(IslamToday ID) – Ketika Freeman Yim ikut bergabung dengan demonstrasi damai menentang RUU Ekstradisi yang kontroversial pada 9 Juni tahun lalu, ia tidak pernah tahu bahwa itu akan menjadi awal dari gerakan panjang yang menjerumuskan Hong Kong ke dalam krisis dalam sejarah.
“Kami tidak banyak menuntut, kami hanya ingin Hong Kong tetap Hong Kong dan tidak berubah menjadi kota China mana pun,” katanya seperti dikutip di The Guardian, Selasa (9/6/2020).
“Kami ingin memiliki martabat dan hak-hak dasar. Seperti yang dikatakan dalam lagu kebangsaan China, untuk tidak menjadi budak.”
Setahun kemudian, pekerja konstruksi kelahiran China berusia 37 tahun itu merasa lebih tertekan daripada sebelumnya. “Aku merasa sangat tak berdaya dan putus asa,” katanya.
“Ini seperti menjadi anak-anak di taman bermain, diintimidasi oleh orang yang lebih besar tetapi tidak memiliki sarana untuk melawan.”
China telah memerintah Hong Kong di bawah aturan “satu negara, dua sistem” setelah perubahan kedaulatannya pada tahun 1997. Tetapi kontrol ketat Beijing atas kota tersebut telah menyebabkan aksi protes yang meluas dalam beberapa tahun terakhir.
Protes pertama yaitu terhadap penerapan UU Ekstradisi yang memungkinkan orang Hong Kong dikirim ke China untuk diadili. Aksi protes ini meluas dan menjadi gerakan kemarahan dan anti-pemerintah yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Tapi setahun kemudian setelah peristiwa itu, situasi menjadi jauh lebih buruk. Legislatif China pada akhir Mei mengesahkan UU Keamanan Nasional Hong Kong untuk mencegah dan menghukum kegiatan yang mengancam keamanan nasional, termasuk separatisme, subversi, terorisme, dan campur tangan asing.
Ada kekhawatiran yang mengancam bahwa UU Keamanan Nasional akan digunakan untuk menekan para pengkritik pemerintah China dan mengikis kebebasan di Hong Kong.
Aksi protes terhadap UU Keamanan Nasional sebagian besar mereda karena adanya pandemi virus corona awal tahun ini. Tetapi muncul lagi pada akhir Mei setelah Beijing mengumumkan diberlakukannya UU itu.
Lebih dari 8.900 orang dengan 40 persen di antaranya adalah mahasiswa telah turun ke jalan. Lebih dari 1.000 orang telah ditangkap sejak protes bergulir pada Juni tahun lalu.
Ada yang mengatakan bahwa perlawanan sengit warga Hong Kong telah menyebabkan kerusakan lebih banyak. Namun aksi ini terbukti telah mengundang simpati lebih banyak masyarakat baik tua maupun muda untuk menuntut keadilan.
Mereka mengatakan cepat atau lambat Hong Kong akan mati di bawah cengkeraman China. Masyarakat setempat menggambarkan hal itu seperti “memasak katak dengan air hangat”.
“Kami tahu, kami tidak bisa melawan China, tetapi sekarang kami telah memaksa China untuk menunjukkan wajah aslinya kepada dunia,” kata Chow (71), yang datang ke Hong Kong saat masih remaja karena terjadi gejolak di China.
Dukung Sanksi Internasional
Banyak yang mengatakan mereka mendukung sanksi internasional terhadap China, meskipun bakal berdampak pada perekonomian Hong Kong.
“Kami lebih suka menjadi pecahan batu giok daripada ubin keramik utuh,” kata pensiunan pengemudi itu. “Bahkan jika kita mati, kita juga bisa mati dengan terhormat.”
Meskipun menghadapi tindakan kejam, namun masih banyak yang mempertahankan semangat juangnya. UU Keamanan Nasional telah menyalakan kembali gerakan protes dan mendorong upaya kemerdekaan yang belum terjadi sebelumnya.
Dalam demonstrasi baru-baru ini, banyak pengunjuk rasa yang meneriakkan slogan-slogan seperti “kemerdekaan Hong Kong adalah satu-satunya cara”. Ini jarang terdengar di jalan-jalan sebelumnya.
“Sekarang satu negara, dua sistem sudah mati. Tentu saja kami ingin pisah dari China. Bukankah menyenangkan menjadi seperti Singapura?” kata seorang pensiunan, Wong, yang berusia 60 tahun, yang ikut serta dalam unjuk rasa baru-baru ini.
Dalam menghadapi situasi yang banyak orang menyebutnya “kematian” Hong Kong, beberapa orang bersumpah untuk terus bersuara meskipun terancam hukuman penjara. Sementara, yang lain mencoba belajar bagaimana mempertahankan perlawanan di bawah rezim diktator.
“Saya akan terus melakukan hal-hal yang ingin saya lakukan dan mengatakan hal-hal yang ingin saya katakan,” kata Lawrence (25). “Saya tidak akan dibungkam. Jika kami tidak memiliki kebebasan, tidak ada bedanya dengan di dalam penjara atau tidak.”
Banyak yang mengatakan bakal meninggalkan Hong Kong, tapi tidak dengan Benjamin, seorang mahasiswa berusia 22 tahun. Ia bersumpah untuk tetap tinggal di Hong Kong dan melawan China.
Sikapnya itu dipengaruhi oleh pembangkang Ceko dan filosofi Presiden Vaclav Havel yang kemudian bisa mengalahkan rezim totaliter. Ia mengatakan akan berusaha menjaga semangat perlawanan dengan terus menggunakan hak-haknya dan menjalani kehidupan yang normal.
“Kita perlu belajar bagaimana bertahan hidup di bawah kediktatoran. Kami tidak bisa membiarkan diri kami dibunuh oleh partai komunis sebelum fajar,” katanya.
“Bahkan jika protes mereda, banyak dari kita akan bersikeras untuk melaksanakan kebebasan kita, mempertahankan identitas, ingatan, budaya, dan jiwa kita di Hong Kong.”
Joseph Cheng, seorang pensiunan ilmuwan politik di Universitas Kota Hong Kong, mengatakan sebisa mungkin warga Hongkong tidak menyerah pada cita-cita mereka. Mereka harus belajar dengan cara-cara baru yakni melalui perjuangan politik di bawah kondisi pengawasan yang sangat ketat.
“Kemarahan masih ada, perjuangan akan terus berlanjut, tetapi kita harus meminimalkan biaya dan untuk menangkal legitimasi pemerintah,” katanya.
“Ini akan menjadi seperti di Eropa timur di akhir 1970-an. Ini akan menjadi perjuangan jangka panjang.” [wip]