ISLAMTODAY ID— Hari Sabtu, 10 Ramadan 1364 Hijriyah bertepatan dengan 18 Agustus 1945 adalah hari yang sangat krusial bagi Indonesia. Hari tersebut umat Islam Indonesia kehilangan klausul tujuh kata hasil kesepakatan di Piagam Djakarta.
Pada hari bersejarah itu kedua tokoh ini menjadi tokoh kunci pengesahan Pancasila dan UUD 1945. Kedua tokoh ini terlibat dalam pengambilan keputusan penting.
“Pada pertemuan ini dibicarakan tentang perubahan sila pertama Pantjasila dalam Piagam Djakarta, 22 Juni 1945, Jumat Kliwon, 11 Rajab 1364 H, yakni Ketoehanan dengan kewadjiban mendjalankan Sjariat Islam bagi pemeloek-pemeloeknja,” (Prof. Ahmad Mansur Suryanegara, API Sejarah 2).
Pidato BPUPKI
Cita-cita mengangkat nilai-nilai Islam dalam sistem bernegara disampaikan Ki Bagus Hadikusumo dalam pidato sidang BPUPKI pada 31 Mei 1945. Ia dengan lantang mengingatkan kepada seluruh peserta sidang tentang sejarah keberanian umat Islam menentang penjajahan.
“Ki Bagus Hadikusumo… dengan lantang mengingatkan pengaruh agama Islam kepada rakyat Indonesia yang sangat kuat dan mendalam sehingga berani menentang imperalis Belanda,” ucap Lukman.
Melalui pidatonya itu ia mengingatkan keberanian para tokoh-tokoh Islam dalam menentang imperalisme Belanda. Diantara mereka adalah Pangeran Diponegoro, Teuku Umar, Imam Bonjol dan kiai-kiai lainnya di Nusantara.
“(Mereka) pendekar rakyat yang berpegang teguh pada Islam serta mendasarkan perjuangannya di atas dasar Islam,” tutur Lukman.
Lukman menambahkan Ki Bagus Hadikusmo juga mengingatkan bahwa Islam sudah terbukti mengajarkan persatuan dan persaudaraan yang kokoh. Terbukti dalam sejarah pergerakan nasional, Sarekat Islam (SI) berhasil menyatukan Jawa, Sumatera, Kalimantan hingga Sulawesi.
“Ki Bagus menyimpulkan di dalam diri umat Islam tersembunyi jiwa yang hidup dan bersemangat,” ujarnya.
Ki Bagus Hadikusumo dalam forum tersebut berkaca dari pengalamannya selama satu kepanitian dengan Prof. Dr. Husein Djajadiningrat pada tahun 1922 bahwa Hukum Islam tidak berjalan bukan karena tidak sempurna. Bukan pula karena tidak lagi relevan dengan zaman tapi karena dihalang-halangi dan kalau mungkin dihapuskan.
Desakan Nasionalis Sekuler
Ki Bagus Hadikusumo didesak oleh kalangan nasionalis sekuler untuk menghapus tujuh kata hasil Piagam Djakarta. Hasil musyawarah enam puluh anggota BPUPKI yang terdiri atas wakil Islam dan nasionalis itu terpaksa dihapus.
Penghapusan ini terjadi setelah BPUPKI dibubarkan dan diganti dengan PPKI. PPKI bahkan hanya menyisakan empat wakil Islam diantaranya ada Ki Bagus Hadikusmo, K.H. A. Wahid Hasyim, Mr. Kasman Singodimejo dan Mr. Teuku Muhamamd Hasan.
Bahkan dua nama terakhir tersebut adalah para anggota baru di PPKI. Mereka tidak ikut dalam proses perumusan Piagam Djakarta.
Kisah ini menurut Lukman Hakiem dalam Jejak Perjuangan Para Tokoh Muslim Mengawal NKRI disebut sebagai sebuah pertanyaan sejarah. Sebuah pernyataan yang menarik yang pernah disampaikan oleh Prawoto Mangkusasmito.
“Di tangan PPKI dengan format seperti itulah menurut Ketua Umum Partai Masyumi, Prawoto Mangkusasmito terjadi historische vraag (pertanyaan sejarah),” ujar Pemerhati Sejarah Indonesia, Lukman.
Hasil musyawarah berjam-jam bahkan berhari-hari itu lenyap dalam hitungan jam. Kesepakatan bersama dalam Piagam Djakarta pada 22 Juni 1945 bahkan disahkan bersama-sama oleh BPUPKI pada 16 Juli 1945 itu hilang dari sejarah Indonesia.
Mirisnya pada hari tersebut, KH Wahid Hasyim belum hadir di Jakarta. Tersisalah Ki Bagus Hadikusumo seorang sebagai tokoh yang sejak awal terlibat dalam perumusan Pancasila dan dasar negara itu.
“Menurut (kesaksian) Prawoto Mangkusasmito ketika rapat 18 Agustus 1945 itu seluruh eksponen non-Islam menghendaki tidak ada klausul tujuh kata yang menjadi inti dari Piagam Djakarta, (apalagi) K.H. A. Wahid Hasyim belum tiba di Jakarta,” ungkap Lukman.
Kehadiran Mr. Kasman Singodimejo sebagai anggota tambahan tak banyak membantu. Selain anggota baru, ia juga baru mendapat undangan pada itu juga.
“(Mr. Kasman Singodimejo) belum mengetahui sama sekali duduk persoalan yang didiskusikan,” jelasnya.
Keadaan ini semakin mempersulit Ki Bagus Hadikusumo. Hari itu ia benar-benar mengalami tekanan psikologis yang luar biasa, beban sejarah luar biasa berat di pundaknya.
Janji Sementara
Meskipun kecewa, dengan kebesaran hatinya Ki Bagus Hadikusumo merelakan klausul tujuh kata hasil Piagam Djakarta itu untuk dihapus. Apalagi sosok yang berhasil meyakinkannya adalah kader Muhammadiyah yang dicintainya, Kasman Singodimejo.
Peristiwa memilukan ini pun diakui oleh Kasman Singodimejo. Saat itu ia berdasarkan aspirasi kalangan nasionalis sekuler menjanjikan bahwa rumusan 18 Agustus 1945 itu hanyalah sementara waktu.
Berikut kata-kata Mr. Kasman Singodimejo yang membuat Ki Bagus Hadikusmo akhirnya luluh:
“Kyai, kemarin proklamasi kemerdekaan Indonesia telah terjadi. Hari ini harus cepat-cepat ditetapkan Undang-undang Dasar sebagai dasar kita bernegara dan masih banyak yang harus ditetapkan siapa presiden dan lain sebagainya untuk melancarkan perputaran roda pemerintahan. Kalau bangsa Indonesia, terutama pemimpin-pemimpinnya cekcok, lantas bagaimana?” (Buku Api Sejarah 2).
Penulis: Kukuh Subekti