ISLAMTODAY ID — Genap 113 tahun lalu tepatnya pada 15 Juni dan 16 Juni 1908 meletuslah Perang Belasting (Pajak). Perang ini bertujuan menentang penarikan pajak oleh pemerintah kolonial kepada rakyat Minangkabau.
Perang menentang kebijakan pemerintah kolonial yang diinisiasi oleh para ulama Minangkabau ini terjadi dalam dua kali pertempuran di dua lokasi berbeda. Perang pertama terjadi di Kamang (15 Juni 1908) dan di Manggopoh (16 Juni 1908).
Penarikan pajak dalam sejarah masyarakat Indonesia sejak era kolonial selalu identik dengan tindakan kesewenang-wenangan dan mengabaikan hak asasi manusia.
Rakyat Indonesia mulai dibebani pajak pada era kolonialisme Inggris di bawah Gubernur Jenderal Thomas Stamford Rafles (1811-1816). Saat itu di tengah kebijakan sewa tanah yang mahal rakyat masih dibebani dengan kewajiban membayar pajak.
Praktik kebijakan landrent atau sewa tanah yang diinisiasi oleh Inggris ini kemudian dilanjutkan oleh Belanda hingga akhir penjajahannya pada 1942. Namun kebijakan Belanda yang diumumkan resmi pada 1 Maret 1908, ditentang oleh rakyat Minangkabau.
Berikut adalah cerita singkat tentang kolonialisme Belanda di Minangkabau, serta perlawanan umat Islam di bawah pimpinan ulama. Peran ulama begitu sentral dalam beberapa peristiwa heroik di Minangkabau (Perang Paderi, Perang Kamang, Perang Manggopoh).
Cengkraman Belanda di Minangkabau
Belanda pertama kali singgah di Minangkabau pada abad ke 17 M, setelah sukses menaklukkan Malaka pada tahun 1641, Belanda (VOC) mulai mengincar beberapa kawasan lainnya di Pulau Sumatera.
VOC terobsesi dengan kawasan Sumatera, sebab timah, emas dan lada di kawasan Sumatera merupakan komoditas dagang primadona.
Selanjutnya riwayat keberadaan Belanda dalam hal ini melalui kongsi dagangnya, VOC secara resmi terjadi pada tahun 1663. Hal ini ditandai dengan penandatanganan Perjanjian Painan atau Het Painans Tractaat.
Sebuah perjanjian dagang antara Kerajaan Minangkabau dan VOC. Artinya pihak kerajaan mengizinkan VOC melakukan perdagangan di kawasan Pantai Barat Sumatera (Sumatera Barat, Tapanuli dan Bengkulu).
Catatan lain tentang kedatangan Belanda ialah catatan kedatangan Thomas Dias di Minangkabau pada tahun 1684. Thomas Dias dalam laporan perjalanannya pada 25 September 1684 sebagai utusan dari VOC untuk melakukan kerjasama dengan para penguasa di kawasan pertambangan di Sumatera.
Sebelumnya pada bulan Mei 1684, Thomas Dias telah mengirimkan surat kepada Kerajaan Minangkabau di Pagar Ruyung (Pagar Oejom-penulisan dalam dokumen VOC). Sementara itu dalam laporan Dias edisi Juni 1684, ia banyak menuliskan kesulitannya dalam meyakinkan para penguasa di Sumatera untuk bersedia bekerjasama dengan VOC.
Dominasi Belanda di Minangkabau sempat mengalami masa jeda, pasca kemenangan Inggris dalam Perang Tujuh Tahun di Eropa (1756-1763). Maka sejak 1775-1819, Minangkabau jatuh ke tangan Inggris.
Tak lama kemudian, Minangkabau kembali jatuh di bawah kekuasaan Belanda pasca Konvensi London pada 13 Agustus 1814.
Kaum Padri & Plakat Panjang
Aksi kolonialisme Belanda di kawasan Hindia-Belanda, Minangkabau khususnya secara resmi dimulai pada tanggal 22 Mei 1819. Inggris dalam hal ini Thomas Stamford Rafless sengaja menunda-nunda penyerahan kawasan Sumatera Barat kepada Belanda (Konvensi London 1814).
Kedatangan Belanda di kawasan Minangkabau pada kali ini tidak diterima dengan baik oleh rakyat Minangkabau. Pada saat itu para ulama atau biasa di sebut Padri menjadi penopang utama dalam perlawanan terhadap kolonial.
Perang melawan Belanda dalam Perang Padri yang berlangsung hingga tahun 1830-an ini melahirkan tokoh utama seperti Imam Bonjol. Sebagai tokoh paling berpengaruh Imam Bonjol akhirnya dibuang oleh Belanda ke Ambon, Maluku.
Sebelum penangkapan dan pembuangan Imam Bonjol, sempat terjadi pertempuran sengit melawan Belanda yang dilakukan oleh Kaum Adat dan Kaum Paderi. Kedua elemen masyarakat Minangkabau yang sempat berseteru akhirnya bekerjasama melakukan serangan kepada pihak Belanda pada 11 Januari 1833.
Di tengah-tengah upaya melakukan penangkapan terhadap Imam Bonjol. Belanda menyepakati adanya perjanjian Plakat Panjang pada 25 Oktober 1833.
Plakat Panjang sebenarnya siasat Belanda untuk bisa menangkap pimpinan Perang Padri, Imam Bonjol. Dengan perjanjian ini Belanda bebas memasuki kawasan Minangkabau bagian barat yang merupakan daerah tempat tinggal Imam Bonjol.
Sejarah Perang Belasting
Salah satu pemicu Perang Belasting pada 15-16 Juni 1908, ialah sikap ingkar janji Belanda terhadap Perjanjian Plakat Panjang, yang disepakati Belanda pada masa Perang Padri. Belanda berjanji bahwa ia tidak akan ikut campur dalam urusan lembaga adat, dan tidak akan melakukan penarikan pajak kepada rakyat Minangkabau.
Perang Belasting ini dipicu oleh kebijakan pajak yang diterapkan oleh Gubernur Jenderal (1904-1909), Jenderal Joannes Benedictus Van Heutsz, mantan jenderal yang memimpin Perang Aceh (1898).
Ia secara serampangan menerapkan kebijakan penarikan pajak tanpa mengindahkan perjanjian yang ditetapkan oleh gubernur jenderal sebelumnya.
Sementara itu Residen Belanda di Sumatera, Taylor Weber memilih untuk mengundurkan diri pasca kegagalannya membujuk Van Heutsz untuk membatalkan kebijakan belasting di Minangkabau. Seperti diketahui Minangkabau sangat menjunjung tinggi hukum Islam sebagaimana, adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah.
Tatanan masyarakat Minangkabau memiliki hukum adat yang jelas dan sudah diakui oleh pihak Belanda. Terutama dalam hal harta benda, masyarakat Minangkabau memiliki tradisi Harto Pusako.
Tradisi Harto Pusako (Harta Pusaka) ialah mengenai kepemilikan harta yakni pembagian kepemilikan harta dibagi menjadi dua kategori. Pertama, harto pusako (komunal) dan harto pancarian (harta pribadi) melalui usaha pribadi.
Harto Pusako yang bersifat komunal itu meliputi sawah, perkebunan, rumah dan lumbung padi. Harta-harta tersebut merupakan harta bersama yang tidak bisa diperjualbelikan bahkan tidak seorang pun yang bisa menguasainya.
Namun pada awal abad ke XX pemerintah kolonial secara sewenang-wenang melakukan penarikan pajak. Penarikan pajak ini meliputi tanah perkebunan yang merupakan wewenang hukum adat yang sebelumnya dihormati Belanda sebagaimana ditetapkan dalam Plakat Panjang 1833.
Adapun aturan penarikan pajak ini resmi ditetapkan pemerintah kolonial Belanda pada 21 Februari 1908.
Tarif pajak ini terdapat dalam tiga Peraturan Pemerintah No. 93,95,96. Aturan-aturan tersebut menetapkan penarikan tarif pajak sebesar 2% kepada seluruh rakyat di Kawasan Hindia Belanda termasuk rakyat Minangkabau.
Berdasarkan jenis-jenis pajak tersebut terdiri atas pajak kepala (hoofd), pemasukan barang (inkomsten), rodi (hedendisten), tanah (landrente), keuntungan (wins), rumah tangga (meubels), penyembelihan hewan qurban (slach), tembakau (tabak), kopi, dan pajak rumah adat (huizen).
Penulis: Kukuh Subekti