ISLAMTODAY ID–-Seni kaligrafi merupakan salah satu khasanah dalam peradaban Islam. Siapa sangka pada abad ke-19 M, seorang ulama asal Sumbawa menjadi maestro seni kaligrafi di Mekah.
Namanya, Ibrahim al-Khulushi Ibn Wud al-Jawi al-Sumbawi. Ia meninggalkan karya monumental berupa manuskirip salinan berjudul Maulid Syaraf al-Anam.
Salinan manuskrip karya Ibrahim al-Khulushi ibn Wud al-Jawi al-Sumbawi itu tersimpan di Museum Seni Islam Malaysia (Islamic Arts Museum of Malaysia), Kuala Lumpur. Kitab yang memuat hiasan kaligrafi nan indah itu ditulis dengan menyertakan penjelasan dalam bahasa Melayu Arab Pegon.
“Di bawah setiap kata dari teks tersebut dituliskan arti berbahasa Melayu berhuruf Arab (Jawi/ Pegon,” kata Filolog Muda lulusan Universitas Al-Azhar Mesir, Ahmad Ginanjar Sya’ban.
Ginanjar dalam bukunya Mahakarya Islam Nusantara menjelaskan bahwa penyalinan kitab Maulid Syaraf al-Anam ditulis dengan aksara Arab bercorak tsulutsi. Sebuah corak penulisan kaligrafi yang paling popular dan telah dikembangkan sejak era Abbasiyah.
“…dengan dihiasi pelbagai macam hiasan, ornamen, dan iluminasi di setiap halamannya,” ungkap Ginanjar.
Keberadaan kitab Maulid Syaraf al-Anam yang disalin langsung oleh Ibrahim al-Khulushi menunjukkan bahwa ia adalah ulama yang sangat mahir di bidang kaligrafi dan penyalinan naskah. Sebab salinan kitab Maulid Syaraf al-Anam memiliki kualitas tulisan, keindahan kerapihan yang baik.
Selain itu berdasarkan komposisi warna pada bagian hiasan atau iluminasi dan ornamennya juga terlihat sangat eksotis. Sebuah perpaduan yang apik antara seni kaligrafi, manuskrip Turki Utsmani, Arab dan Nusantara.
Kolofon
Ginanjar menjelaskan keterangan singkat tentang Syaikh Ibrahim al-Khulushi terdapat dalam kolofon kitab Maulid Syaraf al-Anam. Kolofon berbunyi: Ditulis oleh hamba Allah yang faqir Ibrahim al-Khulushi anaknya Wadd al-Jawi (orang Nusantara) al-Sambawi (Orang Sumbawa), di Mekkah al-Musyaraffah (yang mulia) pada tahun 1042 Hijriyah.
Ginanjar pun memberikan kritiknya terhadap penulisan angka tahun dalam kolofon kitab Maulid Syaraf al-Anam. Ia menilai telah terjadi kekeliruan dalam penulisan titimangsa 1042 Hijriyah atau 1632 Masehi.
“Tampaknya titimangsa tersebut salah tulis, karena terlalu jauh, menimbang gaya kaligrafi, iluminasi, dan ornament manuskrip yang seperti itu adalah gaya masa-masa akhir Ottoman (abad ke-19 M),” ujarnya.
Ginanjar lantas mengungkapkan data pendukung untuk menguatkan pendapatnya bahwa penyalinan tersebut memang dilakukan pada abad ke-19. Yakni dokumen surat-surat dari ulama-ulama Nusantara yang tersimpan di Pusat Arsip Keperdanamenterian Istanbul, Turki.
Salah satu surat kiriman ulama-ulama Nusantara tersebut dikirimkan atas nama Ibrahim al-Jawi. Surat tersebut dikirimkan kepada Khalifah Turki Utsmani, Sultan Abdul Majid Khan.
Data lainnya yang menguatkan dugaan Ginanjar ialah surat yang dtitulis oleh ulama Kesultanan Kelantan, ‘Abd al-Rahman ibn Muhammad al-Sammani al-Kalantani. Adapun bunyi kutipan surat yang ditulis pada tahun 1865 itu adalah sebagai berikut:
“patik ini… sudah dilatih? Orang besar2 di Mekah akan bahwa patik inilah jadi ganti … almarhum guru patik tuan Syaikh Ibrahim al-Khulusi al-Sunbawi yang masyhur itu… pada pihak tolong mengajarkan segala muslimin menyurat Istanbulnya.”
Ginanjar menambahkan data tentang Syaikh Ibrahim al-Khulushi terbilang langka. Meskipun ada kemungkinan sekali masih tercecer dan belum terangkum.
“Asumsi saya, Syaikh Ibrahim al-Khulushi al-Sumbawi ini semasa, bertemu dan berkawan dengan Syaikh ‘Abd al-Ghani al-Bimawi al-Jawi (ulama asal Bima yang wafat 1270H/ 1853M),” ujar Ginanjar.
Usia Syaikh Ibrahim al-Khulushi diperkirakan lebih muda dari Syaikh ‘Abd al-Ghani. Ulama lainnya yang diyakini hidup sejaman dengan Syaikh Ibrahim al-Khulushi ialah Syaikh Ahamd Khatib Sambas al-Jawi (Kalimantan).
Munculnya nama-nama ulama asal Sumbawa pada masa lalu merupakan bukti bahwa kawasan tersebut pernah menjadi pusat kekuatan politik Islam di Nusantara bagian timur. Sebab di sana telah berdiri Kesultanan Islam Sumbawa dengan rajanya Sultan Salahuddin al-Adil Bima.
Penulis: Kukuh Subekti