ISLAMTODAY ID — Laskar Hizbullah dan Sabilillah berhasil pukul mundur PKI pada peristiwa pemberontakan di Madiun tahun 1948. Mereka berhasil mengagalkan pemberontakan PKI dengan merebut kembali Madiun dari tangan PKI.
Sebelumnya, PKI melalui sayap militernya, Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) berhasil menguasai Madiun pada tanggal 19 September 1948. Selama sebelas hari lamanya Maospati, Gorang Gareng, Magetan, Ngawi, Walikukun, Ponorogo, Pacitan jatuh ke tangan PKI.
Laskar Hizbullah dan Sabilillah segera melakukan jihad melawan PKI. Mereka bersinergi dengan prajurit TNI dan laskar lainnya berhasil memukul mundur PKI ke luar Madiun.
“(Mereka) mengepung Karisidenan Madiun. Tentara Merah (PKI) hanya secara fisik kota-kota di atas dikuasainya, tidak demikian halnya dengan hati rakyat di kota-kota serta desa-desa di sekitarnya,” ungkap Prof. Ahmad Mansyur Suryanegara dalam bukunya Api Sejarah 2.
Menurut Prof. Mansyur, pasukan PKI akhirnya mundur meninggalkan Madiun menuju Dangus, Madiun Selatan. Dalam pelariannya tersebut mereka terpecah dua arah, Muso ke Ponorogo dan Amir Syarifuddin ke Purwodadi.
Berkat kesigapan laskar Hizbullah di bawah komando Kompi Soemardi yang bergerak dari Trenggalek menuju Ponorogo berhasil mengejar rombongan Muso. Muso pun tewas dalam baku tembak yang berlangsung pada 31 Oktober 1948.
“Dari Madiun, lari ke Dungus, dan dari Dungus lari ke Semanding Sumaroto, Ponorogo. Di sini jasadnya dibakar habis menjadi abu di tengah ribuan rakyat,” ucap Prof. Mansyur.
Sementara Amir Syarifuddin ditangkap oleh Kompi Pasopati dibawah pimpinan Kapten Ranoe pada 29 November 1948. Selanjutnya, ia diserahkan kepada TNI, Batalyon RA Kosasih/ Brigade Siliwangi.
Amir beserta sebelas rombongannya akhirnya dijatuhi hukuman mati. Hukuman mati berlangsung di Desa Ngalihan, Karanganyar, Solo, atas perintah Gubernur Militer Solo Kolonel Gatot Subroto.
Detik-detik Jelang Pemberontakan
PKI menempatkan Madiun sebagai pusat kegiatannya demi merebut kekuasaan dari pemerintah pusat yang ada di Yogyakarta. Ibukota negara pun dalam keadaan darurat, secara geografis Yogyakarta dikepung oleh basis-basis PKI.
Madiun dan daerah sekitarnya mulai dari Pacitan, Trenggalek, Tulungangung, Ngawi, Boyolali, Porwodadi, Bojonegoro hingga Pati, terus melingkar sampai Magelang, Klaten, Solo dan Wonogiri menjadi basis massa PKI.
Memasuki tahun 1947, kekuatan PKI telah masuk hingga ke desa-desa di wilayah tersebut. Meluasnya pengaruh PKI memudahkan mereka dalam merekrut calon-calon pasukan PKI.
Mereka yang bergabung dengan PKI pada waktu itu berasal dari berbagai kalangan. Mereka diantaranya adalah buruh, petani, petani penggarap, guru, pegawai bahkan para preman, warok, dan pendekar menjadi anggota PKI.
“…kelompok terakhir itulah yang dijadikan kelompok pemukul lawan,” ungkap Agus Sunyoto Peneliti Sejarah Nahdlatul Ulama (NU) dalam bukunya Benturan NU-PKI 1948-1965.
Para ulama dan umat Islam di Karisidenan Madiun khususnya mulai merasakan keresahan. Pasukan PKI secara terang-terangan membuat teror, pencurian, perampokkan, hingga pembunuhan.
“Situasi makin kacau dan menakutkan. Tiap malam terjadi perampokan dan pencurian, disertai penganiayaan dan pembunuhan. Sasarannya orang atau tokoh agama, tokoh Masjumi atau tokoh NU dan orang kaya yang sudah naik haji. Dan kalau kebetulan punya anak gadis atau perawan, tidak segan-segan diperkosanya. Orang-orang sudah tahu bahwa pelakunya adalah orang-orang komunis PKI…
Bagi orang yang ingin selamat dari perampokan, pencurian dan penganiayaan, maka jauhilah tokoh agama, Masyumi dan NU dan bergabunglah pada PKI… PKI dan orang-orang komunis telah menjadi monster yang menakutkan. Orang awam atau rakyat jelata atau yang rumahnya terpencil di pelosok pedesaan merasa tidak aman dan tak terlindungi oleh pemerintah. Mereka (dipaksa) bergabung dengan orang-orang PKI untuk mendapatkan perlindungan. Sementara bagi Warga NU mulai meninggalkan tempat ke daerah yang diangap aman…” (Buku Benturan NU-PKI 1948-1965).
Seruan Jihad Melawan PKI
Ulama-ulama di Jawa Timur melakukan berbagai cara untuk memulihkan keadaan tersebut.
Pertama, mereka mengadakan Muktamar NU ke-17 di Madiun.
Kedua, pusat kegiatan PBNU yang sebelumnya di Surabaya dipindahkan di Madiun.
Kiai Hasyim Asy’ari dalam pidato pembukaannya Muktamar NU itu menyerukan agar pesantren segera merapatkan barisannya. Pesantren di wilayah Karisidenan Madiun (Madiun, Magetan, Ngawi, Pacitan, Ponorogo) dan daerah terdekatnya diminta melakukan konsolidasi.
Konsolidasi kekuatan pesantren segera dilakukan di bawah komando K.H. Wahab Hasbullah. Ia bertugas mengondisikan laskar-laskar Islam seperti Hizbullah dan Sabililah se-Jawa.
Acara konsolidasi laskar Islam berlangsung di Ngawi, tidak jauh dari Madiun. Bertepatan dengan acara tersebut pecahlah pemberontakan PKI di Madiun.
Konsolidasi pun ditutup dan diperintahkan untuk segera berjihad melawan PKI di wilayahnya masing-masing. Para laskar Islam pun harus lebih dahulu berjuang untuk keluar dari Ngawi.
“Untuk bisa keluar dari Ngawi juga sangat susah, tetapi karena semuanya telah belajar strategi dan taktik bertempur di Cibarusa selama masa penjajahan Jepang, maka merka bisa keluar dari ngawi dengan selamat,” ujar Agus.
Laskar Hizbullah dan Sabilillah pun sukses melakukan misi jihadnya. Mereka bersama pasukan Divisi Siliwangi TNI berhasil menguasai kembali Madiun dan daerah lainnya tepat pada tanggal 30 September 1948.
Penulis: Kukuh Subekti