ISLAMTODAY ID— Sultan Agung Hanyakrakusuma atau Raden Mas Rangsang merupakan sultan Mataram Islam yang berkuasa tahun 1613 sampai tahun1645 M. Pada masanya, islamisasi dilakukan dengan sangat masif.
Sultan Agung selain dikenal sebagai sultan yang gemar melakukan ekspansi wilayah juga dikenal sebagai raja yang shalih. Bahkan ciri ini terlihat dari tata cara berbusana yang ia kenakan.
Pada masa itu, sosok bangsawan muslim yang taat identik dengan busana batik nuansa putih biru. Tidak hanya itu pada bagian kepala terdapat kupyah berwarna putih yang terbuat dari kain linen.
“Pakaian yang dikenakan Sultan Agung terbuat dari kain dalam negeri berbatik putih biru. Sultan juga menggunakan kopyah dari kain linen yang dipastikan adalah kuluk putih yang sejak masuknya agama Islam dikenakan oleh mereka yang taat beribadah,” ungkap K Subroto dalam Negara Islam di Jawa 1500-1700.
Hal senada juga berlaku terhadap para prajurit Kesultanan Mataram Islam. Pada tahun 1630-an para prajurit mataram terkenal dengan tata busana dan penampilannya yang bersih dan rapih.
“Pada tahun 1630 M para prajurit Mataram dapat dikenali dengan ciri khas mereka yang berambut pendek dan memakai kuluk (kopiah) putih,” tutur K. Subroto.
Sultan Agung memiliki kebiasaan melaksanakan shalat lima waktu di Masjid Gede. Ia pun selalu mewajibkan para pembesar kerjaaan untuk berjamaah bersamanya.
“Sultan Agung secara teratur pergi ke masjid, dan para pembesar istana diharuskan mengikutinya,” jelas K. Subroto
Bahkan setiap hari Jumat pagi, para pembesar Kesultanan Mataram Islam harus datang ke Masjid Gedhe.
“Hendrick de Haen dalam tulisannya tentang perjalanannya sebagai utusan pada tahun 1622, menyatakan bahwa para pembesar Mataram tiap hari jumat pagi harus hadir ketika raja pergi ke Masjid,” terang K. Subroto.
Sultan juga mewajibkan kepada para tahanan laki-laki di Kesultanan Mataram Islam untuk melakukan khitan. Ia tidak segan-segan memberikan hukuman bagi siapa saja yang menolak dikhitan.
Islamisasi Budaya
Sultan dikenal sangat giat mensyiarkan Islam dengan menggunakan strategi kebudayaan. Hal ini terlihat dari tradisi Grebeg Sekaten yang dilaksanakan tiga kali dalam setahun Grebeg Mulud, Grebeg Pasa/ Syawal dan Grebeg Besar.
Selain praktik tradisi grebeg, sultan juga melakukan islamisasi kalender. Sultan Agung berhasil menyusun sistem kalender baru yang diberlakukan di seluruh wilayah kekuasaan Kesultanan Mataram Islam.
Islamisasi kalender ini dilakukan terhadap kalender Jawa yang sebelumnya dipengaruhi oleh agama Hindu. Hal ini terlihat dari penamaan bulan, Safar menjadi Sapar, Rajab menjadi Rejeb, Muharram menjadi Sura, lalu Ramadan menjadi Pasa.
Selain itu dalam hal penamaan hari juga terdapat istilah-istilah baru yang dikenalkan oleh sultan. Misalnya hari-hari pasaran, Pon, Wage, Kliwon, Pahing, dan Legi.
“Sistem ini diresmikan pada tanggal 8 Agustus 1633 / 1 Muharam 1043 atau 1 Sura 1555 tahun Jawa,” tutur K. Subroto.
Bangun Masjid di Desa-desa
Sultan Agung tidak hanya berperan pada perluasan serambi Masjid Gede Mataram atau Masjid Kotagede. Ia juga memperluas syiar Islam hingga kepelosok desa-desa baik itu bangunan masjidnya maupun ulamanya.
Dilansir dari Jurnal Studi Agama, Millah edisi Vol.19, No.2 Februari 2020 disebutkan jika Sultan Agung memberikan perhatian serius terhadap dakwah Islam. Masjid Gede menjadi masjid induk dari semua masjid di Kesultanan Mataram Islam.
Sultan mengangkat seorang penghulu atau qadli untuk mengurusi masalah keagamaan. Berbagai persoalan baik yang bersifat ibadah, mu’amallah atau munakahah dibawah wewenang seorang penghulu.
Penghulu kerajaan ini dibantu oleh 40 staf orang pegawai. Sementara di tingkat Kawedanan dipimpin seorang naib yang dibantu oleh 11 orang pegawai.
Selanjutnya pada tingkatan desa, setiap masjid dipimpin oleh seorang modin. Sama halnya dengan seorang penghulu, dan seorang naib, seorang mudin juga dibantu oleh sejumlah pegawai sebanyak empat orang.
Sultan Agung juga mengadakan tempat khusus untuk keperluan syiar dan pengajian. Setiap tempat ngaji ini dipimpin oleh Kiai Anom dan Kiai Sepuh.
Sosok kiai anom dan kiai sepuh menjadi ujung tombak dakwah Islam di pelosok desa. Berbagai kegiatan pengajaran Islam dilakukan.
Rakyat mendapatkan materi berupa baca tulis huruf hijaiyah, Alqur’an, Barzanji, pokok-pokok dan dasar-dasar ilmu agama Islam seperti tata cara beribadah (fikih), rukun iman (akidah), rukun islam, fikih, tafsir, hadis, ilmu kalam, tasawuf, nahwu, sharaf, falak, hingga kitab-kitab klasik seperti Matan Taqrib, Bidayatul Hidayah, dan lainnya.
Penulis: Kukuh Subekti