ISLAMTODAY ID — Sultan Syarif Kasim II, ia merupakan sultan terakhir Kesultanan Siak Sri Indrapura. Di masa penjajahan, ia menempatkan pendidikan sebagai ujung tombak perlawanan terhadap Belanda.
Nama aslinya adalah Tengku Sulung Sayed Kasim. Ia lahir pada 11 Jumadil Awal 1310 Hijriyah atau bertepatan dengan 1 Desember 1893 Masehi.
Setelah dinobatkan menjadi Sultan ia digelari Sultan Assyaidis Syarif Kasim Sani Abdul Jalil Syarifuddin. Sultan Syarif Kasim II memerintah sejak 3 Maret 1915 hingga 1946.
Semasa hidupnya ia sempat melanjutkan pendidikannya ke Batavia (Jakarta), selama 11 tahun lamanya ia merantau (1904-1915). Di Batavia ia mengambil studi ilmu hukum tata negara. Salah satu gurunya adalah seorang orientalis Belanda, Snouck Hurgronye.
Selain belajar hukum umum, ia juga belajar tentang hukum Islam pada salah seorang ulama yang ternama di Batavia, Sayyed Husein Al-Habsyi.
Sejak awal menjadi sultan, ia dikenal sebagai sultan yang sangat anti terhadap kolonial.
Melawan dengan pendidikan
Traktat Siak yang ditandatangani pada 1 Februari 1858, makin menjadi celah Belanda melakukan sejumlah intervensi. Salah satunya dalam bidang pendidikan dan kebudayaan. Belanda mendirikan sejumlah sekolah untuk menjauhkan anak-anak dari agama Islam dan kebudayaan melayu.
Perlawanan pun dilakukan. Sultan mendirikan sekolah khusus bagi rakyat di Kesultanan Siak Indrapura. Bagi sultan pendidikan memiliki arti penting, yakni untuk memperkuat ke-Islaman dan rasa cinta tanah air.
Tahun 1917, Sultan Syarif Kasim II membangun sekolah khusus laki-laki dengan nama Madrasah Taufiqiyah Al-Hasyimiyah. Sedangkan istrinya, Tengku Agung Sultanah Syarifah Latifah, mendirikan sebuah madrasah putri bernama Madrasah An-Nisa atau Sulthanah Latifah School pada tahun 1926..
Melalui sekolah ini para murid diajarkan berbagai ilmu. Mulai dari ilmu agama, umum hingga berbagai keterampilan khusus perempuan seperti merenda, menyulam, dan menenun..
Madrasah yang dirintis oleh permaisuri Sultan Syarif Kasim II ini juga menjalin kerjasama dengan sekolah milik Rahmah El Yunusiah, Sekolah Diniyah Padang Panjang (1934-1941).
Sementara itu di Madrasah Taufiqiyah Al-Hasyimiyah, murid murid diajarkan ilmu agama dan ilmu pengetahuan umum. Pada sekolah ini materi sejarah menjadi salah satu pelajaran penting untuk membangkitkan rasa cinta tanah air dan semangat kepahlawanan.
Setelah pendirian madrasah oleh sultan, sekolah-sekolah Islam pun mulai bermuculan di Siak. Misalnya sekolah-sekolah dari Muhammadiyah di beberapa wilayah seperti Bagan Siapi-api, Bengkalis dan Pekanbaru.
Selain sekolah Muhammadiyah, di Kesultanan Siak Indrapura juga berdiri sekolah Taman Siswa di Selat Panjang. Secara berkala sultan melakukan kunjungan ke setiap sekolah.
Sultan juga menerapkan program wajib belajar (leerplich) kepada seluruh penduduknya dan tidak mentolerir orang tua yang abai pada masalah pendidikan anak-anaknya.
Untuk mengenang kepahlawanannya, Presiden Abdurrahman Wahid atau Gusdur merubah nama bandara Simpang Tiga Pekanbaru menjadi Bandara Sultan Syarif Kasim II.
Penulis: Kukuh Subekti