(IslamToday ID) – Ethiopia ingin segera mengisi bendungan hidroelektrik paling besar di Afrika, bahkan tanpa kesepakatan dengan Sudan dan Mesir. Pembicaraan tentang berapa banyak debit air Sungai Nil yang mengalir ke bendungan itu menemui jalan buntu. Bahkan, perselisihannya telah mengancam keamanan kawasan itu.
Mesir ingin Dewan Keamanan PBB turun tangan dalam perselisihannya yang berlangsung lama dengan Ethiopia tentang bendungan Nil. Kairo khawatir langkah Ethiopia untuk mengisi reservoir bendungan akan mengurangi pasokan air di Mesir.
Pembangunan pembangkit listrik tenaga air raksasa senilai 4,8 miliar dolar AS di Ethiopia, yang dimulai pada 2010, diharapkan akan selesai pada tahun 2022. Menurut pihak berwenang di Addis Ababa, pengisian awal bendungan direncanakan pada bulan Juli.
Di Ambang Perang
Dialog tentang penggunaan air Sungai Nil telah menemui jalan buntu selama bertahun-tahun. Tak lama setelah berakhirnya sesi perundingan terbaru dalam konflik mengenai pembangunan Great Dam Renaissance Ethiopia (GERD), Mesir dan Ethiopia mulai saling menyalahkan.
Menurut David Wolde Giorgis dari Institut Keamanan Internasional di Addis Ababa mengatakan, kebuntuan dialog berisiko terhadap keamanan di kawasan itu. “Situasi saat ini tidak boleh diserahkan kepada kedua negara saja. Ini akan berdampak pada kawasan dan situasi keamanan Afrika,” katanya seperti dikutip di DW, Rabu (24/6/2020).
Jika perselisihan berlanjut, Giorgis khawatir perang akan pecah di wilayah tersebut.
“Satu-satunya cara yang paling tepat adalah kedua negara mengadakan pertemuan dengan semua negara yang dilalui Sungai Nil. Pada saat yang sama juga harus melakukan dialog dengan para kepala negara di Afrika,” katanya.
Ethiopia ingin menjadi pengekspor energi di wilayah itu. Sementara, Mesir khawatir pengisian bendungan akan mengurangi secara signifikan debit air Sungai Nil sehingga berdampak pada sektor pertaniannya.
Mesir diperkirakan akan kehilangan setidaknya 22 persen debit air, dan dikhawatirkan bakal kehilangan hingga 30 persen lahan pertaniannya karena berubah menjadi padang pasir.
Baik Mesir dan Ethiopia telah mengisyaratkan kemungkinan mengambil langkah-langkah militer untuk melindungi kepentingan mereka. Para ahli khawatir kebuntuan dialog di antara mereka dapat menyebabkan konflik.
Sudan, pihak lain dalam konflik itu, telah lama terperangkap di antara kepentingan Mesir dan Ethiopia.
Datangnya musim hujan berdampak pada melimpahnya air ke Sungai Nil Biru, cabang utama Sungai Nil. Addis Ababa menganggap bulan depan menjadi waktu yang tepat untuk mulai mengisi reservoir bendungan. Bendungan raksasa itu dirancang bisa menampung 74 miliar meter kubik air.
Bergulat di Permukaan Air
Ethiopia berharap bisa menampung setidaknya 4,9 miliar meter kubik air selama bulan Juli dan Agustus. Volume di fase pengisian pertama ini akan cukup untuk memulai dua turbin pertama pada pertengahan 2021.
Tujuh tahun lagi kemungkinan bendungan sudah bisa menggerakkan 16 turbin. Pada saat itu, pembangkit listrik tenaga air terbesar di benua itu akan memasok listrik ke negara-negara di Afrika Timur.
Selama satu dekade belakangan, tiga negara yang memanfaatkan aliran Sungai Nil Biru telah bergulat dengan pertanyaan tentang bagaimana mendistribusikan air secara adil.
Ada kekhawatiran di Mesir bahwa ladang di lembah Sungai Nil menjadi tandus dan sumur air minum bisa mengering.
Sudan memiliki keprihatinan yang sama, tetapi juga mendapat keuntungan, yaitu listrik yang lebih murah untuk proyek-proyek pembangunan negara itu. Selain itu potensi banjir juga berkurang sehingga menguntungkan sebagian besar masyarakat miskin Sudan.
Menghadapi Kekeringan
Poin utama perselisihan yaitu bagaimana negara-negara di sepanjang Sungai Nil dapat mengantisipasi musim kemarau yang berujung kekeringan di masa depan.
“Manajemen kekeringan adalah tanggung jawab bersama,” kata Gedion Asfaw, Kepala Negosiator Ethiopia di Komisi Tripartit.
Menurut Asfaw, pembangunan dan juga pengisian bendungan bisa dimulai saat negosiasi masih berlangsung. “Semua pihak akan melanjutkan pembicaraan. Pengisian bendungan tidak tergantung pada proses negosiasi.”
Sudan, negara miskin yang baru saja menemukan stabilitas setelah perang saudara dan revolusi belum lama ini, telah mengusulkan peningkatan negosiasi dengan Mesir dan Ethiopia tentang bendungan ke tingkat menteri.
Namun, sejauh ini belum ada rencana untuk pertemuan itu. “Masalah yang harus diselesaikan adalah mekanisme penggunaan air secara bersama dan legal,” kata Menteri Sumber Daya Air Sudan, Yasser Abbas, pekan lalu.
Pihak Mesir, Mohamed Abdel Aty menyalahkan Ethiopia atas kegagalan perundingan yang digelar baru-baru ini. “Karena sikap keras kepala Ethiopia mengenai masalah teknis dan hukum, tidak ada kemajuan berarti dalam perundingan yang telah digelar.” [wip]