ISLAMTODAY ID— Siapa yang tak kenal K.H. Abdul Wahid Hasyim atau biasa dikenal dengan K.H. Wahid Hasyim?. Sosok ‘modernis’ yang lahir dari kalangan Nahdhlatul Ulama (NU) ini telah mengukir jasa sejak masa revolusi kemerdekaan.
Pada masa Republik Indonesia Serikat (RIS), ia dipercaya memimpin Kementerian Agama (Kemenag). Ditangannyalah 12 tugas dan wewenang Kementerian Agama dirumuskan dan ditetapkan.
Salah satu kiprah pentingnya selama periode RIS ialah memimpin terselenggaranya Konferensi Besar di Yogyakarta. Acara yang berlangsung pada 14-18 April 1950 itu bertujuan untuk mempersatukan kembali seluruh kementerian, departemen, dan jawatan-jawatan agama dari negara-negara bagian bentukan Belanda.
Musyawarah dan konferensi besar itu pun sukses dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah (PP) No. 33 Tahun 1950 tentang tugas-tugas dan kewajiban Kemenag. Dari Konferensi Besar tersebut menghasilkan 12 tugas dan kewajiban Kemenag.
Aboebakar Atjeh dalam Sejarah Hidup K.H. Abdul Wahid Hasyim menuliskan 12 tugas dan wewenag Kemenag yang ditetapkan pada masa kepemimpinan Wahid Hasyim:
Melaksanakan azas “Ketuhanan Yang Maha Esa” dengan sebaik-baiknya,
Menjaga bahwa tiap-tiap penduduk mempunyai kemerdekaan untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya,
Membimbing, menyokong, memelihara, dan mengembangkan aliran-aliran agama yang sehat,
Menyelenggarakan, memimpin, dan mengawasi pendidikan agama di sekolah-sekolah negeri,
Memimpin, menyokong, serta mengamat-amati pendidikan dan pengajaran di madrasah-madrasah dan perguruan-perguruan agama lain.
Mengadakan pendidikan guru-guru dan hakim-hakim agama,
Menyelenggarakan segala sesuatu yang bersangkut paut dengan pengajaran ruhani kepada anggota-anggota tentara, asrama-asrama, rumah-rumah penjara, dan tempat-tempat lain yang dipandang perlu,
Mengatur, mengerjakan, dan mengamat-amati segala hal yang bersangkutan dengan pencatatan pernikahan, rujuk, dan talak orang Islam,
Memberikan bantuan materi untuk memperbaiki dan pemeliharaan tempat-tempat beribadah (masjid-masjid, gereja-gereja, dan lain-lain).
Menyelenggarakan, mengurus, dan mengawasi segala sesuatu yang bersangkut paut dengan Pengadilan Agama dan Mahkamah Islam Tinggi.
Menyelidiki, menentukan, mendaftarkan, dan mengawasi pemeliharaan wakaf-wakaf,
Mempertinggi kecerdasan umum dalam kehidupan bermasyarakat dan hidup beragama.
Pembaharu Pendidikan
Setelah sukses menata kembali Kemenag selama periode RIS, ia kembali menorehkan prestasi pada masa kabinet Natsir. Pada periode ketiganya sebagai menteri, ia banyak memberikan perhatian besar pada sektor pendidikan.
Pelajaran agama menjadi pelajaran wajib di semua sekolah tanpa kecuali. Hal ini ditetapkannya dalam Peraturan Pemerintah tertanggal 20 Januari 1951.
Kebijakan tersebut juga disertai dengan pendirian lembaga-lembaga pendidikan khusus bagi para guru agama. Maka sepanjang tahun 1951, ia mulai mendirikan sekolah-sekolah agama di beberapa kota di Indonesia.
Lembaga pendidikan, Pendidikan Guru Agama Negeri (PGAN) didirikan di berbagai kota di Indonesia. Mulai dari Banda Aceh, Tanjungpinang, Padang, Jakarta, Banjarmasin, Tanjungkarang, Bandung, Pamekasan serta Salatiga.
Berikutnya ialah Sekolah Guru dan Hakim Agama Negeri (SGHAN) yang tersebar di sejumlah kota Banda Aceh, Bukittinggi, Bandung, Yogyakarta dan Malang.
Sebelumnya pada tahun 1950, ia mulai mendirikan Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (UIN-sekarang) yang merupakan ‘pengembangan’ dari Fakultas Agama Islam di Universitas Islam Indonesia (UII). Namun demikian peresmiannya baru dilakukannya pada 26 September 1951.
Pra Kemerdekaan
Kiprah KH Wahid Hasyim untuk Indonesia sudah dilakukannya sejak era pra kemerdekaan. Ia adalah Ketua Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi-era Jepang), yang juga tokoh di balik lahirnya laskar Hizbullah, laskar pejuang kemerdekaan.
Dalam dunia politik ia masuk dalam daftar anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Namanya juga masuk dalam daftar Panitia Sembilan, perumus kesepakatan luhur, Piagam Djakarta.
Salah satu kiprahnya yang sangat penting ialah ketika ia menjembatani antara kehendak wakil Islam dan nasionalis. Hal ini terlihat di tengah perdebatan serius terkait tujuh kata dari Piagam Djakarta, ia pun mengusulkan klausul ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ sebagai sila pertama Pancasila.
Kiprah KH. Wahid Haysim yang lain ialah keaktifannya di bidang pers. Ia merupakan redaktur di Soeloeh Nahdlatoel Oelama (1941) dan Berita Nahdlatoel Oelama (1931).
Pada masa Jepang ia juga berhasil membentuk Badan Propaganda Islam. Sebuah organisasi yang melatih para anggotanya untuk melakukan orasi di radio-radio dan rapat-rapat umum.
Ketokohannya sudah terlihat sejak ia muda. Pada tahun 1936, ia mendirikan Ikatan Pelajar Islam (IPI) dengan tujuan menghimpun para pelajar Islam untuk bergerak dalam dunia literasi salah satunya dengan menghadirkan ‘taman baca’.
Penulis: Kukuh Subekti