IslamToday ID — COVID 19 menampilkan wajah pemberitaan dunia internasional yang dihiasi dengan perang disinformasi dan saling lempar tudingan antara dua kekuatan global AS dan China.
Istilah Disinformasi berasal dari bahasa Rusia ‘Dezinformatsiya’, dan seringkali merupakan bagian teknik propaganda yang digunakan kalangan intelijen. Menurut Ensiklopedia Soviet (1952), istilah disinformasi dikaitkan dengan penyebaran ‘informasi palsu’ dengan maksuD merubah opini publik sesuai dengan kepentingan pembuat disinformasi.
Kampanye disinformasi seringkali merupakan bagian dari perang opini untuk merebut perhatian dunia politik global atau sekedar menjalankan agenda tertentu suatu kelompok atau negara.
Saling tuduh antara negara adidaya terkait virus COVID-19 yang diciptakan untuk melemahkan, menciptakan pertanyaan bagi kita semua, apakah virus dapat diciptakan sendiri? Untuk melemahkan musuh-musuhnya. Pertanyaan ini dapat terjawab bila melihat saling tuduh yang dilakukan kedua Negara Amerika dan China
Perang Disinformasi
Meningkatnya serangan Trump terhadap China mengkhawatirkan beberapa pakar kesehatan masyarakat, yang mengatakan upaya untuk menyalahkan Beijing atas pandemi COVID 19 dapat membahayakan upaya untuk memerangi penularan yang menyebar.
Penasihat Keamanan Nasional AS, Robert O’Brien menuduh China menutupi krisis kesehatan. Sementara, Menteri Luar Negeri AS, Mike Pompeo telah berulang kali menyebut penyakit itu “Wuhan Corona Virus” – rujukan ke kota Cina yang merupakan pusat penyakit itu muncul.
Sementara itu, anggota parlemen pro-Trump Hawkish di Kongres AS, telah meningkatkan kekhawatiran tentang peranan Cina yang sangat besar dalam rantai pasokan global untuk obat-obatan utama.
Sedangkan, Cina melawan balik dengan retorika keras mereka sendiri, sambil menandakan bahwa upaya keras mereka untuk memberantas virus berarti dunia harus memandang mereka – dan bukan Amerika Serikat – sebagai pemimpin dan panutan dunia.
Di dalam Kabinet AS, Menlu AS telah menjadi kritikus paling luas di Cina. Menlu berargumen kepada siapa pun yang akan mendengarkan bahwa kurangnya transparansi China, terutama sejak awal, telah merusak upaya global untuk menghentikan virus.
“Telah terbukti sangat frustasi untuk bekerja dengan Partai Komunis China untuk mendapatkan rangkaian data yang pada akhirnya akan menjadi solusi untuk mendapatkan vaksin sekaligus menyerang risiko ini,” ujar Mike Pompeo kepada CNBC pekan lalu.
Akan tetapi, upaya Pompeo untuk mengubah nama COVID-19 sebagai “virus Wuhan” atau “virus korona Wuhan” mendapat reaksi keras dari para pejabat Cina dan pakar semi-resmi, yang mengatakan bahwa ketentuan itu adalah bentuk xenophobia.
Pejabat Kemlu China bersikeras bahwa Pompeo menggunakan istilah itu untuk melakukan disinformasi terhadap Cina – lazim di forum internet dan disuarakan oleh beberapa pejabat Cina – bahwa virus itu mungkin sebenarnya berasal dari Amerika Serikat.
O’Brien mengirim pesan kritis yang sama pada hari Rabu, menyatakan bahwa pihak berwenang di China telah “menutupi” informasi tentang wabah ini pada awalnya. Akibatnya, Penasihat Keamanan AS O Brien mengatakan, “mungkin butuh dua bulan bagi masyarakat dunia untuk merespons.”
China melalui “Weibo” media sosial populer disana menyebutkan, coronavirus novel SARS-CoV-2 diperkenalkan ke China ketika 300 anggota militer AS tiba di wilayah Wuhan untuk Pertandingan Dunia Militer di pertengahan Oktober dan menginfeksi penduduk setempat.
Desas-desus itu tampaknya dimulai ketika dokter spesialis pernafasan China Zhong Nanshan menyatakan pada konferensi pers Februari bahwa “meskipun COVID-19 pertama kali ditemukan di Cina, itu tidak berarti bahwa itu berasal dari China,”
Pada hari Kamis (12 Maret), Zhao Lijian, juru bicara Kementerian Luar Negeri China, mengatakan melalui Twitter, “Kapan pasien nol dimulai di AS? Berapa banyak orang yang terinfeksi? Apa nama rumah sakit itu? Mungkin tentara AS yang membawa epidemi ke Wuhan. Jadilah transparan! Jadikan publik data Anda! KAMI berutang penjelasan!”
Unggahan teks di Twitter tersebut disertai dengan video Direktur Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS Robert Redfield yang mengatakan bahwa beberapa kematian yang diduga disebabkan oleh flu sebenarnya COVID-19, meskipun video tersebut tidak merujuk kasus atau tanggal tertentu.
Jubir Kemlu China, Lijian juga me-retweet tautan ke situs konspirasi yang dikenal yang mengklaim bahwa virus itu mungkin berasal dari Institut Penelitian Penyakit Menular Angkatan Darat AS di Fort Detrick di Maryland, yang ditutup pada Agustus setelah penyimpangan biosafety dengan sejumlah pathogen.
Meskipun kurangnya bukti, fakta bahwa seorang pejabat pemerintah membuat klaim-klaim ini tampaknya tidak terkendali dan dapat memiliki konsekuensi yang lebih besar, kata Victor Shih, seorang profesor di Universitas California, San Diego.
“Jika kepemimpinan [Cina] benar-benar percaya pada kesalahan pemerintah AS,” ujar Shih kepada The New York Times, “itu mungkin berperilaku dengan cara yang secara dramatis memperburuk hubungan bilateral.”
“Teori konspirasi adalah hal baru, rendah di depan dalam apa yang mereka anggap sebagai persaingan global atas narasi krisis ini,” pungkas Julian Gewirtz, seorang Cendekia Akademi di Weatherhead Center for Urusan Internasional Universitas Harvard mengatakan kepada Times.
Virus dan LAB BSL 4
Laboratorium BSL-4 digunakan untuk pekerjaan diagnostik dan penelitian tentang pathogen (Patogen merupakan agen biologis yang dapat menyebabkan penyakit pada inangnya. Sebutan lain dari patogen adalah mikroorganisme parasit, yang dapat menyebabkan penyakit). Pathogen yang mudah menular yang dapat menyebabkan penyakit fatal. Ini termasuk sejumlah virus yang diketahui menyebabkan demam berdarah, virus seperti virus H1N1, Virus Ebola, Virus Corona, Virus SARS, dan lainnya.
Dengan kata lain hanya sedikit saja negara yang mampu meneliti, dan menyimpan Patogen (Virus, Bakteri, jamur dll) dan juga menciptakan vaksin atas anti virus ini. Dan menariknya kedua Negara ini ialah Amerika Serikat dan china yang memiliki LAB BSL-4 yang mampu menciptakan dan menyimpan virus seperti di Wuhan, China dan Fort Detrick di Maryland, AS di mana merupakan kedua tempat yang dituduh menyebarkan virus ini.
Saling Tuduh AS-China, COVID -19 Diciptakan?
Zhao Lijian, Jubir Kemenlu China menautkan laman weibonya terkait teori konspirasi yang menyebut virus itu berasal dari laboratorium militer di Fort Detrick, Maryland, AS.
Fort Detrick sendiri dulunya pernah menjadi pusat pengembangan Senjata Biologis di masa perang. Namun, sejak pelarangan Senjata Biologis, laboratorium ini tak lagi mengembangkan Senjata Biologis, tetapi tetap meneliti patogen berbahaya. Yang anehnya laboratorium ini ditutup beberapa bulan yang lalu pemerintahan amerika.
Selain itu AS pun menuduh, Presiden Trump mengatakan selama konferensi pers pada Jumat (13/3), “Mereka tahu dari mana asalnya. Kita semua tahu dari mana asalnya.”
Penasihat Keamanan Nasional Gedung Putih Robert O’Brien bahkan melangkah lebih jauh. Pada Rabu (11/3), O’Brien secara langsung menuduh China dengan sengaja menutupi kasus.
“Sayangnya, alih-alih menggunakan praktik terbaik, wabah di Wuhan ini telah ditutup-tutupi,” klaim O’Brien.
Ia menambahkan, “Bagaimana virus ini dimulai di China, bagaimana penanganannya sejak awal, semuanya tidak benar. Wabah itu seharusnya ditangani secara berbeda.”
Pakar Angkat Bicara
Yanzhong Huang, seorang rekan senior untuk Kesehatan Global di Dewan Hubungan Luar Negeri dari Seton Hall University, baru-baru ini menulis sebuah artikel terkait kemungkinan bahwa pelepasan laboratorium terlibat. Bukti itu termasuk studi “yang dilakukan oleh Universitas Teknologi Cina Selatan, [yang] menyimpulkan bahwa virus korona ‘mungkin’ berasal dari Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Wuhan,” yang terletak hanya 280 meter dari Pasar Makanan Laut Hunan sering disebut sebagai sumber wabah asli.
Menariknya kebocoran virus ini bukan hanya dituduhkan pada lembaga penelitian di China namun juga lembaga penelitian di Fort Detrick yang memang memiliki kemungkinan terbesar untuk melindungi dan menciptakan virus-virus berbahaya ini.
Sedangkan, Profesor Richard Ebright dari Institut Mikrobiologi Waksman di Universitas Rutgers, seorang ahli biosekuriti yang telah berbicara mengenai keselamatan laboratorium sejak awal tahun 2000-an, memang setuju dengan argumen bahwa virus corona baru tidak sengaja dimanipulasi oleh manusia, menyebutkan bahwa argumen tentang ini kuat.
Lalu pertanyaan muncul saat melihat keadaan saling tuduh ini, maka tidak heran bila akhirnya berpendapat bahwa satu dari kedua Negara ini memiliki andil dalam persebaran virus ini, dan tidak mengherankan bahwa adanya kemungkinan Virus ini lepas atau tidak sengaja terlepas dari LAB BSL 4 yang berada di China (Wuhan) dan Fort Detrick Amerika dan anehnya kedua Negara ini menjadi pemeran utama dalam perlombaan atas vaksin, dimana setidaknya empat di antaranya sudah memiliki kandidat yang telah mereka uji pada hewan. Yang pertama – diproduksi oleh firma biotek Moderna yang berbasis di Boston Amerika – akan segera memasuki uji coba manusia.
Selain itu, Perusahaan biofarmasi China CanSino Biologics mengumumkan vaksinnya Ad5-nCoV telah disetujui untuk memulai uji klinis fase 1 pada manusia. Dikembangkan bersama oleh Beijing Institute of Biotechnology, itu adalah vaksin COVID-19 pertama yang mencapai tahap ini di China, menurut pernyataan oleh perusahaan.
Ini menimbulkan pertanyaan dengan kecepatan vaksin saat ini yang diciptakan kedua belah Negara baik China dan Amerika Serikat, dimana mereka berlomba untuk segera menciptakan vaksin ini dan mampu memperjual belikannya yang akhirnya mampu menjadi “penyelamat” di kala dunia sedang sakit akibat pandemi atas virus ini dan akhirnya menancapkan teritori pengaruh mereka lebih luas di seluruh dunia.
Perlombaan Dunia Ciptakan Vaksin
Pada strategi pengurangan penyebaran virus covid, negara yang paling efektif, hanya mampu memperlambat penyebaran penyakit pernapasan Covid-19. Dengan Organisasi Kesehatan Dunia akhirnya menyatakan peristiwa ini sebagai pandemi, semua mata beralih ke prospek vaksin, karena vaksin yang dapat mencegah orang jatuh sakit.
Sekitar 35 perusahaan dan lembaga akademik yang memiliki Lab BSL 4, berlomba untuk membuat vaksin semacam itu, setidaknya empat di antaranya sudah memiliki kandidat yang telah mereka uji pada hewan. Yang pertama – diproduksi oleh firma biotek Moderna yang berbasis di Boston – akan segera memasuki uji coba manusia.
Kecepatan yang belum pernah terjadi sebelumnya ini sebagian besar berkat upaya Cina yang berawal untuk mengurutkan bahan genetik Sars-CoV-2, virus yang menyebabkan Covid-19. China berbagi urutan itu pada awal Januari, memungkinkan kelompok penelitian di seluruh dunia untuk menumbuhkan virus hidup dan mempelajari bagaimana virus itu menyerang sel manusia dan membuat orang sakit.
Di antara mereka adalah para peneliti di Universitas Oxford di Inggris, yang akan mulai menguji vaksin mereka pada hewan pekan depan dengan harapan meluncurkan uji coba pada manusia pada bulan depan, demikian menurut The Guardian melaporkan pada hari Kamis. Itu akan diikuti oleh uji coba persiapan bernama ChAdOx1 untuk melihat apakah itu dapat melindungi manusia terhadap COVID-19.
Pada hari Senin (23/3), para ilmuwan di Kaiser Permanente Washington Health Research Institute memulai percobaan vaksin pertama untuk virus yang menyebabkan COVID-19, bernama SARS-CoV-2, mRNA-1273, dikembangkan oleh perusahaan biotek Moderna, dan menggunakan segmen kode genetik virus daripada sepotong virus, yang mereka harapkan akan membuatnya lebih cepat berkembang.
Perusahaan biofarmasi China CanSino Biologics mengumumkan vaksinnya Ad5-nCoV telah disetujui untuk memulai uji klinis fase 1 pada manusia. Dikembangkan bersama oleh Beijing Institute of Biotechnology, itu adalah vaksin COVID-19 pertama yang mencapai tahap ini di China, menurut sebuah pernyataan oleh perusahaan. Tim berharap untuk memicu penciptaan antibodi terhadap SARS-CoV-2 dengan mengambil sepotong kode genetiknya dan menggabungkannya dengan virus yang tidak berbahaya.
“Hasil dari studi praklinis pada hewan ‘Ad5-nCoV’ menunjukkan bahwa kandidat vaksin dapat menginduksi respon kekebalan yang kuat dalam model hewan. Studi keamanan hewan praklinis menunjukkan profil keamanan yang baik,” menurut CanSino Biologics, Selasa (24/3).
Meskipun ada upaya percepatan yang dilakukan dalam upaya perlombaan mendapatkan vaksin yang tepat untuk COVID19 ini, namun Anthony Fauci, anggota gugus tugas virus korona Gedung Putih dan Direktur Institut Nasional Alergi dan Penyakit Menular AS, mengatakan awal bulan ini: “Ini akan memakan waktu setidaknya satu tahun hingga satu setengah tahun untuk memiliki vaksin yang bisa kita gunakan.”
Namun, Prof Adrian Hill, Direktur Jenner Institute di Oxford, mengatakan kepada The Guardian bahwa timnya bertujuan untuk membuat vaksin “jauh lebih awal.” Dan pemerintahan juga mempercepat penciptaan vaksin ini yang menurutnya dapat disebar ke seluruh dunia dalam waktu dekat.
Hill mengatakan kepada surat kabar itu: “Kami sadar bahwa vaksin diperlukan sesegera mungkin dan pasti pada Juni-Juli, ketika ketika adanya kemungkinan puncak besar dalam angka kematian.” mengutip The Guardian.
Dengan hanya ada sejumlah negara yang mampu memiliki fasilitas LAB BSL-4, diikuti dengan 35 perusahaan farmasi dan lembaga akademik, ini akan menjadi perlombaan menciptakan vaksin, dan tentu menjadi bisnis yang menggiurkan.
Penulis: R. Syeh Adni
Editor: Tori Nuariza