(IslamToday ID) – Pada bulan Februari 2018, Kim Yo-Jong dengan wajah ramah Korea Utara (Korut), tersenyum dan melambaikan tangan saat menghadiri acara Olimpiade Musim Dingin di Pyeongchang, Korea Selatan (Korsel).
Kedua Korea memasuki stadion bersama pada upacara pembukaan dan menurunkan tim hoki es wanita bersama. Kim bukanlah orang pertama dari anggota keluarga penguasa Korea Utara yang mengunjungi Korea Selatan, dan berjabat tangan dengan Presiden Moon Jae-In. Hubungan keduanya terus meningkat.
Namun, kini hubungan dua Korea makin memanas. Kim yang merupakan adik perempuan dari pemimpin Korea Utara, Kim Jong-Un, geram dengan sikap Korea Selatan yang tak kunjung bisa menertibkan para pembelot yang menyebarkan selebaran propaganda di perbatasan.
Sebenarnya banyak yang mengatakan bahwa kegeraman Korea Utara terhadap Korea Selatan bukan karena itu. Ada alasan lain, yakni Korea Selatan dianggap gagal dalam melobi dan meyakinkan Amerika Serikat (AS) untuk melonggarkan sanksi ekonomi yang melumpuhkan.
Ramon Pacheco Pardo, pengamat hubungan internasional dari King’s College London, mengatakan peristiwa itu adalah “krisis yang diciptakan”.
Pada hari Rabu (24/6/2020), menjelang peringatan 70 tahun dimulainya perang Korea, media pemerintah melaporkan bahwa Kim Jong-Un memutuskan untuk menunda tindakan militer seperti yang telah disampaikan oleh adik perempuannya.
“Korea Utara merasa belum menerima sesuatu yang diharapkan dari pertemuan antara Korea Selatan dan Amerika Serikat dalam beberapa tahun terakhir,” kata Pacheco Pardo kepada Aljazeera, Kamis (25/6/2020).
“Meningkatnya ketegangan adalah sebuah tanda ketidaksenangan atas apa yang telah terjadi, dan sesuatu yang berbeda diperlukan,” tambahnya.
Utara dan Selatan telah menyepakati gencatan senjata yang tidak mudah sejak 1953. Gencatan senjata itu untuk mengakhiri pertempuran di mana jutaan warga sipil tewas dan militer di kedua pihak menderita banyak korban.
Perjanjian damai belum pernah diformalkan, dan dalam beberapa dekade terakhir Pyongyang telah sempoyongan akibat embargo dan sanksi AS. Kesal dengan kondisi, akhirnya kantor penghubung bersama dua Korea di Kaesong diledakkan.
Langkah peledakan itu menandai berakhirnya Deklarasi Panmunjon yang telah dimulai pada 2018 di bawah Moon Jae-In.
Retorika yang meningkat berlanjut dengan serangkaian uji rudal tahun lalu setelah pertemuan puncak kedua antara Kim Jong-Un dengan Presiden AS Donald Trump terkait denuklirisasi namun tidak terjadi kesepakatan. Kim telah menetapkan batas waktu sampai akhir tahun bagi AS untuk mengubah pendiriannya.
Pyongyang mungkin berharap, Moon Jae-In yang menginisiasi kerja sama antar-Korea di pemerintahannya, bisa melobi AS agar meringankan sanksi akibat dari uji coba nuklir.
Sebaliknya, Korea Selatan merespons lebih keras, dengan mengatakan bahwa dengan mengkritik Moon, Kim telah secara mendasar merusak kepercayaan antara kedua pemimpin. Menteri Unifikasi Korea Selatan pun mengundurkan diri.
Prioritas Seoul
Jay Song, seorang akademisi di Institute Asia di Universitas Melbourne, mengatakan politik internal di Korea Selatan juga memerlukan pengawasan, dan tercatat Kementerian Unifikasi tidak dapat melakukan apapun tanpa adanya izin dari Dewan Keamanan Nasional di Gedung Biru presiden.
“Dewan Keamanan Nasional adalah internasionalis dan lebih memprioritaskan aliansi Republik Korea-AS atas mandat etno-nasionalis Kementerian Unifikasi untuk meningkatkan hubungan antar-Korea,” kata Song, yang merupakan dosen senior Korea Foundation dalam Studi Korea.
“Pilihan untuk Korea Selatan tidak mudah, terutama ketika Korea Utara ingin menjadi negara nuklir.”
Korea Selatan telah berjuang bersama tetangganya Utara sejak berakhirnya penjajahan Jepang, hingga menyebabkan pemisahan Semenanjung Korea, antara Korea Utara yang didukung Uni Soviet dan Korea Selatan yang didukung AS.
Pyongyang, yang telah lama menolak Seoul sebagai “boneka” AS, mengirim pasukannya melintasi pararel 38 pada 25 Juni 1950, dalam satu langkah menolak intervensi PBB, mobilisasi pasukan AS dan Persemakmuran, dan membawa pasukan China ikut bertempur untuk mendukung Korea Utara.
China pada waktu itu khawatir, seperti sekarang, tentang mempertahankan negara penyangga, sementara AS terus menempatkan sekitar 28.500 tentara di Korea Selatan. Zona demiliterisasi (DMZ) antara kedua negara tetap menjadi salah satu perbatasan paling dijaga di dunia, dengan langkah-langkah menenangkan yang merupakan bagian dari perjanjian 2018.
Di bawah kesepakatan itu, kedua pihak sepakat untuk menarik tentara dari beberapa daerah perbatasan, menarik pengeras suara yang digunakan untuk menyiarkan pesan propaganda dari Utara ke Selatan, dan mengekang kegiatan para pembelot dan aktivis yang menerbangkan balon selebaran propaganda dari Selatan ke Utara.
Di tengah-tengah eskalasi, Korea Selatan kembali menjanjikan tindakan hukum untuk mengakhiri perseteruan, tetapi Moon kesulitan untuk memenuhi harapan pencabutan sanksi ekonomi dari AS. [wip]