. Dari pernikahan itu lahir dua orang anak yakni Pangeran Jayakelana yang menikah dengan Nyai Ratu Pembayun putri Raden Patah Sultan Demak Bintoro serta Pangeran Bratakelana Gung-Anom yang menikah dengan Nyai Ratu Nyawa yang juga putri Raden Patah.
Dalam dakwah dan kepemimpinan Sunan Gunung Jati, selain ditandai dengan perjalanan keilmuan yang panjang juga diwarnai dengan berbagai bentrokan fisik. Hal ini wajar, mengingat sebagai seorang Sultan yang sangat agresif dalam usaha penyebaran Islam banyak pula penguasa negeri-negeri sekitar yang merasa terancam kedudukannya sehingga melakukan perlawanan secara politik dan militer. Beruntung bagi Sunan Gunung Jati, karena selain dirinya sendiri juga seorang yang bijak dan ahli dalam urusan militer, beliau juga dikelilingi oleh para punggawa yang setia dan memiliki kesaktian, kekuatan politik maupun kekuatan bersenjata. Diantara tokoh-tokoh tersebut adalah Ki Dipati Keling, Nyimas Gandasari alias Nyimas Pangurangan, Pangeran Karang Kendal, Pangeran Panjunan, Pangeran Sukalila, dan terutama pamannya sendiri yaitu Pangeran Cakrabuwana.
Salah satu bukti tangguhnya kekuatan militer yang dimiliki Sunan Gunung Jati adalah ketika kekuatan umat Islam Cirebon diserbu oleh pasukan Raja Galuh yang secara kultural merupakan kerajaan yang lebih tua dari Cirebon. Namun diluar dugaan, prajurit-prajurit Cirebon secara meyakinkan mampu mengalahkan pasukan Galuh dalam waktu singkat. Dengan komando Pangeran Karang Kendal serta dibantu Pangeran Cakrabuwana pasukan Galuh mampu dibuat kocar-kacir hingga akhirnya mereka menyerah dan Raja Galuh Prabu Cakraningrat lari dan mengasingkan diri menuju pedalaman hutan. Mendengar kekalahan itu, berangsur-angsur para punggawa dan anggota keluarga kerajaan Galuh menyatakan diri masuk Islam, bahkan hal ini juga diikuti hampir seluruh rakyat kerajaan Galuh. Dengan takluknya Galuh, maka dakwah Islam seketika berkembang dengan pesat dan mulai menyentuh daerah-daerah pedalaman yang selama dalam kekuasaan Galuh selalu dihalang-halangi.
Menurut Carita Purwaka Caruban Nagari dan Babad Tjerbon, jatuhnya Galuh ke tangan Cirebon juga disusul dengan penguasa daerah-daerah lain. Beberapa penguasa itu antara lain; Raja Indramayu yang bernama Arya Wiralodra dengan gelar Prabu Indrawijaya. Raja ini tidak hanya menyatakan menyerah, namun juga menyatakan diri masuk Islam. Tidak lama kemudian, Kerajaan Talaga di pedalaman juga menyerah kepada Cirebon. Menyerahnya kerajaan ini juga diikuti masuk Islamnya putra mahkota Talaga yang bernama Pangeran Arya Salingsiangan dan penyerahan beberapa pusaka kerajaan sepertisi Keris Kaki Naga Dewa, Tombak Cuntangbarang. Selain itu, hubungan Talaga dan Cirebon diperkuat dengan menikahnya Putri kerajaan Talaga yang bernama Nyai Cayadi dengan salah satu putra Susuhunan Jati.
Sunan Gunung jati dalam riwayat pertempuran yang dilakukan oleh Kesultanan Cirebon, juga tercatat beberapa kali melakukan aliansi militer dengan Kesultanan Demak. Pertama, dalam rangka penyerangan Majapahit dibawah kepemimpinan Prabu Girindra Wardana pada tahun 1481. Dimana Sunan Gunung Jati bersama 40 santri pilihan dari Cirebon bergabung dengan pasukan Demak. Waktu itu tampil sebagai pimpinan atau Senopati Manggoloyudha adalah Sunan Kudus, turut pula membersamai pasukan Demak, Sunan Giri dan Sunan Majagung. Dari peperangan ini, Majapahit dibawah Girindra Wardhana mengalami kekalahan yang mutlak. Selain itu, Sunan Gunung jati juga menjadi salah satu tokoh penting bagi pasukan koalisi Kesultanan Demak dalam usahanya melawan Portugis. Yaitu, dua kali ke Malaka pada tahun 1512 dan 1521 dibawah pimpinan Pati Unus dan berikutnya mengusir Portugis dari Sunda Kelapa pada tahun 1527 setalah diketahui bahwa Portugis melakukan perjanjian dengan Kerajaan Padjajaran yang kian lama semakin terpinggirkan dan kehilangan pengaruhnya di Tanah Pasundan.
Penulis: Muh Sidiq HM
Editor: Tori Nuariza
Sumber :
Agus Sunyoto. 2016. Atlas Walisongo. Tangerang Selatan:Pustaka IIIMaN
H.J. De Graaf dan TH. Pigeaud, 2003. Kerajaan Islam Pertama di Jawa. Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti
Rachmad Abdullah, 2015. Sultan Fattah. Raja Islam Pertama Penakluk Tanah jawa (1482-1518M..Sukoarjo: Al-Wafi