ISLAMTODAY ID— Membayangkan tersiksanya hidup dalam penjara sering kali membuat seseorang rela mengorbankan apapun termasuk akidahnya. Lain halnya dengan Ibnu Taimiyah, keteguhan hatinya membuatnya lebih memilih penjara daripada mengorbankan ketauhidan.
Mujahid besar bernama lengkap Taqiddin Abu’l Abbas Ahmad bin Abdullah bin Taymiyya itu memilih keluar masuk penjara daripada melakukan sesuatu yang bertentangan dengan syariat.
Ia bukanlah seorang pelaku kejahatan atau kriminal, ia hanyalah ulama yang berusaha menegakkan syariat sesuai dengan Al-Quran dan hadits.
Peristiwa ini diungkapkan oleh M. Atiqul Haque dalam Seratus Pahlawan Muslim yang Mengubah Dunia. Ibnu Taimiyah dipenjara hingga diusir hanya karena sering mengkritik pengutipan hadits lemah oleh sebagain ulama hingga menolak mengeluarkan fatwa demi mengikuti kehendak penguasa.
Hukuman pertamanya yang cukup berat ialah terusir dari negeri yang dicintainya, Damaskus, Suriah pada tahun 1292. Dari Damaskus, ia melakukan perjalanan ke Makkah.
Hampir tujuh tahun lamanya ia menetap di Makkah. Ia segera melanjutkan perjalanannya ke Kairo, Mesir. Pada tahun 1299, ia berangkat ke Mesir.
Ketegasannya tak berubah, selama di Kairo ia juga sosok yang tak takut mengkritik ulama-ulama yang dinilainya keliru. Hal ini membuatnya harus merasakan dinginnya lantai tahanan untuk kali pertama.
Ibnu Taymiyya juga beberapa kali menjalani persidangan di Kairo. a pun menjalani masa tahanan hingga 1,5 tahun lamanya sejak tahun 1307. Setelah sempat bebas, ia kembali ditahan selama 1,5 tahun lagi.
“Kali ini dia mulai mengajar para tahanan dan menenggelamkan diri dalam pencarian ilmu pengetahuan,” ujar M. Atiqul.
Ibnu Taymiyya sempat ditahan di Alexandria. Hampir delapan bulan lamanya ia menjadi tahanan, lalu Sultan an-Nasir pum memintanya untuk kembali ke Kairo.
Ibnu Taimiyyah kembali ke Kairo. Sultan bermaksud memintanya mengeluarkan jihad perang melawan musuh-musuh pribadi sultan.
Ia menolak permintaan tersebut. Sultan an-Nasir pun menghormati sikapnya itu dan menunjuknya sebagai guru besar di sana.
Kembali ke Damaskus
Ibnu Taimiyyah akhirnya memutuskan untuk kembali ke Damaskus pada tahun 1313. Ia mengikuti ekspedisi perang ke Syria selama 7 tahun 8 bulan.
Kedatangannya ke Damaskus disambut dengan penuh penghormatan. Ia bahkan kembali ke posisinya sebagai guru besar di Damaskus.
Ia juga sempat menulis sejumlah kitab-kitab Islam, sebelum akhirnya kembali ditahan pada tahun 1318. Penahananya dilakukan setelah ia mengeluarkan sebuah fatwa talaq yang berlawanan dengan kehendak penguasa.
“Ia dibebaskan setelah lima bulan,” ucap M. Atiqul.
Ia tidak pernah berhenti menyuarakan gagasannya, meskipun harus keluar masuk penjara. Pada tahun 1326, ia mengeluarkan sejumlah fatwa yang dinilai provokatif.
“Dia mengeluarkan beberapa fatwa dan memberi khutbah menentang pemujaan dan berziarah ke makam Pir,” tutur M. Atiqul.
Atiqul mengungkapkan fatwa itu sebenarnya berkaitan dengan tradisi ziarah yang menyimpang. Kepercayaan umat terhadap ulama atau tokoh agama juga dinilai telah berlebih-lebihan.
“Hanya Allah Yang Maha Kuasa yang patut kita sembah, dan bukan siapa pun, buka Nabi, bukan pir, bukan sufi, bukan guru agama,” jelasnya.
Musuh-musuhnya memprovokasi penguasa Damaskus untuk memenjarakannya. Tidak hanya itu karyanya juga merebut paksa karya-karyanya selama di penjara.
“Mereka merampas semua naskahnya, kertas bahkan penanya. Perbuatan itu merupakan tindakan paling kasar yang terjadi padanya,” ujar M. Atiqul.
Ia menjelaskan Ibnu Taimiyyah ialah sosok ilmuwan muslim yang berdedikasi. Pengetahuannya akan Al-Qur’an dan Hadits sangat mendalam.
Hal ini dibuktikan banyaknya karya Ibnu Taimiyyah yang mencapai 500 kitab, tentang Al-Qur’an dan Hadits. Kitab-kitabnya yang baru berhasil ditemukan baru 64 buah.
Ia juga menentang sekte-sekte yang dianggapnya menyimpang seperti Mu’tazilah, Kharijit, Rafidit, Qadarit, dan masih banyak lagi.
Ibnu Taimiyyah wafat di Damaskus pada 27 September 1328. Kiprah dan perjuangannya dilanjutkan oleh Muhammad bin Abdul Wahab (1703-1787).
Penulis: Kukuh Subekti