“…bahwa jika negeri Aceh diserang oleh Musuh dan (atau) jika negeri Aceh menyerang musuh, maka sekalian anak negeri atas nama rakyat Aceh dan bangsa Aceh, maka diwajibkan menolong yang kebajikan kepada negeri dan kepada kerajaan dengan tulus ikhlas berupa apapun juwa, yaitu harta dan perbuatan dan ruh serta akal dan pikiran…”
“…membela rakyat dengan insaf dan kasih-sayang terhadap orang teraniaya, sanggup memelihara negeri, sanggup melengkapi lasykar sipa-i Khan Bhadur dengan senjata, yakni tentara yang paling kuat dan paling berani menyerang dan tidak takut apapun dihadapannya ketika di medan peperangan…” (Qanun Meukuta Alam)
IslamToday ID — Begitulah Qanun meukuta alam mewasiatkan kepada raja dan seluruh rakyat untuk tulus ikhlas berjihad mempertahankan Aceh Darussalam, negeri yang berpondasikan Islam.
Semua terlibat untuk mempertahankan kerajaan dan menjaga kemananannya dari segala pengaruh yang merusak. Tidak heran, jika kekuatan militer Aceh saat itu menduduki posisi teratas dari kerajaan-kerajaan di tanah Melayu.
Setidaknya, semangat jihad dan futuhat itu terekam dalam lintasan sejarah Aceh Darusalam. Kekuatan militer Aceh telah dibangun sejak pemerintahan Sultan Ali Mughayat Syah, pendiri kesultanan tersebut.
Pembangunan kekuatan militer Aceh kemudian dilanjutkan di era Sultan Alaudin Riayat Syah Al Qahhar. Ia membangun kekuatan militer Aceh dengan bantuan ahli strategi militer yang ia minta langsung dari Kesultanan Turki Utsmani. Setidaknya 40 ahli militer dikirimkan untuk melatih pasukan kavaleri, barikade pembom serta berbagai cabang militer lainnya.
Amirul Hadi menilai secara umum kekuatan militer Aceh terletak pada kepaduan satuan pemanggul artileri dengan golongan yang pandai memainkan berbagai senjata tradisonal. Kombinasi detasemen artileri dan para pejuang bersenjata tradisional turut membuktikan kemampuannya dalam masa-masa futuhat negeri-negeri Melayu dan juga dalam upaya mengusir Portugis.
Pembangunan kekuatan militer Aceh terus dilakukan. Pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda dibangun akademi-akademi militer, beserta peralatan tempurnya. Akademi militer tersebut dinamakan “Blang Si Paid an Blang Peurade”. Jika, hari ini para peserta didik akademi militer disebut sebagai taruna, pada masa itu mereka diberikan gelar “Rakam Syariat Raja”.
Dalam rangka mendongkrak kemampuan perang para prajurit, didirikan pula akademi militer khusus. Akademi ini disebut “Darul Harb”. Pada masa itu, Darul Harb terkenal sebagai Universitas ilmu perang di Banda Aceh.
Perancis Takjub Dengan Kekuatan Militer Aceh
Kekuatan militer Aceh juga membuat Laksamana Beaulieu ketika melawat ke Aceh sebagai utusan Raja Prancis, takjub. Ia menceritakan, setelah Sultan Iskandar Muda memerintah, maka orang Aceh telah menjadi prajurit terbaik di kepulauan Nusantara.
Selanjutnya, Laksmana Beulieu menceritakan, kekuatan militer Sultan terdiri dari tiga lini. Pertama, angkatan perang ada dilaut terdiri dari kapal-kapal perang dengan jumlah yang sangat banyak. Ia pernah meneliti dengan seksama, ternyata kapal-kapal perang Aceh jauh lebih besar daripada kapal-kapal perang yang pernah dikirim bangsa Eropa di zaman itu.
Ia memperkirakan, panjang kapal-kapal perang itu mencapai 120 kaki. Setiap kapal dilengkapi dengan beberapa meriam besar. Tiap-tiap kapal bisa mengangkut sampai 800 tentara. Kapal kapal itu terawat dengan baik setelah digunakan untuk berperang.
Sementara itu lini kedua, kekuatan militer di darat, diperkokoh dengan pasukan gajah. Ia menaksir ada sekitar 900 gajah milik Sultan. Semuanya sudah terlatih. Saat itu gajah menjadi hewan yang sangat penting dalam peperangan. Gajah-gajah ini pula yang menarik kapal-kapal perang ke pantai dan juga untuk disimpan kembali saat peperangan usai.
Lini ketiga, kekuatan militer Aceh juga kuat di tiga pelabuhan. Yakni di Pelabuhan Aceh, Daya, dan Pedir. Di masing-masing pelabuhan itu disiagakan ratusan pasukan.
Sebagai kerajaan besar, Aceh telah memiliki keorganisasian militer yang modern. Terlebih setelah adanya restorasi kemiliteran dengan bantuan Turki Utsmani. Model kepangkatan militer di Aceh, sedikit banyak diadopsi dari Angkatan Perang Turki. Pengorganisasian ini turut menjadi kunci yang memperkuat alur komunikasi dan garis komando militer Aceh.
Gelora Jihad
Selain itu, selama kerajaan Aceh berdiri, jihad fi sabilillah terus digelorakan, tidak terkecuali bagi rakyat dan juga para pejabat. Oleh kerena itu, panyak pula kepala-kepala daerah, ullebalang yang merangkap komandan batalion di wilayah mereka bertugas.
Di kawasan Aceh Besar, setidaknya ada 44 pejabat yang merangkap sebagai komandan. Sedangkan di kawasan luar Aceh Besar ada 46 pejabat yang merangkap sebagai komandan dalam menunaikan kewajiban jihad fii sabilillah.
Di sisi lain, turnamen-turnamen bela diri juga digelar untuk menyaring insan-insan yang pilih tanding dengan kemampuan kanuragan diatas rata-rata. Selain itu, keyakinan akan perintah jihad fi sabilillah menjadi hulu ledak dalam setiap kali terjun ke pertempuran. Jargon perang Sabil dengan keyakinan bahwa perjuangan mereka akan selalu dilindungi Allah Subhanahu wa ta’ala menjadi pendongkrak semangat sekaligus menjadi pengendali kesadaran.
Ada satu nilai luhur dalam jihad fii sabilillah yang dilakukan Aceh Darussalam. Para prajurit dari tanah Melayu ini bertempur bukan untuk menghabisi musuh dalam jumlah banyak. Mereka lebih mengedepankan pada strategi untuk meminimalisir jatuhnya korban. Mereka berkeyakinan, rakyat dan para prajurit akan menderita jika negerinya hancur.
Pengaruh Aceh atas bandar perdagangan, dan keluhurannya dalam berperang turut mengundang simpati negeri-negeri lain. Kapal-kapal dari Gujarat, negeri negeri di tanah Melayu, Cina serta ahli-ahli perang dari Turki turut menentukan keberhasilan dalam peperangan.
Berikut kami lampirkan sejumlah kepangkatan dalam Militer Aceh
Kepangkatan Militer Angkatan Perang Atjeh
- Si Pai (Prajurit)
- Tjut (Kopral)
- Banta Sedang ( Sersan)
- Banta (Sersan Mayor)
- Banta Setia (Pembantu Letnan)
- Pang Tjut ( Letnan II)
- Pang Muda ( Letnan I)
- Pang (Kapten)
- Bentara Tjut ( Mayor)
- Bentara Muda (Letnan Kolonel)
- Bentara (Kolonel)
- Panglima Sukey (Brigadir Jenderal)
- Panglima Tjut (Mayor Jenderal)
- Panglima Muda (Letnan Jenderal)
- Panglima (Jenderal)
Buhon Angkatan (Pasukan Tentara)
- Sabat (Regu)
- Rakan (Peleton)
- Kawan (Kompi)
- Balang ( Batalyon), Ulee Balang (Komandan Batalyon)
- Sukey (Resimen)
- Sagoe ( Devisi)
Neumat Buet (Jabatan)
- Ulee (Komandan)
- Rama Setia (Ajudan)
- Keudjruen (Ajudan Jenderal)
- Keudjruen Panglima (Ajudan Panglima)
- Keudjruen Balang (Ajudan Batalyon)
- Peurintah (Komando)
- Adat (Staf)
- Tuha Adat (Kepala Staf)
- Adat Meuhad (Staf khusus)
- Kaway (Petugas penjagaan/piket)
Adat Peurintah Sagoe ( Staf Komando Devisi)
- Panglima Peurintah Sagoe (Panglima Devisi)
- Panglima Wakilah (Wakil Panglima)
- Bentara Rama Setia (Ajudan Kolenel)
- Pang Setia (Ajudan Kapten)
- Tuha Adat Peurintah (Kepala Staf Komando)
- Keudjreun (Staf ajudan)
- Pang Muda Setia (Ajudan Letnan)
- Adat Samaindra (Staf Administrasi)
- Adat Seumasat (Staf Intelijen)
- Adat Peunaroe (Staf Operasi)
- Adat Seunaroe (Staf Logistik)
- Adat Meuhad (Staf Khusus)
- Bala Sidek Tantra (Korps Polisi Militer)
- Bala Tantra Rantoe (Tentara Lapangan/infanteri)
- Bala utoh Pande (Korps Zeni Bangunan)
- Bala Surah Hanta (Korps Perhubungan)
- Bala Buleun Mirah (Korps Palang Merah)
- Bala Dapu Balee (Korps Perbekalan Barak)
- Balang Balee Raya (Batalyon Garnizun)
- Balang Meuriam Lila (Batalyon Alteleri)
- Kawan Bala Gajah (Batalyon Kaveleri)
- Mentara Tuha Adat (Kepala Staf)
- Ulee Adat (Perwira Staf)
- Ulee Bala (Kepala Korps)
- Ulee Kawan (Komandan Kompi)
- Ulee Balang (Komandan Batalyon, yang merangkap sebagai kepala pemerintahan sipil)
Penulis: Arief Setiyanto
Redaktur: Tori Nuariza
Sumber:
Qanun Meukuta Alam dalam Syarah Tadkirah Tabaqat Tgk. Di Mulek
Aceh Sepanjang Abad. karya H. Mohammad Said
Catatan Pinggir Sejarah Aceh karya Prof. Dr. M. Dien Majid
.