ISLAMTODAY ID — Yogyakarta kota pendidikan yang kerap jadi saksi lahirnya sejumlah organisasi besar seperti HMI (1947), dan Wanita Islam (1962). Begitu pula dengan kelahiran organisasi khusus pelajar seperti Pelajar Islam Indonesia (PII) pada 12 Jumadil Tsani 1366 H/4 Mei 1947.
Ia adalah Joesdi Ghazali, seorang mahasiswa jurusan hukum di Sekolah Tinggi Islam (STI atau UII sekarang) pemrakarsa dan pendiri organisasi PII. Ia bersama rekan-rekannya seperti Anton Timur Djaelani, Amin Syahri, Ibrahim Zarkasyi dan Noersyaf awalnya merasa resah dengan fenomena sosial pendidikan yang berlangsung di Yogyakarta juga Indonesia pada umumnya.
Melawan Sekulerisasi Pendidikan Warisan Kolonial
PII hadir sebagai bentuk kepedulian mereka terhadap dunia pendidikan pasca kolonial.
Kolonialisme Belanda tak hanya memberikan peninggalan sekolah dalam arti bangunan fisik namun juga meninggalkan paradigma berpikir yang sekuler. Hal inilah yang kemudian membuat mereka merasa resah dan perlu melakukan sesuatu.
“(Pendiri PII) khawatir akan terjadi pembelahan yang sangat tajam sampai ke pembelahan pemikiran. Ketika pelajar pesantren tetap dalam kondisi mengisolir diri tanpa terbuka dengan kelompok pelajar umum itu akan sulit mengintegrasikan nilai-nilai agama ke nilai-nilai umum begitu juga di kelompok pelajar umum,” kata Ketua Umum Pengurus Besar PII, Rafani Tuahuns kepada Islamtoday saat dihubungi melalui sambungan telepon pada Selasa (4/5/2021).
Rafa menambahkan model sekolah warisan Belanda memiliki ciri khas ala Barat yang cenderung memisahkan antara agama dan ilmu pengetahuan umum. Banyaknya pendirian sekolah-sekolah Belanda di setiap daerah tentu makin mencemaskan.
Pada saat yang sama lembaga pendidikan Islam seperti madrasah dan pesantren juga dalam keadaan menutup diri dari pembelajaran di sekolah umum. Madrasah dan pesantren bisa jadi khawatir jika model pembelajaran sekolah umum diterapkan akan merusak warna pesantren.
“Di dalam pesantren pembelajaran agama, kitab kuning dan lain sebagainya sangat kental sementara di sekolah umum sangat-sangat materialistik,” tutur Rafa.
“Sehingga kelompok pelajar di pesantren ini tidak ingin bersentuhan dengan kelompok pelajar umum,” jelasnya.
Melihat konteks situasi sosial awal kemerdekaan akan terjadinya sekulerisasi dalam bidang pendidikan tidak spesifik mengancam pelajar di Yogyakarta. Para pelajar Islam lainnya di berbagai wilayah Indonesia juga dalam ancaman yang sama.
Rafa menjelaskan tentang dampak bahaya dari sekolah sistem kolonial yang terjadi di Indonesia. Salah satu dampak yang buruk pendidikan ala Eropa itu ialah para lulusannya semakin jauh dari nilai-nilai moral.
“Proses pendidikan (ala Barat) di Indonesia (ancam) pembelahan (apabila) terjadi secara terus-menerus, dikhawatirkan adanya upaya sekulerisasi,” tutur Rafa.
“Ini tidak boleh dibiarkan, kalau dibiarkan efek ke masa depan di Indonesia itu akan berbahaya… Harus ada satu wadah menghimpun kelompok pelajar pesantren dan pelajar umum,” jelasnya.
Kiprah Juang PII
Kisah di atas adalah latar belakang berdirinya PII di Indonesia. Dalam perjalanannya PII juga kerap terlibat dalam berbagai aksi perjuangan di Indonesia.
Berbagai peristiwa sejarah di tahun-tahun 1947 hingga era 1980-an seolah menuntut komitmen lebih dari PII. PII yang semula berkutat pada isu-isu pendidikan harus terlibat aktif dalam usaha mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Hal ini diungkapkan oleh Djayadi, Afan Gaffar, dan Budi Winarno mahasiswa Program Pascasarjana Ilmu Politik UGM dalam jurnal Sosiohumanika tahun 2003. Mereka dalam jurnalnya mengungkapkan bagaimana sepak terjang PII dalam pergolakan fisik di Indonesia.
- Agresi Militer Belanda I & II
Selang beberapa bulan dari kelahirannya PII aktif terlibat dalam kegiatan bersenjata ketika terjadi Agresi Militer Belanda I pada 21 Juli 1947. Saat itu PII bergabung dengan barisan prajurit dari Tentara Rakyat Indonesia (TRI), Hizbullah, Sabilillah, Tentara Pelajar, Mujahidin dan Angkatan Perang Sabil.
Demi mendukung perjuangan bangsa dalam mempertahankan kemerdekaan PII melakukan berbagai hal. Pertama melaksanakan Konferensi Besar I pada 4-6 November 1947 di Ponorogo.
Hasil Konferensi Besar itu lah nantinya lahir Brigade PII, sebuah badan kelaskaran atau ketentaraan yang anggotanya para pelajar. PII pun meletakkan penanya sebagai pelajar dan menggantinya dengan senjata api.
Para pelajar PII dibawah Brigade PII juga aktif dalam melawan pemberontakan PKI yang terjadi di Madiun. Di sana mereka bertempur melawan pemberontakan Pemuda Sosialis Indonesia (PESINDO) yang dipimpin oleh Amir Syarifuddin.
Bahkan PII di bawah komando Abdul Fattah Permana kerap aktif mendampingi Panglima TNI Jenderal Sudirman melakukan perang gerilya. Selain dalam Agresi Militer Belanda I, PII juga terlibat dalam Agresi Militer Belanda II pada 19 Desember 1948.
- Menentang Manipol dan Nasakom
Presiden Sukarno pada akhir periode pemerintahannya dikenal akrab dengan PKI. Kuatnya pengaruh komunis dalam pemerintahannya membuat ia terkesan tak lagi mengindahkan suara kalangan umat Islam.
PII yang prihatin pun melakukan sejumlah aksi misalnya mengeluarkan Ikrar Jakarta dan Resolusi Pemberantasan Aliran Anti Tuhan (Komunisme) pada Kongres VI PII pada Juli 1961.
Dua tahun kemudian pada 1963 kembali mengeluarkan sikap organisasinya dalam menentang dominasi PKI dalam roda pemerintahan. Ketika itu pemerintah mengeluarkan gagasannya dalam bentuk Manifesto politik / Undang-Undang Dasar 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian (Manipol USDEK).
PII pun mengeluarkan Khittah Perjuangan PII yang artinya PII memiliki sikap tegas dalam membela perjuangan Islam. Ia meneguhkan diri sebagai organisasi yang tidak setuju dengan gerakan komunis yang terdapat dalam Manipol USDEK.
Upaya serius PII menentang Manipol USDEK ialah pelaksanaan Konferensi Besar VII di Bandung pada Oktober 1963. Dalam konferensi tersebut ditandatanganilah Ikrar Bandung.
Akibat penandatanganan Ikrar Bandung tentang penentangan Manipol dan Nasakom tersebut akhirnya membuat para petinggi PB PII ditangkap oleh Badan Pusat Intelijen. Mereka yang ditangkap dan dipenjara waktu itu ialah Ahmad Djuwaeni (Ketum PB PII 1962-1964), Abdul Kadir Jailani dan Yahya Sutisna.
Melakukan aksi unjukr asa menolak rencana pembubaran HMI oleh Presiden Sukarno. Pada saat yang sama PII semakin gencar melakukan aksi menuntut pembubaran PKI.
Aksi penentangan terhadap komunis dan PKI di oleh PII mencapai puncaknya ketika PII memprakarsai berdirinya Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI) pada 9 Februari 1966.
Aksi PII lewat KAPPI ini berujung pada lahirnya gerakan Tritura yakni Tiga Tuntutan Rakyat. Sebuah gerakan yang berujung pada lengsernya Presiden Sukarno pada 11 Maret 1966.
- Polemik UU Perkawinan
Lahirnya undang-undang perkawinan sempat menimbulkan polemik, terutama dari kalangan Islam. RUU Perkawinan tahun 1973 dinilai bertentangan dengan syariat Islam, dalam hal ini fikih perkawinan.
PII termasuk dalam salah satu barisan organisasi yang menentang pengesahan RUU tersebut. Hingga akhirnya Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersedia merevisinya.
- Polemik Asas Tunggal
PII termasuk organisasi yang tetap menggunakan Islam sebagai asasnya, meskipun pemerintah telah mengeluarkan kebijakan asas tunggal sejak 1982. Akibat aksi dan tindakannya ini PII menjadi organisasi sempat tidak diakui oleh pemerintah, dengan keluarnya SK Mendagri No.120/1987.
Bahkan imbas dari SK tersebut, PII mengeluarkan kebijakan yang intinya mengizinkan kader-kadernya melakukan pembekuan kepengurusan. Pada masa itu aksi kaderisasi PII tetap berjalan meskipun secara diam-diam.
- Larangan Jilbab Orba
Pada masa orde baru, pemerintah sempat memberlakukan aturan larangan memakai jilbab di sekolah-sekolah negeri.
Pemerintahan orde baru pada tahun 1982 selain memberlakukan asas tunggal juga mengeluarkan SK Depdikbud No.052/1982 tentang pelarangan jilbab di sekolah negeri.
Penulis: Kukuh Subekti / Redaktur: Tori Nuariza