IslamToday ID –Bila anda mengira bahwa dunia sedang baik-baik saja, sepertinya dugaan anda salah. Dunia tidak sedang baik-baik saja. Sebab tak bisa dipungkiri sejak naiknya dominasi China dalam beberapa tahun belakangan ini telah banyak merubah tatanan dunia global. Baik dalam skala regional kawasan Asia Tenggara maupun kawasan Internasional.
Tak seperti biasanya, hegemoni AS yang biasanya sangat sensi melihat negara lain yang mulai memasuki area suci hegemoninya. Sebagaimana dahulu ketika Saddam Husein dan M Ghaddafi mulai memasuki area Hegemoni AS melalui mata uang, AS seketika bereaksi keras menghancurkan kedua Negara tersebut.
Tapi kali ini AS belum juga bereaksi keras sebagaimana reaksinya terhadap negara Iraq ataupun Libya. Berangkat dari fakta ini, terbersit pertanyaan besar, ada apa dengan AS?
Dilain sisi China yang secara identitas DNA ruh perjuangan mereka menganut sistem sosialis yang selama ini kerap dijadikan momok menakutkan bagi kapitalis, tetapi justru dibawah Xi Jinping China secara terang-terangan membawa sistem ini sebagai metode ekonomi untuk “menguasai” negara lain.
Mengingat sejarah ideologi sosialis itu sendiri terlahir dari sistem Kapitalisme dan mereka juga belum melahirkan sistem ekonomi yang setangguh kapitalis.
Makanya di banyak negara penganut ideologi Komunis maupun Sosialis, tetap saja menggunakan sistem Kapitalisme dalam sistem ekonominya. Xin Jinping memoles sosialisme menjadi sistem ekonomi dengan pendekatan Kapitalisme Negara
Tak ada perbedaan antara Kapitalis Barat dan Kapitalisme Negara. Bedanya hanyalah pada pemegang kendalinya saja. Bila Kapitalisme Barat pemegang kendalinya adalah Corporasi Swasta atau Oligarkhi, karenanya kerap juga disebut sebagai Corporate State.
Sedangkan dalam Sosialisme, pemegang kendalinya adalah Negara. Maka tak heran bila ekonomi ala Sosialisme sering pula disebut sebagai Kapitalisme Negara.
Perbedaan lain, Negara yang telah memiliki basic “keimanan” Sosialis kerap kali mengharuskan semua pelaku Industri di dalam negerinya menganut sistem sosialis.
Berangkat dari kenyataan tersebut, tidak heran pula bila pengusaha China mau tidak mau harus menjadi Sosialis agar mampu bertahan di dalam negerinya.
Garth Alexander dalam bukunya Silent Invasion atau Invasi Senyap telah banyak mengulas bagaimana sepak terjang etnis China di Asia Tenggara khususnya segelintir elit swasta yang disebut sebagai “konglomerat hitam”.
Poin Intinya, ada semacam kekhawatiran bahwa orang-orang Cina yang dipersepsikan penguasa ekonomi, kelak merambah ke sektor politik. Dan selang tak berapa waktu lama sejak buku tersebut terbit, kekhawatiran Alexander terbukti terutama setelah Orde Baru tumbang.
Era Reformasi merupakan pintu masuk bagi etnis Cina terjun ke politik praktis baik selaku anggota dewan, contohnya, atau politikus, pengamat, bupati/walikota, dst bahkan hingga pejabat negara sekelas menteri.
Memasuki Abad ke 21, terbit lagi buku kedua. Judulnya juga sama dengan karya Alexander: “Silent Invasion”, namun kali ini ditulis oleh Clive Hamilton, Direktur Eksekutif The Australia Institute. Dan selama beberapa tahun ia menjadi profesor etika publik di Universitas Charles Sturt, Canberra.
Hamilton menyadari, bahwa sesuatu yang besar tengah terjadi dan ia memutuskan untuk menyelidiki pengaruh Cina di Australia. Hasil penyelidikan Hamilton sungguh mengejutkan, bahwa mulai dari politik, budaya, real estate, pertanian, bahkan sekolah-sekolah dasar ada temuan/fakta kuat tentang penyusupan Partai Komunis Cina (PKC) di Australia.
Ia melihat, operasi senyap Cina menarget para elit Negeri Kanguru. Bahwa sebagian diaspora Cina – Australia telah dimobilisasi untuk membeli akses ke para politisi, membatasi kebebasan akademik, mengintimidasi para kritikus, mengumpulkan informasi untuk badan-badan intelijen Cina serta menentang kebijakan pemerintah Australia melalui protes di jalan-jalan. Ada benturan kepentingan antara PKC dengan Demokrasi di Australia.
Hamilton memberi isyarat, bahwa Invasi Senyap merupakan ancaman bagi kebebasan Demokrasi di Australia. Tampaknya, Cina hendak menarik negara-negara lain ke dalam pengaruhnya melalui modus Invasi Senyap.
Mengamati apa yang sedang terjadi di AS hari ini, bila kita simak urutan yang terjadi. Sebelum AS dilanda kerusuhan berskala Nasional, publik masih ingat bagaimana sikap Trump yang telah berpidato tentang dosa-dosa besar China yang telah diperbuatnya.
Dalam pidatonya di Gedung Putih, Trump telah menguraikan beberapa point tentang kesalahan China antara lain disebutkan oleh Trump:
- Secara khusus Trump mengatakan Amerika Serikat akan memberikan perhitungan kepada China atas apa yang telah mereka perbuat kepada AS.
- Trump menuding China telah melakukan spionase hingga melanggar kebebasan di Hong Kong karena menerapkan Undang-undang Keamanan.
- “Mereka telah merobek Amerika Serikat seperti yang belum pernah dilakukan sebelumnya.
- Menyerbu pabrik-pabrik kami dan memusnahkan industri Amerika,” kata Trump melalui konfrensi pers tersebut trump menambahkan bahwa China juga telah mencuri rahasia industri AS. Dan dengan sengaja menggunakan berbagai macam cara untuk menjatuhkan industri AS.
- Dalam pidatonya, Trump juga mengecam: “(China) secara tidak sah mengklaim wilayah di Laut China Selatan dan Samudra Pasifik,” ucap Trump.
Banyak analis mengira bahwa setelah pidato Trump tersebut akan terjadi penyerangan terhadap aset-aset fital negara China yang akan dilakukan oleh AS.
Namun ternyata diluar prediksi, justru yang terjadi adalah AS dilanda kerusuhan hebat yang bermula dari kasus tewasnya Geoge Floyd ditangan polisi Derek chauvin, di Mineapolis
Bahkan kasus ini secara cepat merembet ke 350 kota di AS. Sejarah yang belum pernah terjadi sebelumnya di AS. Bahkan hingga artikel ini ditulis, masih belum bisa dipastikan kerusuhan di AS ini kapan akan berakhir.
Terlepas dari apakah ada oknum yang menggerakkan kerusuhan berskala nasional tersebut, namun yang menarik dari kasus ini adalah tertundanya agenda AS “mengadili” China.
Kembali ke soal silent Invasion sebagaimana telah diuraikan diatas. Keberhasilan ekspansi China keluar negeri ini tak bisa dilepaskan dari hasil loby para overseas China atau China perantauan di luar Negeri.
Dalam skema corporate state yang selama ini dijalankan oleh AS, yang memegang peranan penting di AS adalah para non state actor yang memiliki banyak saham perusahaan besar kelas dunia.
Merekalah yang memiliki pengaruh yang sangat besar di Negara AS. Diantaranya adalah lembaga loby Yahudi AIPAC – The American Israel Public Affairs Committee dan masih banyak lembaga sejenis lain yang berpengaruh di AS.
Celah ini bisa dengan mudah dimanfaatkan oleh China untuk memasuki ruang suci Hegemoni AS. Terlebih bila Cina memainkan para aktor diaspora China yang telah memiliki jam terbang tinggi untuk urusan lobi melobi.
Bila hal ini benar terjadi, maka bisa ditebak bahwa akan terdapat dua entitas non state aktor yang bermain, yaitu diaspora Zionis Yahudi dan diaspora Overseas China.
Bila merujuk tesis Samuel Huntington yang memprediksi perang masa depan adalah benturan peradaban. Nampaknya teori ini mulai berjalan senyap namun dalam bungkusnya yang lain.
Meski bukan perang antar negara adikuasa, benturan peradaban tengah terjadi dengan bungkus yang lain.
Medan pertempuran yang terjadi adalah antara negara-negara yang melawan korporasi yang me-negara versus ‘corporate state” yang ingin tetap lengket dengan korporasi.
Jadi benturannya adalah antara negara-negara yang melawan korporasi yang me-negara atau nation state versus corporate state yang ingin tetap lengket dengan korporasi yang menegara. Atau antara Nation State versus Corporate State.
Isyarat Trump mengangkat kitab Bible sambil mengatakan kita adalah Negara besar. Adalah signal bahwa AS dibawah kendali Trump berusaha menjaga kedaulatan “Nation State-nya”.
Bukan tidak mungkin juga bila pidato Trump tersebut adalah isyarat bahwa tengah terjadi ancaman besar terhadap Demokrasi di AS.
Sebab sebagaimana dipahami bahwa kapitalisme ketika meruncing akan menjelma jadi fasisme dan militerisme. Nasionalisme pun ketika meruncing bisa jadi chouvinisme dan xenophobia. Cinta tanah air berlebihan sehingga phobia sama segala hal berbau asing, dll.
Kesimpulannya, banyak kemungkinan bisa terjadi. Namun pelajaran yang dapat kita petik adalah jangan mudah terbawa eforia bila melihat gegap gempita bisnis para kapitalis hari ini.
Kemarin ketika mereka menjalankan kapitalisme korporasi, mereka melegalisasi demokrasi sebagai pilihan “ijtihad” politiknya.
Maka bila suatu saat ketika mereka telah memilih “fasisme dalam bungkus yang lain” sebagai tatanan dunia “New Normal” bisa jadi kelak demokrasi telah dianggap usai dan usang.
Bila ini terjadi, bukan tidak mungkin pula bila kelak orang yang meneriakkan demokrasi bakalan dianggap sebagai teroris?
Kalau udah gini, nasib para aktifis pro demokrasi Barat dijamin gak akan laku lagi semua proposalnya. Dan lebih parah lagi, mau ditaruh dimana muka para pejuang Islam demokratik yang kemarin lebih bangga dengan demokrasi daripada dengan Islamnya sendiri?
Bila ternyata mereka udah menganggap ajaran Demokrasi telah selesai. [AIS]