ISLAMTODAY ID—K.H. Abdul Wahid Hasyim dikenal sebagai kyai ‘modernis’. Putera pendiri Nahdhlatul Ulama (NU), KH Hasyim Asy’ari ini telah mengukir banyak prestasi.
Ia dikenal sebagai kyai pembaru pendidikan Islam di Indonesia. Ia melakukan berbagai pembaruan mulai dari tingkat madrasah hingga perguruan tinggi Islam di Indonesia.
Modernisasi Madrasah
Ketika menjadi Ketua Lembaga Pendidikan Ma’arif NU, K.H. Wahid Hasyim melakukan modernisasi pendidikan NU. Gagasan tersebut disebarluaskan dengan menerbitkan Majalah Soeloeh Nahdlatoel Oelama (NO) pada tahun 1941.
Gagasan yang diusung oleh K.H. Wahid Hasyim itu pun membawa kemajuan bagi madrasah-madrasah yang dikelola oleh NU.
K.H. Wahid Hasyim melakukan pembaruan dengan membagi madrasah dalam dua kelompok, umum dan khusus.
“KH. Wahid Hasyim mengembangkan strategi, yaitu membagi madrasah umum dan madrasah ikhtisasiayah yang menyelenggarakan program kekhususan seperti layaknya sekolah kejuruan seperti pertukangan, pertanian, hukum dan perdagangan,” ungkap Safrizal Rambe dalam Sang Penggerak Nahdlatul Ulama.
Sementara madrasah umum terdiri atas Madrasah Awwaliyah (TK) selama dua tahun, Madrasah Ibtidaiyah atau MI (SD) selama tiga tahun, Madrasah Tsanawiyah atau MTS (SMP) selama tiga tahun, Madrasah Mu’alimin Al-Wustha dan Al-Ulya yakni sekolah calon guru selama tiga tahun.
“Kurikulumnya sendiri sudah seperti madrasah saat ini dimana mata pelajaran agama dan umum diberikan,” ujar Safrizal.
Ia juga salah seorang ulama Masyumi yang mempelopori berdirinya Sekolah Tinggi Islam (STI) yang sekarang menjadi Universitas Islam Indonesia (UII).
Membangun Pendidikan Islam
Pada masa Republik Indonesia Serikat (RIS), ia dipercaya memimpin Kementerian Agama (Kemenag). Ia bahkan menjadi Menteri Agama (Menag) untuk tiga kabinet berturut-turut (Hatta, Natsir dan Sukiman).
Kiprah besarnya di bidang pemerintahan ialah menyatukan kembali seluruh kantor-kantor Kemenag di Indonesia. Terselenggaranya Konferensi Besar di Yogyakarta pada 14-18 April 1950 yang dihadiri oleh seluruh kementerian, departemen, dan jawatan-jawatan agama dari negara-negara bagian era RIS.
Pada periode ketiganya sebagai menteri, ia banyak berkontribusi dalam ranah pendidikan. Pemerintah mewajibkan pelajaran agama menjadi pelajaran wajib di setiap sekolah yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) tertanggal 20 Januari 1951.
Kebijakan tersebut juga disertai dengan pendirian lembaga-lembaga pendidikan khusus bagi para guru agama. Maka sepanjang tahun 1951, ia mulai mendirikan sekolah-sekolah agama di beberapa kota di Indonesia.
Lembaga pendidikan, Pendidikan Guru Agama Negeri (PGAN) didirikan di berbagai kota di Indonesia. Mulai dari Banda Aceh, Tanjungpinang, Padang, Jakarta, Banjarmasin, Tanjungkarang, Bandung, Pamekasan serta Salatiga.
Berikutnya ialah Sekolah Guru dan Hakim Agama Negeri (SGHAN) yang tersebar di sejumlah kota Banda Aceh, Bukittinggi, Bandung, Yogyakarta dan Malang.
Sebelumnya pada tahun 1950, ia mulai mendirikan Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (UIN-sekarang). Sebuah perguruan tinggi hasil ‘pengembangan’ dari Fakultas Agama Islam di Universitas Islam Indonesia (UII) yang diresmikan pada 26 September 1951.
Kiprah Perjuangan
Kiprah perjuangan KH Wahid Hasyim untuk Indonesia telah dilakukannya sejak pra kemerdekaan. Ia pernah menjadi Wakil Ketua Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi).
Salah satu peran pentingnya sebagai ulama muda saat itu ialah lahirnya laskar Hizbullah. Laskar pejuang kemerdekaan yang terdiri atas para santri.
Dalam dunia politik ia masuk dalam daftar anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Namanya juga masuk dalam daftar Panitia Sembilan, perumus kesepakatan luhur, Piagam Djakarta.
Salah satu kiprahnya yang sangat penting ialah ketika ia menjembatani antara kehendak wakil Islam dan nasionalis. Hal ini terlihat di tengah perdebatan serius terkait tujuh kata dari Piagam Djakarta, ia pun mengusulkan klausul ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ sebagai sila pertama Pancasila.
Kiprah KH. Wahid Haysim yang lain ialah keaktifannya di bidang pers. Ia merupakan redaktur di Soeloeh Nahdlatoel Oelama (1941) dan Berita Nahdlatoel Oelama (1931).
Pada masa Jepang ia juga berhasil membentuk Badan Propaganda Islam. Sebuah organisasi yang melatih para anggotanya untuk melakukan orasi di radio-radio dan rapat-rapat umum.
Ketokohannya sudah terlihat sejak ia muda. Pada tahun 1936, ia mendirikan Ikatan Pelajar Islam (IPI) dengan tujuan menghimpun para pelajar Islam untuk bergerak dalam dunia literasi salah satunya dengan menghadirkan ‘taman baca’.
Penulis: Kukuh Subekti